Mari mulai bicara dari sebuah realita kekinian. Kondisi masyarakat dunia yang mengalami distorsi pemahaman akan sebuah kebenaran menjadi sebuah dilema terbesar dalam perkembangan sistem yang ditawarkan Islam.
Di negara kita sendiri khususnya walaupun diketahui sebagai muslim terbesar seakan hanya sebuah fakta biasa yang tak memberikan kontribusi apa-apa. Padahal, ini adalah potensi besar sebuah perbaikan bagi peradaban jika muslim benar-benar selalu berproses menjadi seorang pembelajar. Memahami banyak masalah dalam perspektif solutif, menarik hikmah, tidak sekedar meneguk pil pahit atau malah cuma berdiplomasi tanpa ada langkah.
Inilah esensi sejati dari keberadaan insan sebagai khalifah di bumi. Amanah ini bukanlah hal yang ringan, tapi Allah telah menetapkan sebaik-baiknya amanah kepada insan.
Pengertian dari sumber daya insan, yang penulis sadur dari Wikipedia tentang sumber daya manusia, adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.
Potensi sumber daya insan di Indonesia sebenarnya sudah cukup untuk menjadi sebuah pasar besar dalam mencetak kesejahteraan jika dilihat dari kuantitas insannya. Untuk menyamakan persepsi di awal, kesejahteraan yang kita bahas kali ini adalah kesejahteraan yang menjaga kaidah unsur maslahah yang memenuhi keseimbangan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Asy Syatibi tentang maslahah, bahwa semuanya akan bermuara pada sebuah perbaikan peradaban ketika kelimanya tercapai pada tiap individu.
Ekonomi islam hadir ditengah masyarakat yang merindukan kesejahteraan, tidak lantas dengan mudah diterima masyarakat, sekalipun muslim. Di awal pertumbuhannya di tanah air dengan berdirinya Bank Muamalat yang meniadakan unsur riba dalam praktik perbankan, tidak dengan serta merta membuat muslim langsung beralih ke bank syariah. Bahkan hingga sekarang setelah 20 tahun Bank Muamalat berdiri dan telah tumbuh bank syariah lainnya, serta lembaga keuangan syariah lainnya. Muslim masih belum memahami esensi perbankan syariah.
Melihat kondisi ini, maka penulis mengklasifikasikan ada 3 perspektif ketika kita bicara mengenai sumber daya insani ekonomi Islam:
1. Ekonom Muslim
Secara umum ketika setiap muslim punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhannya hingga tercapainya kesejahteraan, maka sumber daya insan pertama adalah semua potensi umat muslim di Indonesia. Semua umat muslim adalah ekonom, yang akan kita sebut kemudian sebagai ekonom muslim.
Ekonom muslim seharusnya punya kesadaran tinggi untuk meninggalkan riba yang telah mutlak diharamkan dalam Al Baqarah ayat 275. Tapi ternyata pandangan mereka berbeda, ekonom muslim merasa banyak hal yang tidak bisa mereka terima, perbankan syariah tidak ada bedanya dengan perbankan konvensional. Bunga ya bunga. Riba ya riba. Banyak sekali suara dari ekonom muslim ini yang merasa kondisi ekonomi sosial tidak bisa lantas dengan mudah menjadi baik, ketika mereka berkonversi ke perbankan syariah.
Ditambah lagi dengan fakta yang penulis ambil dari zonaekis.com terkait kondisi di bank syariah sendiri. Direktur BNI Syariah, Imam Teguh Saptono, menyampaikan “Umumnya pemimpin di perbankan syariah berasal dari perbankan konvensional, jadi memang harus ada balancing, di mana aspek fiqih dan syariah diperkuat.” Menguatkan bahwa kesannya bank syariah sekarang masih tidak jauh berbeda dari bank konvensional karena sumber dayanya pun orang yang sama.
Masalah pada perspektif pertama dari para ekonom muslim adalah masih adanya dikotomi antara ekonomi dan Islam, atau tidak adanya sensitifitas dari masyarakat dalam memahami ekonomi islam, kondisi ini membuat ayat langit tidak bisa membumi, dan penyebabnya jelas karena kurangnya pemahaman muslim dan pemahaman mereka tentang ekonomi yang telah mengakar sejak kecil adalah konsep ekonomi yang konvensional. Baik secara ilmu maupun hingga tataran tekhnis.
Sehingga, bisa kita lihat ternyata potensi yang ada pada sumber daya insan ini tidak sesinergis yang dibayangkan, disebabkan karena ketidakmampuan insannya untuk berintegrasi dalam tatanan sosial menuju kesejahteraan dengan sistem islam. Singkatnya, Ekonomi Islam sebagai sistem belum membumi dikalangan ekonom muslim.
Padahal perekonomian yang bobrok saat ini telah menjadi cermin bahwa sistem perbankan ribawi menjadi pemicu utama krisis ekonomi. Hutang negara-negara berkembang pada tahun 1982 mencapai 715 milyar dolar dan beban bunga yang harus dibayarkan sebesar 66 milyar dolar (World Bank, 1984). Beban bunga, istrumen perbankan ribawi yang sangat memberatkan dan mengganggu perekonomian, karena menimbulkan bubble economic.
Kondisi ini mengalami puncaknya ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi cukup parah yang melanda beberapa negara termasuk Indonesia. Kemudian disisi lain, satu fakta yang menjadi pembuktian nyata bahwa bank tanpa riba bisa menghindarkan penyakit gila seperti yang disebutkan dalam AlBaqarah ayat 275, ketika krisis 2008, Bank Muamalat sebagai lokomotif perbankan tanpa riba selamat dari negatif spread yang dialami bank riba tersebut sebagai dampak dari krisis karena bunga dari kredit macet.
Setelah kita melihat secara keseluruhan umat muslim yang seharusnya aware terhadap riba ternyata belum bisa diharapkan. Maka kita akan beranjak ke perspektif selanjutnya.
2. Praktisi Ekonomi
Perspektif selanjutnya yaitu para ekonom muslim yang bersentuhan langsung dengan kebijakan dan praktek pada tiap sistem ekonomi yang berkembang dalam negara ini, kita sebut mereka praktisi. Ekonom muslim yang berada pada tataran praktisi, meliputi semua pekerja yang berada pada sistem lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank, Dewan Pengawas Syariah (DPS), pemerintah, dan pihak stakeholder terkait.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Diperkirakan 70 persen karyawan bank syariah saat ini berasal dari bank konvensional dan latar pendidikan non syariah. Maka sebagai umat muslim, wajar jika ada keraguan akan kepastian tanpa riba karena pelaku dalam praktek perbankan sendiri adalah orang-orang yang konvensional, sehingga perbankan syariah terkesan sebagai bank konvensional yang disyariahkan.
Menurut Agustianto, sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam, di dalam blog pribadinya, ada beberapa kualifikasi dan standar dari SDM Ekonomi Islam yang semuanya mengacu pada tuntutan untuk memahami kaidah dasar dalam penetapan kebijakan.
Disinilah kemudian ada sedikit distorsi, ketika setiap pakar yang sudah ahli secara teori maupun praktek ternyata masih memiliki perbedaan pendapat sehingga masyarakat yang mengacu pada para praktisi ini terkadang mengalami missed communication. Tapi, terlepas dari adanya perbedaan pendapat ini, Ekonomi Islam tetap terus berkembang hingga saat ini. Sebuah kewajaran sebenarnya ketika tiap pemikiran punya latar belakang yang berbeda, tapi sejauh tujuannya hanyalah satu, yaitu membumikan ekonomi syariah, maka semuanya akan seiring dan sejalan.
Selain itu pula, produk-produk perbankan yang menjadi daya jual ke masyarakat yang tidak sensitif terhadap urgensi riba untuk saat ini bisa dibilang belum inovatif. Karena masih banyak produk yang kesannya copy paste dari produk konvensional. Malah akad-akad muamalah yang ada juga terasa memberatkan bagi nasabah. Ini adalah kelemahan utama dari sumber daya insan yang ada dalam tataran praktisi. Penyajian produk perbankan yang kurang praktis dan kurang cantik dari kemasan.
Direktur Utama BNI Syariah, Rizqullah, mengatakan saat ini masyarakat lebih kritis terhadap perbankan syariah dengan menuntut layanan lebih baik dari bank konvensional. Oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan SDM keuangan syariah yang tak hanya berjumlah banyak tapi juga berkualitas.
“Tantangan berat bagi pelaku untuk bisa memenuhi harapan masyarakat karena itu dengan semakin banyak perguruan tinggi membuka keuangan syariah, maka akan membantu SDM perbankan syariah,” tutur Rizqullah. (sumber : zonaekis.com)
Direktur BNI Syariah, Imam Teguh Saptono, menyatakan, BNI Syariah memandang pendidikan ekonomi syariah memang sangat dibutuhkan. Pasalnya dalam dunia praktisi sekarang gap pengadaan SDM di perbankan syariah masih cukup besar, sementara pertumbuhan bank syariah tumbuh dua kali lebih cepat di atas bank konvensional, dengan pertumbuhan 30-40 persen per tahun. (sumber : Republika)
Dari fakta yang disebutkan di atas tentang kebutuhan akan ketersediaannya jumlah sumber daya insan, menuntut untuk dipenuhi bermuara pada satu tugas besar, yaitu partisipasi akitf perguruan tinggi sebagai mesin pencetak utama sumber daya insani yang berkualitas untuk sektor perbankan syariah seperti yang diungkapkan oleh Direktur Bank Muamalat Indonesia, Farouk Abdullah Alwyni, “Lembaga pendidikan berperan penting dalam menciptakan SDM yang bisa mengombinasikan form dan substansi keuangan syariah. Dengan demikian industry keuangan syariah dapat berjalan sesuai dengan prinsip syariah seutuhnya.”
3. Akademisi
Sudah seberapakah para akedimisi dalam mempersiapkan diri menjadi ekonom muslim sejati, yang tidak hanya melangit dengan keharaman ribanya, tapi juga membumi dengan prinsip keadilannya?
Sektor sumber daya terbesar yang ada di perguruan tinggi baik negeri negeri maupun swasta yang sangat memberi warna pada kualitas diri mereka. Penulis merasa, jika ekonom muslim punya masalah di sensitifitas mereka, dan praktisi ada pada inovasi yang kurang, maka akademisi saat ini punya masalah pada keduanya, inovasi, sensitifitas, dan ditambah lagi dengan inisiatif.
Tidak dapat dipungkiri, pendidikan di Indonesia dari dasar hingga tataran perguruan tinggi memiliki kecacatan sistem tersendiri dan ditambah dengan liberalisasi pemikiran yang mendikotomi ilmu dan agama. Seperti yang disampaikan diawal paraghrap. Maka, hal yang bisa kita lakukan untuk akslerasi perbaikan terhadap peradaban bermula dari insan yang ber-ISI, inovatif, sensitif, dan inisiatif.
Inovatif. Akademisi yang berada dalam usia produktif dan bersemangat tinggi harusnya bisa memiliki banyak kreatifitas tidak hanya bersikap ikut-ikutan. Membuat inovasi baru, para akademisi di bidang keuangan syariah melakukan kerjasama dengan teman-teman IPB dengan inovasi pertanian mereka untuk mengoptimalkan pembiayaan melalui perbankan syariah di sektor pertanian petani Indonesia yang saat ini semakin menurun tajam akibat adanya kebijakan PMA.
Sensitif. Memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat agar mereka lebih aware dan peduli dengan meng-upgrade diri untuk benar-benar memahami esensi ekonomi Islam sebagai ilmu maupun sistem. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan pemahaman yang lugas terhadap ekonomi islam.
Inisiatif. Mawas diri untuk tidak selalu puas dengan menjadi seorang akademisi ber-IP tinggi, tapi jadilah seorang akademisi yang selalu bergerak untuk perubahan.