Mari kita mulai dengan mengingat sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“‘Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara ialah (perkara) yang baru (diada-adakan). Setiap (perkara) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim).
Sabda Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan panduan yang tegas agar kita meneguhkan keyakinan dan menetapkan sikap bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah dan sebaik-baik petunjuk adalah As-Sunnah Ash-Shahihah. Ini memberi pelajaran bahwa petunjuk dari keduanya telah lengkap dan sempurna. Tidak ada satu pun perkara yang mendekatkan kepada surge, kecuali Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Tidak pula ada satu pun perkara yang menjauhkan dari neraka, menyelamatkan dari keburukan, kecuali telah ada panduan yang diturunkan bagi kita untuk menjauhinya. Karena itu, setiap kali ada perkara yang baru dari perkataan manusia maupun apa yang disangka sebagai teori ilmiah, kita perlu periksa apakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ataukah justru menyelisihinya. Dalam ini, semangatnya adalah menakar menurut keduanya. Bukan mencocok-cocokkan. Bukan mencari pembenaran.
Ukuran ilmiah ialah apabila ada hujjah naqli yang haq atau terdapat bukti-bukti nyata yang kuat (evidence) untuk perkara-perkara yang bersifat empiris-observasional. Bukan semata hal-hal yang disodorkan sebagai bukti (proof). Meskipun sesuatu itu disebut terbukti (proven), tetapi ada serangkaian kaidah yang harus dipenuhi untuk dapat disebut ilmiah. Ini pun masih memiliki kemungkinan salah. Dan kapan saja sesuatu itu kita dapati menyelisihi nash yang shahih, maka gugurlah kedudukannya sebagai ilmu, meskipun orang mengatakannya ilmiah. Akan tetapi, kita tidak boleh tergesa-gesa menerima sesuatu sebagai ilmiah, terlebih untuk ilmu-ilmu sosial dimana sangat banyak ruang spekulasi yang tidak melalui proses pengujian, tetapi disebut sebagai teori ilmiah. Oedipus Complex merupakan salah satu contoh klasik dalam psikologi.
Jika kita yakin bahwa keduanya –Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah—merupakan sebaik-baik panduan dan tidak ada lagi panduan yang lebih baik dibanding kedunya, maka konsekuensinya kita juga harus yakin bahwa segala persoalan maupun tantangan dalam mendidik anak maupun dalam menjalani kehidupan ini secara keseluruhan, telah ada jawabannya. Segala tantangan yang muncul di masa kita maupun masa yang akan datang, hanya berbeda bentuknya, tetapi pokok persoalannya tetap sama.
Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah perintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan, mendidik anak-anak kita untuk menjaga dan menutup aurat mereka, maka perintah pokok ini tetap berlaku hingga kapan pun. Bentuk tantangan dan kadar berat ringannya saja yang berubah, tetapi akar masalahnya tidak berubah. Masalah fitnah yang berkait dengan aurat tetap ada, bentuknya yang berbeda-beda. Hari ini, pornografi bisa hadir di genggaman. Sementara dulu berbeda bentuknya.
Apa yang terjadi jika kita meyakini bahwa tantangan yang kita hadapi di zaman ini sangat berbeda dengan zaman dulu, dan tantangan di masa mendatang secara prinsip sangat berbeda dengan masa kini? Tanpa sadar kita menganggap bahwa petunjuk ini tidak memadai lagi sehingga kita justru menyibukkan diri mencari bekal yang masih bersifat asumsi(zhanniy), dan melemah iltizam (komitmen) kita terhadap petunjuk yang pasti. Di sinilah kemudian berbagai macam fitnah syubhat dapat menjerat, sehingga kita meyakini baik apa yang justru dipastikan keburukannya oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah Ash-Shahihah.
Contoh sederhana. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam melarang kita melampaui batas dalam berdo’a. Salah satu bentuk melampaui batas itu, sebagaimana kita dapati dalam riwayat yang shahih, adalah merinci-rinci serta memvisualisasikan do’a. Tetapi hari ini, banyak manusia melakukan karena menganggap ini merupakan metode yang menjamin do’a lebih cepat terkabul. Dalam hal ini, sekurangnya ada dua kesalahan serius.Pertama, menganggap bahwa agama ini masih perlu disempurnakan dengan metode baru, padahal kaidah dasarnya adalah “seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan”. Kedua, menganggap seolah metode tersebut lebih menentukan dibanding kehendak Allah Ta’ala, seakan Allah ‘Azza wa Jalla tunduk kepada apa yang disangkakan sebagai hukum, padahal sesungguhnya aqidah agama lain.
Jika kerusakan semacam ini dibiarkan terjadi, maka kerusakan yang lebih besar lagi terbuka jalannya untuk terjadi. Apa itu? Mereka melakukan praktek-praktek ritual semacam Yoga karena menganggap ilmiah, mempercayai energi batu-batu dan bahkan warna sebagaimana terdapat dalam syirik Energi Chakra, lalu merasa aman dari rusaknya iman hanya karena menganggap bahwa yang menyelamatkan itu adalah “asalkan kita yakin yang menyembuhkan itu Allah Ta’ala” atau “yang penting kan kita meminta hanya kepada Allah Ta’ala”. Ragam kerusakan ini banyak tersebar melalui beragam training, tetapi meyakini Allah Ta’ala sebagai pencipta dan pemberi kesembuhan seraya melakukan ritual yang dituntunkan, bukanlah hal baru. Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah kabarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an? Bacalah Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 31, misalnya. Atau bacalah Al-Qur’an surat Az-Zukhruf ayat 87.
Ini berarti, pernyataan bahwa semua itu hanya metode, tidaklah dapat diterima. Bahkan seandainya mereka mengatakan bahwa mereka mencintai Allah Ta’ala atau memang mencintai Allah Ta’ala. Bukankah di antara orang-orang musyrikin itu mencintai Allah Ta’ala? Mereka mencintai sesembahan tandingan Allah Ta’ala (meskipun mereka tidak merasa menyembahnya) sebagaimana mereka mencintai Allah. Mereka meyakini berbagai ajaran itu bahkan melebihi keyakinannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat cinta kepada Allah Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah, 2: 165).
Maka, harus kita garis bawahi bahwa sesungguhnya tidak ada cinta, tidak pula ada tauhid tanpa ittiba’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran, 3: 31).
Semoga dapat kita renungkan