Sejarah Uang Kertas Modern
Emas (dinar) dan perak (dirham) sudah dijadikan alat tukar sejak zaman Romawi kuno, Mesir kuno, Cina kuno dan peradaban lainnya. Pada awalnya uang kertas tidak lain adalah sertifikat kepemilikan emas. Di masa lalu jika anda mempunyai uang kertas senilai Rp 1 miliar, itu berarti sebenarnya ada 1 miliar milik anda yang disimpan Negara dan bisa diambil kapan saja. Lalu satuan perbandingan uang kertas dan emas diperkecil. Jika awalnya satu emas sebanding dengan 1 nilai uang kertas, maka mulai mengecil menjadi 1 emas sebanding dengan 10 uang kertas, dan seterusnya.
Setelah Perang Dunia II, Amerika menggagas perjanjian bersama untuk menjalankan sebuah system moneter yang dikenal dengan Brettan Woods. Dalam sistem ini disepakati bersama bahwa US Dollar berperan sentral dalam sistem moneter dunia. Dollar AS pun bisa dijadikan sebagai cadangan devisa. Selain itu, sistem ini juga menetapkan bahwa untuk setiap pencetakan US$35 sama dengan satu ons emas sebagai back up. Brettan Woods menandai era fixed exchange rate dengan back up emas.
Karena cadangan emas Amerika semakin lama semakin terkuras, akhirnya Amerika sudah tidak bisa lagi mengendalikan keuangannya jika dikaitkan dengan cadangan emas. Pada tahun 1971, Amerika secara sepihak memutuskan untuk tidak lagi mengaitkan dollarnya dengan cadangan emas yang mereka miliki. Kejadian yang disebut dengan Nixon Shock itu telah membuat seluruh mata uang di dunia termasuk dollar yang menjadi sentral, tidak bisa lagi kita anggap memiliki nilai. Kemudian Negara-negara industry G10 mengakhiri era Fixed Exchange Rate dan menggantinya dengan Floating Exchange Rate yang harus diikuti oleh seluruh Negara anggota IMF.
Inflasi Uang Kertas
Benar sekali pernyataan bahwasanya uang kertas itu cenderung terkena inflasi, dikarenakan nilai ekstrinsik uang kertas itu lebih besar daripada nilai instrinsiknya. Dan selain itu juga, uang kertas yang digunakan sebagai alat transaksi ini memudahkan pemerintah untuk mencetak uang kertas sebanyak mungkin. Hal ini akan menurunkan nilai mata uang kertas suatu Negara di pasar uang internasional, akibatnya harga dari barang atau jasa yang selama ini berpatokan kepada dollar AS akan mengalami lonjakan. Hal inilah yang kemudian memaksa pemerintah untuk menaikkan harga barang dan jasa di suatu Negara.
Dalam istilah ushulul fiqh dikenal kaidah al’adaatu muhakkamah bahwa adat istiadat suatu kaum itu dapat dijadikan sebagai sumber hukum, tentunya hukum tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dan juga, uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah menjadi standard nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-uandang dan perlindungan Negara.
Riba Fadhl (Selisih Nilai)
Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. Dalam suatu waktu, khalifah ‘Umar bin Khattab pernah berinisiasi untuk menggunakan kulit unta sebagai uang, meski hal tersebut tidak terwujud. Keinginan ‘Umar tersebut menunjukkan tidak adanya pembatasan alat tukar hanya kepada emas dan perak.
Kemudian hukum memakai uang kertas apakah termasuk dalam kriteria riba?
Jika kita qiyas-(analogi)-kan emas itu sebagai alat tukar, dan uang kertas juga sebagai alat tukar, maka uang kertas tidak memenuhi semua unsur dankriteria mata uang yang dimiliki emas perak. Mata uang dapat menjadi alat ukur dan alat tukar serta penyimpan nilai tetapi secara nisbi. Yaitu selama pasar menerima jaminan dari bank sentral penerbit mata uang tersebut. Saat pasar tidak percaya lagi kepada mata uang tersebut maka mata uang bisa ditolak di pasar disamping itu nilainyanya bias terdevaluasi. Keberadaannya sebagai penyimpan nilai juga senantiasa merosot sejalan dengan laju inflasi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa uang kertas berbeda sekali dengan emas perak apatah lagi sejak setelah era Bretton Wood berakhir.
Akan lebih baik jika kita mampu menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar, alat pembayaran, pengukur nilai dan penyimpan nilai. Karena dinar dan dirham nilainya akan selau tetap hingga hari kiamat, tidak seperti halnya uang kertas yang cenderung terkena inflasi.
Wallahu a’lam bis-Shawab.
Dr. Muhammad Syafii Antonio