Memang rasanya sulit bertemu teori-teori motivasi Eropa dengan teori motivasi Islam, orang yang berusaha menggabungkannya akhirnya banyak mengalami kerancuan dan tidak jarang mengorbankan dalil-dalil agama hanya sebagai alat justifikasi teori-teori motivasi Eropa. Bagaimana tidak, teori motivasi Eropa dibanguna atas dasar menggapai sebanyak-banyaknya kenkmatana dunia sedangkan teori agama justru memotivasi orang untuk mengutamakan kehidupan setelah kematian, kehidupan ke dua yang kekal. Siapa yang sibuk dengan dunianya, akan hilang waktunya menanam untuk akhiratnya. Siapa yang sibuk dengan akhiratnya akan berkurang waktunya untuk menikmati kenikmatan dunia, kecuali yang dibutuhkan semata.
Teori motivasi Eropa mengobarkan api syahwat terhadap kemewahan dunia, memompa orang untuk mencapai setinggi-tingginya kenikmatan dunia, sementara teori motivasi Islam memompa orang untuk zuhud dengan dunianya, mengambilnya sesuai kebutuhannya, tidak mencintainya, bahkan rela mengorbankanya untuk menggapai kemuliaan akhirat. Mencintai dan mengangankan dunia melebihi apa yang dibutuhkan adalah syahwa tersembunyi walau dibungkus dalil agama, karena manusia diciptakan hanya memiliki satu hati yang tidak mungkin ada dua cinta di dalamnya. Mengutamakan dunia, akhirat terkorbankan. Mengutamakan akhirat, maka ambillah apa yang dibutuhkan dari dunia dan sibukkanlah sisa waktumu untuk kehidupan yang abadai.
Memang sulit bertemu, karena orientasinya memang sudah berbeda. Ada orang yang bercita-cita ingin meraih sebanyak-banyaknya dunia dengan alasan agar bisa berbagi dan menggapai kehidupan akhirat, akhirnya banyak yang tertipu dalam perjalanannya. Waktunya untuk mengambil akhiratnya banyak terbuang, saat para salikin (penempuh jalan akhirat) bisa menyelesaikan 100 rakaat sehari, 1-5 juz per hari, ribuan dzikir, bahkan pula bersedekah dengan yang dipunya tanpa takalluf (memaksakan diri harus punya banyak baru bersedekah). Sedangkan orang-orang yang tertipu (kita), siang-malam waktunya habis mencari uang, ibadah sekadarnya yang wajib-wajib saja di akhir-akhir waktu, setelah uang didapat dengan penuh letih timbul rasa cinta padanya dan tidak bersedekah, akhirnya, kecuali sedikit saja.
Ada yang menjadikan para sahabat Nabi — radhiallahu anhum — yang berlimpah harta sebagai patokan agar berbanyak-banyak menumpuk uang. Lagi-lagi mereka tertipu, para sahabat — radhiallahu anhum — tidak mendapatkan itu semua dengan jalan ambisi dan obsesi yang memakan habis waktu mereka untuk akhirat mereka. Mereka mendapatkannya dari jalan karunia yang Allah berikan pada mereka, terutama setelah terjadi penaklukan-penaklukan Islam, dan tidaklah jihad mereka demi harta, sungguh jauh mereka dari itu. Dan tidaklah perniagaan mereka, mereka lakukan karena ambisi menumpuk harta, melainkan demi mendapatkan rezeki yang halal sebagai bekal peribadatan mereka, lalu Allah memudahkan perniagaan mereka, sedangkan hati mereka tetap pada tujuannya menggapai kehidupan akhiratnya dan tidak disbukkan dengan dunia. Tidakkah sampai pada kita bahwa Utsman bin Affan r.a mengorbankan seribu unta dan dan seluruh muatannya yang merupakan harta perniagaannya demi mendapatkan keuntungan akhirat? Tidakkah sampai berita bahwa Aisyah r.a menginfakkan 10.000 dinar (uang emas) hanya dalam sehari? Tidakkah mendengar bahwa Asma’ r.a tidak pernah menyimpan uang dalam rumahnya untuk hari esok? Tidakkah sampai kabar bahwa Abu Hurairah r.a menangis saat dibukakannya dunia untuknya sampai beliau mendapat kiriman 2 kali setahun buah-buahan dalam jumlah besar dari kebun-kebunnya? Tidakkah sampai berita Abu Bakar r.a menangis saat meminum air putih yang segar karena khawatir itu adalah nikmat yang disegeraakan? Tidakkah sampai berita bahwa Amr bin Ash, begitu takut wafat saat bergelimang harta? Samakah ini dengan teori-teori motivasi yang mengajak orang membangun mimpi-mimpi dunia yang banyak mengambil sebagian besar umur mereka dan tidak tersisa untuk akhirat kecuali sedikit, di saat sudah renta dan sulit beribadah, saat dekat dengan kematian. Tidakkah ini sebuah ketertipuan?
Allahumma asyghil jawarihana bitha’atika wa qulubana bima’rifatika waalhiqna billadzina taqaddamu min as shalihiin. Amin
Ustadz Rudi Wahyudi