Tentang Pendidikan, Penghidupan, dan Sekufu

Ahad sore yang cerah. Keluarga Nisa pergi bersama, naik mobil yang disupiri sendiri oleh ayahnya. Di tengah jalan, melewati kios sol sepatu yang kecil dan tampak kurang terawat namun cukup ramai dikunjungi orang, membuat pak Hasan, ayah Nisa berkomentar, “Untuk mencari uang itu ternyata sebenarnya gak harus sekolah tinggi-tinggi ya. Allah sudah menjamin bahwa semua orang, asal mau berusaha, pasti akan ada jalan untuk mendapatkan nafkah”

Bu Hasan di sampingnya manggut-manggut mengiyakan. Tapi tidak dengan Nisa yang kini beranjak remaja, kelas 8 di boarding school ujung barat pulau jawa. Tampaknya dia justru punya ide cemerlang, wajahnya sumringah tiba-tiba, “Waah, kalau gitu, aku nggak usah sekolah tinggi-tinggi dong, gak usah belajar juga. Kan pasti nanti bisa kerja juga”.

Lho?? Pak Hasan dan Bu Hasan sontak saling berpandangan keheranan dan geli.

“Ya nggak gitu maksudnya Kak, sekolah dan belajar tetap perlu” jawab ayah Nisa, kalem seperti biasa.

“Ah, nanti kan aku jadi ibu rumah tangga juga ujung-ujungnya, ” sela Nisa, tak puas.

“Lho, nduk… jadi ibu rumah tangga juga harus pinter. Kalau anaknya mau nanya-nanya PR atau ilmu lainnya, kayak kamu selama ini ke ibu, terus ibunya gak bisa jawab, gimana?” timpal Bu Hasan.

“Ya anaknya suruh baca sendiri aja bukunya” jawab Nisa asal.

“Kalau anaknya rada-rada males baca kayak kamu, gimana? “ kata ayahnya ngeledek Nisa, sambil senyum.

“Ihh, ayah. Ya udah bilang aja ke anaknya: sana, belajarnya sama bapak aja, ya”, jawab Nisa sambil agak manyun.

“Kalau bapaknya juga gak bisa jawab?’ pancing ayahnya.

“Entar aku cari suami yang pinter aja dah”, jawab Nisa, tampak merasa terdesak.

Bu Hasan menimpali, “Emang bapaknya pinter terus bisa ngajarin anaknya? Biasanya jodoh itu sekufu lho kak. Kalau laki-laki pinter, dia juga akan cari istri dan ibu untuk anak-anaknya yang pinter juga. Nggak mau dia punya istri yang males belajar”

“Sekufu itu apa.. Bu?”, tanya Nisa tertarik. Hmm, padahal dulu pernah juga dialog tentang ini. Tampaknya dia lupa, karena memang sudah lama, waktu dia masih SD.

“Selevel lah, kira-kira sama tingkat pendidikannya, status sosial ekonominya, sama agamanya juga,” jawab ibunya.

“Pusing tau kak, kalau nggak sekufu. Misalnya suaminya sarjana, eh istrinya SD aja gak lulus, bingung tiap harinya mau ngomong apa?” tambah Pak Hasan yang memang kesehariannya pendiam, yang membuat Bu Hasan tersenyum-senyum.

“Tapi itu, istri anaknya Umar, yang anak pemerah susu itu, emang sekufu dengan anaknya Umar (‘Ashim-red)? Gak kalii”, tanya Nisa, masih belum plong tampaknya. Kok tiba-tiba lari ke kisah ‘Ashim, pasti masih membekas nih film Umar bin Khattab yang ditontonnya .

“Eh, siapa bilang anaknya Umar  itu kaya? Hidup Umar kan juga biasa-biasa saja meskipun dia Amirul Mukminin,” jawab ayahnya.

“Terus gadis yang pemerah susu itu, memang nggak sekolah, tapi Ashim sendiri juga nggak sekolah. Karena jaman itu memang nggak ada sekolahan kayak sekarang. Cuma, mereka kan pintar, cerdas. Buktinya, gadis itu bisa membedakan mana perbuatan curang dan tidak”, tambah ibunya.

“Oh gitu ya” Nisa mulai manggut-manggut.

Hening sesaat, tiba-tiba Pak Hasan berkata lagi, “Jadi, nduk, contoh sekufu itu misalnya begini. Kalau suaminya bisa nyetir mobil, istrinya juga sebaiknya bisa nyetir mobil”.

Bu Hasan yang memang belum bisa menyetir mobil langsung mendelik jenaka ke arah suaminya, “Maksudnyaaah?” disambut gelak tawa pak Hasan.

Tapi tiba-tiba Nisa yang ada di barisan belakang nyeletuk, “Sekufu itu misalnya ya, kalau istrinya pinter nulis, suaminya juga sebaiknya pinter nulis, gitu.”

Kali ini Pak Hasan yang nyengir kuda, dan gantian Bu Hasan yang tertawa geli.

 
Try timed writings this exercise provides https://writemypaper4me.org/ a great jump start for your writing.