Jika taubat atas dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang berkaitan dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka dia harus memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari kesalahan setelah memberitahukannya, seperti yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Beliau bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari dimana) dinar dan dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan.”
Jika kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apakah dalam taubatnya itu disyaratkan agar dia memberitahukan bentuk ghibahnya itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu?
Ataukah dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehormatannya dan tidak perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah tidak ada syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta ampunan bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan bahwa dia telah menuduh atau mengghibahnya?
Pendapat yang dikenal di dalam madzhab Asy Syafi’i dan Abu Hanifah serta Malik, disyaratkan memberitahukannya dan pembebasan dirinya. Begitu pula yang disebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya.
Mereka berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manusia, sehingga belum dianggap gugur kecuali setelah ada pembebasan darinya. Mereka berhujjah dengan hadits di atas.
Masih menurut mereka, bahwa kejahatan ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia.Meminta kebebasan kejahatannya dari orang yang dijahati untuk memenuhi haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk me-menuhi hak Allah. Maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum dianggap sempurna kecuali adanya ketetapan dari wali korban terhadap nasib dirinya. Jika menghendaki, wali korban bisa menuntut balas darah dengan pelaksanaan qishash, dan jika menghendaki bisa memaafkan-nya. Begitu pula taubatnya orang yang memotong tangan orang lain.
Pendapat lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tuduhan dan ghibahnya kepada orang yang dighibah. Tapi taubatnya cukup dengan memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus membela orang yang dighibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya di tempat-tempat dimana dia telah mengghibah.
Sebagai contoh, dia mengganti ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan-kebaikannya, lalu memintakan ampunan bagi orang yang dighibahnya itu. Pendapat ini juga merupakan pilihan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.
Golongan ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya justru hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin adanya kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi keruh. Padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya.
Bahkan setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu menguasai diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau bahkan pembunuhan. Hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa syariat yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling menyayangi, mencintai dan mengasihi.
Memang hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak kejahatan fisik, yang bisa dilihat dari dua pertimbangan:
- Korban bisa memanfaatkan harta, jika harta itu dikembalikan kepadanya, dan hal ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mut-lak menjadi miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus mengembalikannya. Berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama sekali tidak ada manfaat secara langsung yang bisa dinikmati korban. Akibatnya hanya akan menambah sakit hati.
- Jika orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan perbuatannya, tidak akan menyakiti hati korban, tidak memancing amarahnya atau menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan membuatnya senang dan gembira. Hal ini berbeda dengan pemberitahuan pelaku, bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Kalaupun dua hal ini dibandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara dan rusak.