Hal yang paling mengharukan jika seseorang menikah adalah: pada saat kita berbahagia karena dapat bersatu dengan orang yang kita cintai, pada saat yang bersamaan kita juga sangat bersedih karena harus berpisah dengan orang tua masing-masing, mencoba hidup mandiri, apapun yang terjadi. Duh, itu rasanya sungguh menyesakkan dada.
Memang kita tetap anak mereka. Apalagi suami, sebagai anak laki-laki, selamanya dia milik ibunya meskipun telah beristri. Namun, tetap saja, ada keharuan yang amat sangat, yang kita rasakan saat kita sungkem pada orang tua seusai aqad.
Setelah menikah, orang tua yang baik tentu juga akan berusaha untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kita. Jika kita memilih tinggal mandiri silakan, masih mau bergabung dengan orang tua dulu karena kebetulan masih satu kota atau karena penghasilan belum mapan, juga silakan. Kata salah seorang tetangga saya yang baru saja melepaskan anak lelakinya menikah, “Wah kalau nuruti kata hati sih masih pengin takkeloni itu anakku lanang. Tapi kalau sudah menikah, ya biar kata kita nangis darah karena kangen, tetap mereka sudah punya kerajaan sendiri.”
Pertimbangan apakah sebaiknya tinggal di rumah orang tua atau langsung tinggal mandiri terkait dengan banyak faktor. Misalnya kesiapan dana, kesiapan infrastruktur, kemudahan transportasi ke tempat kerja/aktivitas lain, kondisi orang tua/mertua, dll. Sebaiknya hal ini dimusyawarahkan baik-baik, mencari alternatif yang paling bermanfaat untuk semua. Bahkan sejak masa perkenalan, bahasan tentang akan tinggal di mana ini sebaiknya sudah menjadi agenda. Jangan sampai sejak masa ta’aruf sampai menjelang nikah iya iya saja, begitu setelah menikah langsung tekanan batin karena suami memutuskan tinggal di rumah orang tuanya entah sampai kapan.
Namun satu hal, jika memang awalnya tinggal bersama keluarga orang tua, tetap harus dipikirkan bahwa suatu saat kita perlu mandiri, terpisah dengan orang tua. Kecuali jika orang tua sudah sangat sepuh dan perlu ada yang mengurusi, maka kita yang mengalah untuk tinggal bersama mereka. Tetapi kalau pertimbangan tinggal di rumah PMI (Pondok Mertua Indah) lebih banyak karena faktor dari kita-nya (misalnya bisa menitip anak, tak repot harus setiap hari masak, dan lain-lain), maka ketahuilah bahwa itu salah satu bagian dari resiko berumah tangga.
Sebagai orang yang sudah berkeluarga, kita harus siap dengan resiko tersebut. Bahkan kalau bisa kita tidak merepotkan orang tua dengan urusan anak lagi, melainkan hanya sekali-kali sebagai obat kangen mereka pada cucu. Masak, mereka sudah capek merawat kita dan saudara-saudara kita dari kecil, sekarang ’ketiban’ lagi merawat cucu? Ada teman yang berseloroh tentang fenomena kakek-nenek yang berprofesi sebagai MC ini (momong cucu), “Fenomenanya jadi kebalik ya? Harusnya anak yang berbakti pada orang tua, ini malah orang tua yang berbakti pada anak.”
Ini karena kebetulan orang tua si teman berorientasi pada proses, sehingga mereka lebih senang bila anak-anaknya menikah, segera keluar dari rumah dan hidup mandiri, lebih baik kontrak di rumah petak yang mungil dari pada hidup menumpang pada orang tua. Mereka juga tidak mau anak-anaknya nanti menitipkan pengasuhan cucu sehari-hari pada mereka. Menurut mereka, tidak ada istilah orang tua berbakti pada anak (dengan menitipkan cucu pada kakek/nenek), tapi yang ada dalam Islam adalah anak yang berbakti (mengurus) orang tuanya, terutama saat mereka berusia senja.
Jika perlu dan belum memungkinkan untuk lepas seratus persen dari orang tua, mungkin perlu diambil jalan tengah seperti mengontrak/membeli rumah yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan rumah salah satu orang tua. Ini namanya latihan mandiri, tapi sekali-sekali masih dapat meminta bantuan orang tua jika terpaksa.
Memang, selalu ada manfaat mudharat di setiap pilihan. Kata seorang ustadz, selama masih tinggal bersama orang tua, “lidah tidak dapat selamanya berkata lurus dan kuping harus lebih tebal.” Bagaimanapun, meskipun banyak kesamaan, akan ada saja ditemukan perbedaan-perbedaan kecil yang dapat mempengaruhi harmoni hubungan kita dengan orang tua. Apalagi yang orang tuanya belum tersentuh tarbiyah sama sekali, akan banyak hal yang bertabrakan nantinya dalam soal pengasuhan anak/cucu dan urusan rumah tangga lainnya. Wallahu a’lam.
Satu hal yang jelas, tinggal berdua secara mandiri, biar di rumah kontrakan yang mungil, akan lebih bebas ’berekspresi’ dari pada tinggal bersama dengan orang tua/mertua. Kita akan dapat mengenal karakter lebih intens karena tiap orang langsung kelihatan aslinya. Kalau di rumah mertua, mungkin masih ada jaim-jaimnya kan? Tapi kalau di rumah sendiri, ibaratnya mau nangis bombay juga sudah gak perlu ditahan-tahan lagi (tadinya mungkin takut dibilang menantu cengeng). Yang bakatnya tidur melulu gak pernah bantu-bantu juga segera terdeteksi, he. Diharapkan, dengan langsung terlihat sikap keseharian aslinya ini, masa adaptasi awal-awal nikah akan dapat segera dilalui dengan mudah.