“Afwan, ana belum siap, ilmunya belum cukup.”
“Afwan, ana banyak tugas”
Kurang lebih begitulah kalimat penolakan yang sering kita dengar ketika hendak “mengundang” seseorang untuk bisa berkontribusi menjadi murabbi/mentor. Dengan segudang alasan masing-masing, memang kita tidak bisa menduga lebih jauh karena bisa menjadi prasangka yang tak baik.
Jika ditilik lagi, mereka yang kita undang untuk berkontribusi dalam jalan dakwah bukanlah orang sembarangan. Memang kualitas setiap aktivis di jalan dakwah ini tidak bisa digeneralisir, tapi kita sepakat bahwa setiap insan di jalan dakwah ini sama-sama memperbaiki diri dan menularkan ke sekitar. Terkadang yang disayangkan adalah ketika mereka yang menolak untuk berkontribusi sebenarnya sudah mengetahui urgensi dakwah. Mereka yang sudah tahu urgensi pendidikan Islam semestinya bisa membuka mata dan hati bahwa perannya sangat dibutuhkan. Ekspansi pemikiran dan teknologi yang merusak generasi Islam jika tidak diimbangi dengan peran aktivis dakwah sebagai counter-attack dan filter ummat akan sangat berdampak semakin fatal.
Jika kita mengaku sebagai seorang aktivis dakwah dan menolak membimbing saudara-saudara kita maka status kita sebagai aktivis dakwah patut dipertanyakan. Akan sangat egois jika kita sangat bersemangat menuntut ilmu tapi enggan berbagi dengan saudara-saudara kita, bukankah Rasulullah SAW bersabda “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain”? Sudahkah kita memaknai hadits tersebut secara jernih jika kita masih menolak untuk membimbing saudara-saudara kita? Ataukah kita punya “standar” lain bagaimana maksud dari kata “bermanfaat bagi orang lain”?
Sangat ironis jika kita beralasan bahwa dakwah itu berat? Dari manakah kita mendapat standarisasi “berat” tersebut? Apakah kita sudah membandingkan dengan standar perjuangan dakwah Rasulullah di bumi Makkah dulu? Jika sudah, mana yang lebih berat?
Dakwah bukan hanya tentang mereka yang bersorban dan berbaju koko saja, tapi dakwah adalah tugas semua kaum muslimin dengan cara-cara yang fleksibel dan membumi. Dengan memakai seragam sekolah atau jaket kulit sekalipun, dakwah masih bisa dilakukan. Maka tidak ada alasan untuk tidak berbagi ilmu kita kepada orang lain. Jika merasa ilmu kita masih sedikit, maka amanah dakwah ini seharusnya bisa menjadi shock therapy bagi diri kita agar bisa menjadi lebih baik.
“Jika bibit unggul tidak ditanam di lahan subur maka ia akan sia-sia dan jika lahan subur tidak ditanami bibit unggul maka ia akan merugikan”. Semoga kita bisa mencetak bibit unggul di lahan dakwah ini. Aamiin..
Oleh: Ardi Wahjoedi, Bogor