Disebutkan di dalam kitab Muqaddimah Al Jarh wat Ta’dil dan juga di dalam Siyar A’lamin Nubala’ bahwa dahulu Al Imam Abu Zur’ah Ar Razi adalah seorang ulama ahlul hadits abad ketiga Hijriyyah dari negeri Ray. Ketika itu beliau sedang terbaring di atas ranjang beliau menanti maut. Orang-orang berkumpul di sekitar beliau.
Orang-orang bertanya, “Apa yang sebaiknya kita talqinkan kepada semisal Abu Zur’ah ini?”
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa mereka bertanya, “Apa yang kalian hapal dari hadits nabi seputar mentalqin-kan la ilaha illallah pada orang yang akan meninggal dunia?”
Maka sebagian ulama yang hadir di situ menjawab, “Menceritakan kepada kami si fulan, dari si fulan, dari si fulan …” Beliau ingin menyampaikan sebuah hadits yang merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut beserta dengan sanadnya.
Maka tiba-tiba Abu Zur’ah yang sudah terbaring menanti ajal membuka mata beliau lalu berkata, “Menceritakan kepada kami si Fulan dari si Fulan, dari si Fulan, dari si Fulan, dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من كان آخر كلامه: لا إله إلا الله….
“Barangsiapa yang akhir ucapannya la ilaha illallah…”
Seketika, Abu Zur’ah lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir tanpa sempat menyelesaikan hadits tersebut! Maka menangislah semua orang yang berada di sekiling Abu Zur’ah. Menangislah mereka semua karena kejadian yang baru saja mereka saksikan!
Mengapa mereka menangis? Apakah hanya karena saudara mereka meninggal? Bukan karena itu saja, melainkan karena kelengkapan hadits yang akan beliau perdengarkan tidak sampai selesai. lanjutan hadits tersebut adalah..
من كان آخر كلامه لا اله الا الله دخل الجنة
“Barangsiapa yang akhir ucapannya la ilaha illallah. Maka dia akan masuk surga.”
Allah putuskan ucapan beliau pada la ilaha illallah, sehingga itu menjadi akhir ucapan beliau sebelum meninggal.
Inilah ucapan akhir seorang ulama sunnah, seorang yang shalih lagi berilmu.
Sekarang kembali ke kita. Pernahkah kita pikirkan bagaimana nanti akhir kehidupan kita, akankah Allah anugerahkan husnul khatimah atau malah su’ul khatimah? Pernahkah kita berpikir untuk memperbanyak amalan shalih kita dan meninggalkan amalan-amalan buruk kita?
Risqiyanto Hermawan