Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang, dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf, 191-192).
“Dan sesembahan-sesembahan yang kalian mohon selain Allah, tidak memiliki apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu itu, kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat meraka akan mengingkari kemusyrikanmu, dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir 13-14).
Kedua ayat tersebut menunjukkan kebhatilan syirik mulai dari dasarnya, karena makhluk yang lemah ini, yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sama sekali, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia.
Diriwayatkan dalam Shahih (Bukhari dan Muslim) dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Ketika Perang Uhud Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam terluka kepalanya, dan pecah gigi serinya. Maka beliau bersabda: “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabinya?”
Kemudian turunlah ayat: “Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu.” (QS. Ali Imran 128).”
Mereka telah melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang-orang kafir yang lain, antara lain melukai kepala Rasulullah, dan berupaya untuk membunuh beliau, serta mengkoyak-koyak tubuh para korban yang terbunuh, padahal yang terbunuh itu adalah sanak famili mereka.
Dan diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Umar Radhiyallahu ’Anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda ketika beliau berdiri dari ruku’ pada rakaat yang terahir dalam shalat shubuh:
اللهم العن فلانا وفلانا “، بعد ما يقول:” سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد “، فأنزل الله ] ليس لك من الأمر شيء.
“Ya Allah, laknatilah si fulan dan sifulan,” setelah beliau mengucapkan: سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد . Setelah itu turunlah firman Allah:
“Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu.”
Saat itu, Rasulullah, pemimpin para rasul, dalam shalat subuh telah membaca qunut sedang para sahabat dibelakangnya mengamini. Dengan demikian, dianjurkannya melakukan qunut nazilah, yaitu: qunut yang dilakukan ketika umat Islam dalam keadaan mara bahaya.
Dalam riwayat yang lain: “Beliau mendoakan semoga Shafwan bin Umayah, Suhail bin Amr, dan Al Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah”, maka turunlah ayat:
“Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu.”
Nama-nama orang yang beliau doakan ini, semoga Allah menjauhkan rahmatNya dari mereka, adalah orang-orang kafir. Boleh melaknat orang kafir tertentu di dalam qunut. Menyebutkan nama-nama mereka beserta nama orang tua mereka ketika didoakan terlaknat di dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
Di masa yang akan datang, setelah Fathu Makkah, orang-orang ini masuk Islam.
“Atau Allah terima taubat mereka, atau menyiksa mereka.” (QS. Ali Imran, 128).
Kemudian Allah pun menerima taubat mereka, dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, dan menjadi orang orang yang beriman.
Kisah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam ketika diturunkan kepada beliau firman Allah “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat,” memberikan gambaran pada kita bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah seorang Rasul yang tidak bisa memberikan pengampunan pada orang-orang kafir, meskipun mereka adalah keluarganya sendiri.
Diriwayatkan pula dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’Anhu ia berkata: “Ketika diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (QS Asy Syu’ara, 214)
Berdirilah beliau dan bersabda:
“Wahai orang-orang Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya). Sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah untuk kalian.”
“Wahai Abbas bin Abdul Muthalib, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah.”
“Wahai Shafiyah, bibi Rasulullah, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah nanti.”
“Wahai Fatimah binti Rasulullah, mintalah kepadaku apa saja yang kau kehendaki, tapi sedikit pun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah nanti.”
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam memperingatkan keluarganya yang paling jauh kemudian yang terdekat dengan sabdanya: “Sedikitpun Aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah nanti,” sampai beliau bersabda: “Wahai Fatimah putri Rasul, aku tidak bisa berbuat untukmu apa-apa dihadapan Allah nanti.”
Jika beliau sebagai pemimpin para rasul telah berterus terang tidak bisa membela putrinya sendiri pemimpin kaum wanita di jagat raya ini, dan jika orang mengimani bahwa apa yang beliau katakan itu benar, kemudian jika dia memperhatikan apa yang terjadi pada diri kaum Khawash dewasa ini, maka akan tampak baginya bahwa tauhid ini sudah ditinggalkan, dan tuntunan agama sudah menjadi asing.
Kaum Khawash ialah orang orang tertentu yang ditokohkan dalam masalah agama, dan merasa bahwa dirinya patut diikuti, disegani dan diminta berkah doanya.
Kesungguhan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesutu yang menyebabkan dirinya dituduh gila, demikian halnya apabila dilakukan oleh orang mukmin pada masa sekarang.