Saya menghormati Prof. Quraish Shihab sebagai pakar tafsir Al-Qur’an terkemuka di negeri ini. Saya pernah dua kali berbincang-bincang dengan beliau tentang metode penafsiran Al-Qur’an dan pemahaman hadits. Dalam kapasitasnya sebagai ahli tafsir, kepakaran beliau jelas sangat diakui.
Namun begitu beliau berpendapat tentang sebuah masalah fiqih dan aqidah seperti yang sekarang sedang ramai didiskusikan, saya sepertinya harus merujuk kepada pendapat selain beliau.
Kenapa?
Dalam kasus pendapat fiqih tentang jilbab, misalnya, Prof. Quraish Shihab agaknya mengambil sikap tasaahul (menggampangkan masalah) dengan mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib. Anehnya, di dalam soal jilbab, Prof Quraish banyak mengutip pendapat Muhammad Syahrur yang notabene adalah seorang insinyur elektro dan tokoh liberal Suriah.
Syahrur di dalam bukunya Metodologi Fikih Islam bahkan berpendapat bahwa sebenarnya memakai bikini pun masih dikategorikan menutup aurat. Sampai sekarang saya masih tidak mengerti apa yang menjadi alasan Prof. Quraish Shihab menjadikan pendapat-pendapat Syahrur sebagai kutipan.
Saya juga belum bisa memahami konsistensi Prof. Quraish Shihab yang pernah mengatakan bahwa penafsiran Al-Qur’an itu terikat dengan konteks sosial di masa penafsir hidup. Namun, dalam kasus tertentu, Prof. Quraish Shihab sering mengesampingkan konteks ayat yang ditafsirkannya dari situasi yang sebenarnya relevan dengan ayat tersebut.
Saya menyadari mungkin karena kegagalan saya memahami pendapat seorang ilmuwan. Tapi anehnya kenapa kegagalan ini sering terjadi? Di satu sisi, saya ingin melepaskan diri dari konteks masa ketika Al-Qur’an diturunkan dan membaca menurut konteks masa di mana saya berada. Tapi kenapa setiap saya lakukan itu jiwa Al-Qur’an serasa hilang dari dalam hati?
Akhirnya saya menyadari bahwa bagaimanapun saya manusia. Dan pendapat seorang manusia bersifat relatif dan mengandung banyak kemungkinan.
Sepertimana Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Pendapat Anda boleh jadi benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat saya boleh jadi salah, tapi mengandung kemungkinan benar.”
Abdi Kurnia Johan