Taubat dari Orang yang Tidak Mungkin Lagi Berbuat Dosa Tertentu

Jika orang yang durhaka dihalangi dari sebab-sebab kedurhakaan dan dia dibuat tidak berdaya lagi untuk melakukannya, maka apakah taubatnya dianggap sah?

Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka menuduh dan orang yang memberi kesaksian palsu, yang kemudian lidahnya dipotong, atau pezina yang kemudian kemaluannya dikebiri, atau pencuri yang kemudian tangan dan kakinya dilumpuhkan. Dengan kata lain, mau tidak mau ia pasti menghentikan dosanya itu.

Ada dua pendapat tentang hal ini.

Golongan pertama berpendapat, bahwa taubatnya dianggap tidak sah.

Sebab taubat itu hanya berlaku bagi orang yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan meninggalkannya. Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk berbuat dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan menggambarkan taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah gunung dari tempat-nya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya. Karena merekayang digambarkan ini layaknya orang yang dipaksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah.

Beberapa nash juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang ajal tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam keadaan terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah,

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orangorang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejaliatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang’. Dan, tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka  dalam kekufuran.” (An-Nisa’: 17-18).

Kejahilan di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui keharamannya. Qatadah berkata, “Para shahabat sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun tidak disengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang jahil.”

Sedangkan taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur mufassirin adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan mencabut nyawanya.

Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum menghampirinya.”

Selagi ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka taubatnya itu tidak diterima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa. Di samping itu, hakikat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang berkaitan dengan larangan. Menahan di sini harus berasal dari urusan yang memang bisa dikerjakan. Tapi untuk sesuatu yang mustahil bisa dikerjakan, maka bagaimana mungkin menahan hati darinya?

Pendapat kedua, dan ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan dianggap mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah terpenuhi di dalamnya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah penyesalan. Di dalam Musnad disebutkan secara marfu’, “Penyesalan itu sama dengan taubat.” Bagaimana mungkin taubat dicabut darinya, padahal dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini disertai dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan disertai niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan mengerjakannya lagi.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan orang yang tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang melakukannya, yaitu jika niatnya benar dan bulat.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati suatu jalan dan tidaklah kalian melintasi suatu lembah, melainkan mereka beserta kalian.”

Para shahabat bertanya, “Sementara mereka ada di Madinah?”

Beliau menjawab, “Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan halangan.”

Orang yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan meninggalkannya dalam keadaan terpaksa, dengan disertai niat untuk meninggalkannya atas inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan orang yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya.

Perbedaan keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan matanya atau ketika kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharusan mengerjakan kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata.

Taubat berlaku hanya pada masa taklif. Orang yang lemah itu belum terputus dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi dirinya.