Misi Gerakan Dakwah
Kerusakan yang terjadi pada umat Islam sekarang adalah kerusakan yang kompleks dan multidimensional. Kerusakan itu terjadi secara merata baik pada pemimpin, ulama, dan rakyat umum. Kondisi tersebut menjadikan umat Islam memasuki fase sejarah yan genting; terpuruk dalam kepemimpinan dunia, terpecah belah dalam negara-negara kebangsaan, dan gagal membawa misi peradaban di dunia kontemporer.
Karena kerusakan yang terjadi bersifat kompleks dan multidimensional maka perbaikan yang dilakukan tentu tidak boleh dalam bentuk tambal sulam. Perbaikan yang dilakukan tak cukup sekadar merenovasi bangunan umat dan merestorasi kerusakan-kerusakan yang ada. Karena perbaikan yang seperti itu tidak membuat umat Islam sebagai “pasien sakit” sembuh dari penyakitnya.
Melihat kondisi umat Islam yang seperti itu maka tugas dakwah sekarang bukan sekadar memberi nasehat dan peringatan. Tugas penting dakwah kini ada dua hal, pertama, ta’riful islam, yaitu mengajarkan hakikat Islam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dimulai dengan membangun kembali akidah umat Islam yang menjadi fondasi struktur bangunan umat. Dan kedua, tarbiyyatul ummah, yaitu membina umat, mentakwin kader, menyiapkan ulama dan daiyah agar idealita Islam menjadi nyata dan hidup; umat bisa mewujudkan keyakinan, ucapan, dan perbuatan dalam model kepribadian yang agung; serta social-politik umat merefleksikan kebesaran dan kejayaan Islam.
Jadi, memperbaiki umat Islam adalah sebuah megaproyek. Menurut Imam Hasan Al-Banna megaproyek itu tak mungkin terwujud di dunia realitas kecuali ada kelompok umat yang memiliki empat sifat. Pertama, mereka punya iradah qawiyyah [kemauan hebat] yang tak dihinggapi kelemahan sedikitpun. Kedua, mereka punya wafa` tsabit [kesetiaan kokoh] yang tak dikotori sifat kenifakan, apologi, dan pengkhianatan. Ketiga, mereka punya tadh-hiyah ‘azizah [pengorbanan besar] yang tak bisa dihalangi ketamakan dan kebakhilan. Dan keempat, mereka punya iman bil mabda` [keyakinan pada prinsip] yang akan menjaga dari kesalahan dan penyimpangan serta tertipu dengan isme-isme dan jargon-jargon dari luar Islam.
Keberhasilan Tarbiyah Dan Takwin
Menurut Muhammad Quthub dalam Kaifa Nad’un Naas terdapat tiga komponen penting dalam tarbiyah dan takwin yang sukses. Tanpa hal itu tarbiyah dan takwin tak bisa berhasil dengan baik. Pertama, ‘azhamatul murabbin, yaitu adanya pendidik-pendidik yang agung. Murabbi yang punya kepribadian agung sangat penting dalam tarbiyah dan takwin. Keberadaannya punya pengaruh besar pada diri mutarabbi [orang yang dididik]. Dengan melihat keagungan dan kemuliaan para murabbi maka para mutarabbi akan termotivasi untuk mengikuti dan menirunya bahkan terobsesi untuk menjadi lebih agung dan besar. Di masa lalu ulama-ulama besar, panglima-panglima hebat, dan sulthan-sulthan adil adalah lahir dari proses tarbiyah dan takwin yang dijalankan murabbi-murabbi agung.
Kedua, ‘azhamatul manhaj, yaitu adanya metode tarbiyah Islamiyyah yang hebat. Manhaj tarbiyah Islamiyyah yang paling hebat adalah menhaj tarbiyahnya Rasul saw. Sebab, melalui manhaj yang dijalankannya itu Rasul saw berhasil melahirkan generasi “khairu ummah”; generasi manusia paling baik dan “ummatan wasathan”; generasi pemimpin yang bisa mewujudkan keadilan Islam dan kerahmatannya di muka bumi. Karena itu, keberhasilan tarbiyah dan takwin sekarang ditentukan dengan sejauh mana pengenalan dan pemahaman para murabbi tentang manhaj tersebut. Semakin dalam pengenalan dan pemahaman para murabbi tentang manhaj itu maka potensi keberhasilan mereka dalam tarbiyah dan takwin akan makin besar.
Dan ketiga, salamatu fithratil mutarabbin, yaitu selamatnya fitrah para mutarabbi dari kerusakan yang ditimbulkan jahiliyah. Jahiliyah disetiap jaman selalu merusak fitrah manusia yang mengakui dimensi Rububiyyah dan Uluhiyyah. Karena itu,para murabbi harus memiliki pandangan tajam tentang kondisi bahan baku manusia yang ingin ditarbiyah dan ditakwinnya. Ketakmampuannya melakukan seleksi tentu akan menjadi beban tersendiri dalam rencananya untuk mewujudkan megaproyek keumatan yang besar. Keagungan pribadi yang sudah dimiliki dan pengenalan yang baik tentang manhaj tarbiyah kenabian tak dapat menghasilkan mutarabbi-mutarabbi yang punya berbagai keunggulan bila bahan baku manusianya buruk. Bahan baku buruk tersebut dalam terminologi sosiologi disebut “rajusy syari’”. Yaitu manusia yang tak punya pendirian kokoh dan karakter kuat. Pendirian dan sikapnya baik positif dan negatif ditentukan opini dan arahan media massa.
Tak Boleh Isti’jal
Selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah jumlah pengikut Rasul saw tak banyak. Apabila dalam Perang Badar yang merupakan perang pertama setelah hijrah gabungan pasukan muslim yang terdiri dari muhajirin dan anshar sekitar tiga ratus prajurit maka dapat disimpulkan bahwa jumlah shahabat yang beriman selama masa dakwah di Makkah cukup kecil.
Meskipun demikian, Rasul saw tetap fokus menjalankah dakwah, mengajarkan Islam kepada shahabat, dan mentarbiyah mereka agar menjadi rijal dan qiyadah. Dalam rumah Arqam bin Abil Arqam itulah proses ta’riful islam dan tarbiyyatul ummah dijalankan. Rasul saw tak berkecil hati karena jumlah pengikutnya kecil. Rasul saw tak mengendorkan semangatnya karena banyaknya orang yang menentang dakwahnya. Hasilnya luar biasa. Shahabat yang ditarbiyah dan ditakwin di rumah Arqam bin Abil Arqam tak ada satupun yang murtad. Mereka merupakan bagian qa’idah shalabah yang fenomenal dan merubah sejarah dunia.
Gerakan dakwah sekarang justru dihinggapi sikap isti’jal [terburu-buru] dalam semua kondisi baik dalam menanamkan akidah, membentuk akhlaknya, menjalankan tarbiyah dan takwin, meluaskan basis dst. Tak dipungkiri bahwa bertambahnya jumlah pengikut dan meluasnya basis dakwah menjadi keinginan semua daiyah. Tetapi ketika semua itu terjadi secara cepat tanpa melalui proses dan tahapan yang benar dalam dakwah maka akan banyak melahirkan problem dakwah dan gerakan. Sehingga pada akhirnya gerakan dakwah disibukkan oleh problem-problem internal.
Kalau mengkaji sirah nabawiyah kita akan dapatkan bahwa kader dakwah Rasul saw dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar.
Pertama, kalangan muhajirin dan anshar. Mereka itulah kelompok yang menjadi fokus tarbiyah dan takwin yang dilakukan Rasul saw selama dua puluh tiga tahun. Sehingga setelah menjadi pribadi-pribadi aagung mereka membantu Rasul saw dalam mentarbiyah “ahlul madinah” [penduduk Madinah] dan “a’rab” [orang-orang arab yang hidup disekitar Madinah]. Dalam kajian dakwah kontemporer mereka diistilahkan dengan “qa’idah shalabah”. Mereka itulah yang kemudian menjadi qiyadah-qiyadah dan murabbi-murabbi umat sepeninggal Rasul saw.
Kedua, ahlul madinah wa man haulahu minal a’rab [penduduk Kota Madinah dan orang-orang yang tinggal disekitarnya]. Mereka merupakan prajurit-prajurit dan penolong-penolong. Mereka menyambut seruan dakwah Rasul saw dan bergabung di dalamnya. Mereka ikhlaskan hati dan mentajnid diri mereka untuk membela Islam dari musuh-musuhnya. Dan mereka tetap tsabat ketika banyak kabilah-kabilah arab yang murtad dan atau tak mau tunduk kepada Khalifah Abu Bakar dengan mengirimkan zakat. Dalam istilah dakwah kontemporer mereka disebut dengan “qa’idah muwassa’ah”. Meskipun mereka adalah barisan kader lapis kedua tetapi mereka merupakan prajuritpprajurit yang ikhlas, menghibahkan dirinya untuk dakwah dan agama, serta membelanya dengan orientasi ikhlas karena Allah Ta’ala.
Ketiga, para shahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah. Mereka menjadi bagian dari sahabat dan kader Rasul saw setelah Islam tamkin di muka bumi. Setelah menyaksikan kebenaran nubuwwah Rasul saw mereka beriman secara benar, mentajnid diri mereka, beramal untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala, serta meng-istidrak ketertinggalan mereka dengan menjadi penakluk-penakluk dalam masa kepemimpinan khulafa` rasyidin. Dalam terminology gerakan Islam mereka disebut “qa’idah jamahiriyyah”. Jadi, qa’idah jamahiriyyah bukan “rasjulusy syari’”. Mereka tetap pendukung dakwah yang punya karakter dan kepribadian. Punya tingkat komitmen yang tinggi pada agama. Serta siap memberikan pengorbanan bagi kejayaan Islam.
Rawalumbu, 30-05-2015