Trauma pada ‘Ummi’

Istri ipar saya—biasa saya panggil Teteh—saat kuliah kenal dengan kelompok pengajian. Bahkan dia pun bagian dari komunitas keagamaan itu, termasuk pernah bekerja di perusahaan yang mendukung pergerakan (harakah) itu.

Saat menikah dan bersuamikan ipar saya, si Teteh ini masih terikuti kebiasaan sebagaimana lazimnya kelompok pengajian yang diikutinya. Ambil contoh dalam memanggil suami dengan sebutan ‘abi’. Panggilan ini masih dipertahankannya hingga sekarang ketika ia menjadi ibu beranak dua.

Meski ia senang dirinya memanggil suaminya dengan ‘abi’, dan juga mengajarkan putra-putrinya dengan sebutan yang sama, salah besar bila kita menilainya akan rela disebut dengan panggilan ‘ummi’. Si Teteh memilih disebut ‘dek’ oleh suaminya, dan ‘ibu’ oleh anak-anaknya. Terhadap panggilan ‘ummi’, Teteh punya trauma.

Rupanya, Teteh pernah bersahabat dengan perempuan bernama Ummi. Bukan satu orang saja, melainkan tiga-empat orang. Semuanya sama, Muslimah, bahkan sebagian di antaranya mengenal agama dengan baik. Ummi A, B, C, dan D ini naifnya memiliki sikap yang tidak disukai Teteh. Terhadap anak-anak mereka masing-masing, semua Ummi itu melakukan tindakan yang tidak patut ditayangkan di blog ini.

Sebagai sesama perempuan dan Muslimah, nama mulia ‘Ummi’ seakan tidak berbekas. Nama-nama yang diandaikan memahami Islam, apalagi bergelar aktivis keagamaan, justru tidak memberlakukan anak sebagaimana tuntunan dan teladan Nabi Muhammad. Bahkan ketidaksukaan Teteh pada sikap para Ummi itu sampai pada tingkatan—yang saya rasakan seperti—menjijikkan.

Karena itulah, dia ‘membenci’ nama Ummi sehingga tidak mau dirinya disebut ‘Ummi oleh suami dan anak-anaknya. Juga tak mau bila saudara dan iparnya menyebutnya Ummu Fulan atau Ummu Fulanah. Dalam kadar tertentu, bukan hanya tidak simpati melainkan pula kebencian plus trauma pada setiap panggilan ‘Ummi’.

Saya dan istri yang tidak mengalami langsung suasana batin seperti Teteh, tentu dengan enteng akan menilai kerabat kami itu berlebihan. Dengan ruang dan waktu berbeda tetapi menyisakan bekas pengalaman yang sama dalam diri Ummi-Ummi itu, akhirnya membuat kami memahami bahwa perasaan Teteh bisa diterima. Setidaknya dalam tingkatan tertentu, kami tidak mau ber-Ummi ria (syukurnya, saya tak pernah dan tak akan memanggil istri saya dengan sebutan itu).

Sebagian kita barangkali pernah mengalami kebencian berulang atau pengalaman pahit berulang semacam cerita di atas. Terhadap nama yang sama (namun berbeda orang tentunya), kita dapati respons serupa. Misalnya mendapati teman dekat dari kecil hingga kerja bernama depan atau tengah Ahmad, tetapi tingkahnya tidak seperti makna nama ini.

Saya berharap, kita semua mendapati teman-teman yang membuahkan hikmah. Yakni nama dan maknanya selaras dengan perilakunya dalam kehidupan bersama kita.

Yusuf Maulana