Perlu kita ketahui, Rasul pernah mengadu kepada Allah soal kita yang tidak memperlakukan Al Quran secara tidak semestinya. Beliau pernah berdoa dengan doa yang diabadikan dalam Al Quran, “Ya Tuhanku! Kaumku menjadikan Al Quran ini tercampakkan.” (QS Al Furqan: 30)
Pengaduan Rasulullah ini ditujukan kepada orang-orang yang justru akrab dengan Al Quran, yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan Al Quran, yaitu orang yang sibuk membaca dan menghafalkan Al Quran, tapi melalaikan sisi terpenting darinya, yaitu mengantarkan jiwa dari kegelapan menuju cahaya.
“Cahaya dan Kitab yang menerangkan telah datang dari Allah kepadamu. Dengan Kitab itu Allah menunjukkan jalan keselamatan kepada orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya. Dengan Kitab itu pula Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dan mengantarkan mereka ke jalan yang lurus.”(QS Al Maidah: 15-16)
Jika kita akrab dengan Al Quran hanya sebatas lidah dan tidak berusaha meneruskan ke hati dan akal maka kita telah kehilangan sisi terpenting kemukjizatan Al Quran. Dan jika saat ini kita terpuruk, itu karena kita mencampakkan Al Quran. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Saw:
إن الله يرفع بهذا القرآن أقواما ويضع به آحرين
“Dengan Al Quran ini, Allah mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkannya.”(HR. Muslim, 1893).
Lalu, Apa Solusinya?
Solusi masalah keimanan adalah membuka diri kepada Al Quran. Ia di depan kita, siap mengubah kondisi hati kita dengan pancaran iman. Dengan begitu, kita akan mampu mengatasi krisis yang menjerat dan menjadikan kita umat yang cacat.
Namun, meski solusi itu mudah dilakukan, banyak umat Islam yang tidak yakin akan kebenarannya. Menurut mereka, usaha tertinggi menghidupkan Al Quran adalah menyuburkan tumbuhnya lembaga -sekolah maupun perguruan tinggi- yang mampu menelurkan para penghafal Al Quran dalam waktu singkat, dan mendorong umat rajin membacanya, giat mengkhatamkannya berkali-kali, lebih-lebih pada bulan Ramadhan, demi sekedar meraih pahala sebanyak-banyaknya.
Jika anda mengingatkan mereka pentingnya merenungkan dan meresapi pengaruh Al Quran bagi hati, mereka berdalil, “Kami ingin meraih sebanyak mungkin kebaikan. Kami ingin masuk ke surga. Mereka merenungkan Al Quran hanya menyita waktu kami untuk melakukan itu.”
Yang lain berkata, “Lebih baik cepat mengkhatamkan Al Quran tanpa pemahaman dan penghayatan lalu meraih pahala sebanyak mungkin daripada mengkhatamkan seraya memahami dan menghayati namun membutuhkan waktu bertahun-tahun.”
Ini banyak kita jumpai pada sebagian besar umat Islam, sehingga amat sulit mengajak mereka kembali kepada Al Quran dan memetik manfaat untuk mengatasi problem keimanan.
Tetapi, karena tidak ada solusi lain maka gerakan membangun kesadaran akan nilai dan tujuan Al Quran harus terus-menerus disuarakan. Andai semua ini tersaji secara jelas di depan kita, dan tidak ragu lagi akan muncul daya dorong yang amat kuat untuk menerima Al Quran sebagai sumber cahaya dan petunjuk. Dengan kata lain, perhatian kita akan beralih kepada upaya mewujudkan tujuan hakiki turunnya Al Quran dengan beragam cara; membaca, mendengarkan dan menghafal. Percaya dan yakin bahwa Al Quran satu-satunya sumber petunjuk, iman, dan perubahan adalah titik tolak kembali kepadanya dan meraih nilai positif darinya. Imam Bukhari pernah mengatakan, “Tidak ada yang bisa mencicipi aroma Al Quran kecuali orang-orang yang mempercayainya.”(Tibyan fii AqsamAl Quran, Ibnul Qayyim, hal 205).
Malik bin Dinar berkata, “Aku bersumpah, orang yang mempercayai Al Quran pasti luluh hatinya.”(Durrul Mantsur, As Suyuti, 6/298)
Orang yang mempecayai Al Quran tidak akan lega bila tidak memperlakukannya secara tepat.
“Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. Mereka meyakininya.”(QS Al Baqarah: 121).
Mungkin Anda berkata, “Aku sudah mengimai Al Quran, tetapi aku tidak merasakan pengaruhnya.”
Meyakini Al Quran tidak hanya percaya bahwa ia “firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad, dan membacanya adalah ibadah,” (Mabahits Fii Ulumil Qur’an, Manna’ Al Qaththani) tetapi juga meyakini nilai dan keagungan Al Quran, dan meyakini bahwa ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, membimbing mereka menuju Allah.
Dengan pola keimanan seperti inilah para sahabat Nabi berinteraksi dengan Al Quran. Abdullah bin Umar berkata, “Kami hidup pada suatu masa ketika di antara kami telah beriman lebih dulu sebelum mempelajari Al Quran. Setelah itu, turunlah surah demi surah kepada Nabi Muhammad Saw, kami mempelajari halal dan haram serta perintah dan larangan yang ada dalam surah-surah itu, dan bagaimana seharusnya menyikapi itu semua. Kemudian kulihat juga sekelompok orang yang di antara mereka diberi Al Quran sebelum mempercayainya. Ia baca Al Quran itu dari awal hingga akhir, tetapi tidak bisa memahami isinya, juga tidak tahu bagaimana menyikapinya. Ia seperti menabur kurma busuk.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap huruf Al Quran berseru, “Aku adalah utusan Allah untukmu agar aku diamalkan dan dijadikan nasehat.“(Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/91. Menurut Al Hakim, hadits ini shahih dengan standar keshahihan Bukhari dan Muslim).
Pemaknaan sahabat terhadap Al Quran di atas diperkuat Jundub bin Abdillah. Ia mengatakan, “Kami bersama nabi dan kami adalah pemuda yang bersemangat. Kami mempelajari keimanan sebelum mempelajari Al Quran. Setelah mempelajari Al Quran, iman kami pun meningkat.”(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi. Lihat juga dalam Fadhail Al Quran, Mustaghfiri, 1/275).
Jika Anda katakan mereka mampun memahami keagungan Al Quran karena mereka mendengarnya sebagai sesuatu yang tidak biasa, sehingga mereka tidak habis berdecak kagum, lalu lubuk hati mereka takluk, diri mereka merasakan pengaruhnya, maka kujawab: semua itu benar. Dan ini pula salah satu sebab kita terpuruk ke lembah terasing ini. Kita mewarisi Al Quran sebagaimana yang diterima para pendahulu kita, termasuk cara bagaimana kita berinteraksi dengannya. Sejak bayi kita telah berusaha mendengar senandung Al Quran, tidak berusaha memahami kandungan maknanya. Al Quran jadi terasing, menjauh dari kehidupan kita. Lalu, dari sana kita seolah mendengar ia berteriak menyeru kita: Beginikah caramu memperlakukan aku?! Padahal aku datang untuk membahagiakanmu, membuat hatimu berbunga-bunga, membantumu menghadapi persoalan kehidupan. Kau simpan aku di rumahmu, tetapi kenapa kau tak acuh dan mencampakkanku?! Apakah kau menempatkanku hanya sampai di tenggorokan? Ketika aku dibacakan, kenapa kau tidak menyimaknya secara seksama? Apakah kau tahu apa yang akan dikatakan pada Tuhanmu kelak pada Hari Kiamat?
bergegaslah sebelum waktu berlalu. Jadikanlah aku penolongmu -bukan pembinasamu- kelak!
Pada Awalnya Mempercayai Al Quran
Paparan di atas mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa langkah awal paling tepat untuk memantik manfaat dari Kitab Suci ini adalah mempercayai dan meyakininya sebagai satu-satunya sumber petunjuk, penyembuhan, dan perubahan diri. Ini akan berhasil dengan cara merenungi tujuan utama turunnya Al Quran, mencermati kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pengaruh Al Quran. Juga, menelisik akar penyebab kenapa kita hanya setengah hati mempercayai Al Quran. Kita sudah seperti apa yang dikatakan Ibnu Umar, “Kulihat sekelompok orang yang di antara mereka diberi Al Quran sebelum ia mempercayainya. Ia membacanya dari awal hingga akhir, tetapi tidak memahami perintah dan larangan di dalamnya, serta bagaimana seharusnya menyikapinya. Ia hanya seperti menabur kurma busuk.”
Setelah mengenal beragam sebab keterpurukan ini, kita kenali segenap potensi diri untuk memetik nilai positif dari Al Quran ini. Dari sini kita akan meniti jalan menautkan hati dengan Al Quran.