Siapa yang tidak tahu tempe? Hampir semua masyarakat Indonesia pasti pernah mengkonsumsi makanan ini. Berbagai macam olahannya menyebar di berbagai daerah, mulai dari sekedar tempe goreng, mendoan, kripik tempe, hingga dibuat snack yang bisa didistribusikan ke berbagai pelosok negeri.
Tempe sendiri merupakan makanan khas Indonesia yang telah dikenal sampai mancanegara terutama oleh para vegan. Sedangkan di Indonesia, tempe merupakan ‘sejenis’ makanan rutin yang wajib ada di diet sehari-hari. Meskipun mulai banyak dikenal oleh masyarakat mancanegara, ternyata masih banyak masyarakat luar negeri yang masih takut bila akan mengkonsumsi tempe. Sebab bagi mereka, tempe adalah makanan yang sudah berjamur dan tidak layak makan. Terlebih lagi apabila mereka tahu kondisi beberapa tempat produsen tempe yang sanitasinya kurang terjaga kebersihannya.
Berbeda dengan tempe yang diproduksi menggunakan ‘jamur’, di beberapa Negara, masyarakatnya lebih terbiasa untuk mengkonsumsi makanan berlendir. Lendir ini biasanya diproduksi oleh bakteri yang sengaja ditambahkan pada bahan makanan tertentu. Bagi mereka, hal ini lebih lazim dilakukan dibandingkan dengan mengkonsumsi makanan yang sudah berjamur.
Hal yang membedakan tempe Indonesia yang terbuat dari kedelai rebus dnegan tempe yang dibuat dari tempe mancanegara adalah, kandungan kandungan jasad renik atau mikroorganismenya. Kandungan ini dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, cara memproduksi, serta kebiasaan daerah setempat.
Semua tempe yang Indonesia di produksi menggunakan fermentasi dengan kapang Rhizopus sp., khususnya R. oligosporus. Salah satu kelebihan tempe Indonesia adalah kandungan vitamin B12. Vitamin jenis ini tidak ditemukan pada kedelai yang belum diproses. Tempe yang terlalu bersih justru tidak mengandung vitamin B12. Semakin tinggi tingkat kematangan tempe, maka kandungan vitamin B12 juga semakin tinggi. Selain itu, tempe yang dibungkus daun pisang memiliki bakteri lipolitik lebih banyak dibandingkan tempe yang dibungkus plastik.