Tegas atau Otoriter pada Anak?

Berhadapan dengan anak-anak memang tidak mudah, karena meskipun mereka masih kecil mereka adalah mahluk individu yang memiliki pendapatnya sendiri. Mereka juga sudah mampu mengajukan argumentasi atas pilihan yang diambilnya, dan meskipun terkadang menurut sebagian orang dewasa hal tersebut tidaklah masuk akal.

Diperlukan pertimbangan-pertimbangan bijak untuk menentukan sikap dalam berinteraksi dengan anak-anak. Untuk mengenali diri, ada tiga pola asuh yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, yaitu (1) pola asuh koersif, pola asuh koersif adalah cara orang tua mendidik anak tanpa memberi anak kebebasan tetapi disiplin, (2) pola asuh permisif, pola asuh permisif adalah cara orang tua mendidik anak dengan memberikan anak kebebasan tanpa disiplin, dan terakhir (3) pola asuh dialogis, orang tua memberikan kebebasan tetapi disiplin.

Karakter orang tua koersif membuat keputusan untuk anak dan anak tinggal melakukan keputusan orang tua tersebut. Orang tua memberikan dorongan dari luar, contoh: “Ayo, sarapan dulu, kalau kamu nggak sarapan kamu nggak ibu kasih uang jajan”. Uang jajan adalah alat motivasi sang anak untuk sarapan, sehingga anak menjadi disiplin karena alasan dari luar dirinya (motivasi eksentrik).  Pada pola asuh permisif, orang tua mengambil alih tanggung jawab anak menjadi tanggung jawabnya. Orang tua permisif tidak memberikan dorongan kepada anak, justru ia terjebak pada mencampuri masalah anak yang sebenarnya dapat diselesaikannya sendiri. Contoh, saat melihat sang anak yang sedang berusaha mengikat tali sepatunya lebih lama dari yang seharusnya, orang tua malah menginterupsinya dengan membantunya mengikat tali sepatu. Pada akhirnya sang anak akan merasa berkecil hati karena ia melihat orang dewasa yang dengan mudah melakukan sesuatu dibanding dengan dirinya, ia pun akan bergantung kepada orang tua untuk mengikat tali sepatu hingga usia sekolah. Seringkali orang tua dengan pola asuh permisif ini merasa sudah melakukan dialog/komunikasi positif kepada anaknya, namun ia keliru karena ia hanya berkomunikasi dengan volume suara yang lebih tinggi, terkesan tegas, padahal tidak tegas malah cenderung memaksa. Pada pola asuh dialogis, orang tua memberi pilihan kepada anak untuk mengambil keputusan. Sehingga anak diberikan kesempatan untuk memikirkan sebab-akibat, dan juga efek dari tindakan yang akan ia lakukan. Pola asuh dialogis memberikan dorongan kepada anak dari dalam dirinya, contoh: “Kalau kamu tidak sarapan, berarti kamu tidak lapar, kalau kamu tidak lapar, berarti kamu tidak perlu uang jajan”. Rentetan sebab-akibat tersebut membuat anak mengenali pilihan-pilihan yang memiliki konsekuensinya masing-masing, sehingga ia dapat menentukan konsekuensi yang “menguntungkan” bagi dirinya. Point penting pola asuh dialogis bukan pada dialognya, tetapi lebih kepada pilihan yang diajukan kepada anak.

Peristiwa dialogis dapat kita lihat di dalam Al Quran surat Al A’raaf (12),”(Allah) berfirman, apakah yang menghalangi kamu (Hai iblis) untuk sujud (kepada Adam)? Di waktu Aku menyuruhmu?..”. Dari ayat tersebut Allah SWT memberikan kesempatan Iblis untuk menyatakan alasan sebelum Dia menghukumnya. Kalimat “apa yang menghalangi kamu” menunjukkan pola dialogis Allah terhadap Iblis. “(12)..Iblis menjawab, aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (13) “(Allah) berfirman, maka turunlah kamu darinya (surga), karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya”. Ayat selanjutnya Allah memutuskan perkara setelah mendengar jawaban dari Iblis. Pola dialogis yang terjadi antara Allah dengan iblis tersebut mengandung pesan sebab-akibat yang sudah dipahami oleh iblis. Ia tidak mau sujud kepada Adam lantaran kesombongannya yang menyebabkannya berujung pada neraka jahannam (Q.S. Al A’raaf: 18).

Pembagian pola asuh terhadap anak, dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) tujuh tahun pertama  menerapkan pola asuh  dialogis-permisif akan menjadikan anak manja terarah, (2) tujuh tahun kedua menerapkan pola asuh dialogis-koersif akan menjadikan disiplin terdidik, (3) tujuh tahun ketiga menerapkan dialogis-dialogis akan menjadikan mandiri bertanggungjawab.