Tidak Perlu Menjadi Orangtua yang Konsisten?

Menjalani peran sebagai orangtua merupakan tugas sekaligus kewajiban yang berat untuk dipikul, harus berhati-hati dalam menentukan langkah bagi tegaknya pendidikan keluarga yang ideal. Ketika seseorang menjadi orangtua, terjadilah perubahan dalam hidupnya. Perubahan tersebut mendorong seseorang untuk berusaha keras bersikap konsisten dalam mendidik anak-anaknya, ia terus berusaha menyamarkan perasaan “tidak menerima” atas ulah sang anak yang melewati batasnya, harus selalu bersikap adil, harus bersikap toleran tanpa syarat, harus mengesampingkan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan dalam berhadapan dengan si kecil.

Meskipun niat baik ini dapat dipuji dan dipahami, tetapi niat-nat seperti ini biasanya menjadikan orangtua tidak efektif. Melupakan sisi manusiawi dalam diri justru merupakan kesalahan yang paling umum dibuat ketika seseorang memainkan peran sebagai orangtua. Semua orangtua adalah pribadi-pribadi yang dari masa ke masa memiliki dua macam perasaan yang berbeda terhadap anak mereka, yaitu perasaan menerima atau tidak menerima kelakuan anak. Dan sikap tersebut dipengaruhi oleh individu orangtua yang memiliki sifat-sifat pribadinya. Kadangkala seorang seorang ibu tak bisa menerima ketika anaknya melempar bola di dalam ruangan, sedangkan ayah menerimanya sebagai bentuk latihan fisik yang bermanfaat. Selain itu sikap orangtua juga tergantung situasi di sekelilingnya, misalnya seorang ibu di waktu tertentu menerima seorang anak makan di kamar tamu, namun di saat ada kunjungan tamu ibu berubah menjadi tidak mentoleransi kelakuan makan di ruang tamu yang dia lakukan. Jadi, seorang ibu dan ayah tidak terlalu mempunyai perasaan yang sama mengenai tingkah laku yang sama anak mereka pada suatu saat tertentu.

Tidak dapat dihindari kenyataan bahwa orangtua menjadi tidak konsisten. Bagaimana mereka dapat berbuat lain, bila perasaan mereka berubah dari hari ke hari, dari satu anak ke anak lain, dari situasi ke situasi yang lain? Bila mencoba tetap konsisten, mereka tidaklah jujur. Nasehat kuno kepada orangtua bahwa mereka harus konsisten bagaimanapun mengabaikan fakta bahwa situasi bisa berbeda, anak-anak berbeda, dan ibu serta ayah adalah manusia yang berbeda. Lagi pula, nasehat seperti itu mempunyai akibat buruk, yakni mendorong orangtua untuk berpura-pura, bersandiwara menjadi seorang manusia dengan perasaan yang sama.

Apa akibatnya terhadap anak jika orangtua memalsukan sikap dapat menerima? Anak-anak, sebagaimana umumnya diketahui, sangatlah peka terhadap sikap orangtua mereka. Apa yang orangtua rasakan sejatinya dapat mereka baca sebagai “pesan tanpa bicara”; isyarat-isyarat yang kadang ditangkap secara sadar maupun tidak sadar oleh mereka. Orangtua yang sikap batinnya terganggu atau marah, secara sadar atau tidak sadar akan mengerutkan kening, mengangkat alis, sikap tubuh tertentu, dan ketegangan otot-otot muka. Bahkan anak-anak kecil pun dapat mengenali dan mempelajarinya dari kebiasaan dan pengalaman bahwa sikap-sikap yang ditunjukkan tersebut biasanya ibu tidak menerima apa yang mereka lakukan. Akibatnya ia merasa tidak disetujui, pada saat itu juga ia merasa bahwa orangtuanya tidak menyukai dirinya.

Pada beberapa kondisi yang tidak menguntungkan; perubahan-perubahan perasaan (mood), situasi, perbedaan pendapat dengan pasangan, bersikap jujur dan terbuka terhadap perasaan akan mendorong orangtua untuk bersikap tulus dan apa adanya terhadap anak mereka. Meskipun anak-anak jelas lebih suka untuk dapat diterima dalam melakukan semuanya, namun mereka dapat akan mampu mengatasi secara konstruktif perasaan-perasaan tidak terima dari orangtua mereka. Bila orangtua mengirim pesan-pesan yang jelas dan jujur, yang sesuai dengan perasaaan mereka sebenarnya, hal ini tidak saja memudahkan anak-anak untuk menyesuaikan diri, tetapi akan membantu setiap anak untuk melihat orangtua mereka sebagai pribadi transparan, manusiawi, dan menyenangkan.

 

Disarikan dari Karya Thomas Gordon (2009), Menjadi Orangtua Efektif.