“Al-imaanu yazidu wa yanqush.”
Kata-kata inilah yang melekat dalam hati kami, bahwasanya iman itu bisa naik dan turun.
“Yazidu bith tho’at, yanqushu bil ma’shiyat.”
Dipertegas dengan uraian berikutnya, bahwa naiknya iman itu merupakan indikasi adanya ketaatan yang kita lakukan, diterima oleh Allah. Sebaliknya, ketika iman kita turun, berarti ada maksiat yang kita kerjakan, diterima (dihitung sebagai dosa) oleh Allah.
Di kalangan anak muda zaman sekarang marak istilah galau. Kalau di kalangan aktivis dakwah, namanya jadi futur. Menurut saya keduanya sama saja. Galau maupun futur adalah indikasi turunnya iman kita kepada Allah. Karena bagi orang beriman tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan mereka tidak pula bersedih hati.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah[2]:62)
Kekhawatiran dan kesedihan merupakan ciri-ciri futur dan galau. Barangkali ada sebagian kawan-kawan kita yang mengalaminya sekarang.
Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika futur menghampiri?
Yang pertama kali kita lakukan adalah bersyukur atas futur yang telah dikaruniakan kepada diri kita. Itu tandanya Allah masih memberikan kita nikmat perasaan berdosa, karena Dia masih sayang kepada kita. Andai Allah tidak memberikan nikmat ini, niscaya kita akan menjadi seperti Fir’aun yang kufur dan menganggap dirinya adalah Tuhan.
“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS An-Nuur[24]:21)
Pada suatu waktu kita bisa begitu aktif berdakwah, mengisi taujih di sana sini, intensitas syuro meningkat, serasa kita sudah benar-benar memikirkan nasib umat. Tanpa sadar kita pun memuji kebaikan diri kita sendiri, “Hmm.. Aku sudah berjuang keras untuk umat ini.”
Itu adalah masa-masa kedigdayaan kita sebagai seorang aktivis dakwah. Mencicipi nikmat berdakwah juga merupakan karunia Allah. Jadi maklum kalau aktivis dakwah merasa bahagia dengan capaiannya.
Ketika perasaan itu membumbung terlalu tinggi, Allah pun memberikan kita futur atau galau. Tujuannya apa? Agar kita tidak terlena dengan kebaikan kita. Karena itu, salah seorang salaf mengatakan:
“Berapa banyak maksiat yang memasukkanmu ke dalam syurga, dan berapa banyak amal ketaatan yang memasukkanmu ke dalam neraka.”
Maksudnya, sebagian perbuatan maksiat membuat pelakunya menjadi orang yang hina dina, hancur hatinya, tunduk, dan penuh penyesalan, gundah gulana dan sedih, menangis dan mengiba, beristighfar dan beramal shalih. Sehingga, penyesalan dan taubatnya itu menjadi sebab yang menjadikan dia masuk syurga.
Dengan adanya futur, berarti Allah masih memberikan kita sinyal, bahwa di hati kita ada ketidakberesan. Sehingga ketika sinyal kita tangkap, nurani kita segera mendorong diri kita untuk melakukan ishlahun-nafs atau perbaikan diri.
Dalam neurologi dikenal adanya reseptor dan efektor. Sebagai contoh ketika kita asyik berjalan tanpa alas kaki, telapak kaki kita tertusuk duri, reseptor akan mengirim sinyal ke sistem saraf pusat untuk memberitahu bahwa ada duri yang menancap di telapak kaki. Setelah itu sistem saraf pusat mengirimkan sinyal ke efektor, agar membuat rasa sakit pada daerah yang tertusuk duri. Dengan respon sakit itu kita bisa tahu kalau ada ketidakberesan di kaki kita, sehingga kita bisa melakukan tindakan ‘penyelamatan’ seperti berhenti sejenak untuk mencabut duri tersebut.
Bayangkan jika tidak ada sinyal yang dikirim, duri itu tetap akan menancap di kaki kita tanpa kita ketahui. Ia akan terus bercokol di sana, tanpa ada yang mengusiknya. Lama-kelamaan duri itu masuk ke dalam daging dan membuat kaki kita infeksi, bahkan lebih parah lagi.
Begitu pun dengan jiwa kita. Andai Allah tidak memberi kita sinyal bahwa hati kita sedang tidak beres, niscaya kita menjadi sombong. Awalnya muncul dengan wujud narsis, semakin lama berubah ‘ujub, lalu menjadi ‘ujub kronis, lantas berubah sombong. Dan apa ganjaran yang pas untuk orang sombong?
“(Dikatakan kepada mereka), ‘Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong’.” (QS Al-Mu’min [40]:76)
Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itulah, ketika kita dilanda futur, hal yang pertama kita lakukan adalah bersyukur. Karena kita sudah dihindarkan Allah dari sifat sombong.
Lantas, sudah siapkah kita berkata, “Terima kasih yaa Allah, aku futur.”