Berangkat dari sebuah cerita sehari-hari, sebut saja terjadi pada saya dan seorang teman perempuan. Kala itu, saat matahari tengah berada di sepenggal jum’at, kami sedang sibuk memilih jajanan ringan. Lebih tepatnya, teman saya tersebut yang berjuang mondar-mandir mengumpulkan berbagai rupa makanan untuk mengganjal perutnya yang terbiasa tidak sarapan pagi. Saya, berdiri manis di sampingnya pun pura-pura ikut sibuk memilih. Yang sebenarnya, saya sedang sibuk memperhatikannya dan belajar memahami seorang wanita yang baru sepekan ini mendapati terlambat datang bulan (haid). Berdasarkan hasil test pack tergores dua garis merah tanda positif kehamilannya. Teman saya tersebut terlihat sangat riang. Ia menyapa penjaga toko dengan amat ramah. “Tidak, mbak! Maaf, saya tidak makan itu karena sedang isi.” katanya berulang-ulang.
Begitulah, rasa bahagia usai membuncah hari itu. Setelah lima belas bulan pernikahan, akhirnya teman saya merasakan detak-detak kehidupan akan bertunas di dalam rahimnya. Saya tersengat ikut merayakan bahagianya siang terik itu. Akan tetapi, sempat terlintas dalam benak ini, “Apakah dia ini berlebihan?” Saya berpikir, mungkin saja dari sekian banyak penjaga toko tadi terdapat seorang wanita yang telah lebih lama menunggu kehadiran buah hati penghias pernikahannya. Sudah menahun ia meraba-raba perutnya yang tak kunjung berdenyut. Berkali menahan perih kala ditanya kapan punya momongan? Berulang pula memendam cemburu pada wanita-wanita yang lebih dulu diberi kabar gembira dari langit itu.
Namun segera saja saya tepis dengan pemakluman. Sambil memandang tanpa sepengetahuannya, saya berujar, “Ah, mungkin memang wajar, dia bahagia dan riang.”
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.
“Dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok . Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Lukman: 34)
Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kaum wanita sebagai makhluk yang mempunyai peran paripurna dalam misi penciptaan bumi dan langit. Allah Swt berfirman,
“Isteri-isterimu adalah ladang ( tanah) tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah:223)
Rasulullah Muhammad saw, penyampai risalah-Nya, pun telah bersabda,
Seseorang datang kepada Nabi lalu mengatakan: “Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain disebutkan yang memiliki kedudukan dan kecantikan), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?” Beliau menjawab: “Tidak.” Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.”
Maka melalui pernikahan yang disyariatkan dan melalui rahim para ibu inilah akan terlahir para khalifah Allah serta akan terbangun peradaban manusia di muka bumi. Kemudian, dalam bergulirnya episode kehidupan ini, sejatinya Allah swt jualah yang berkuasa melapangkan rizki bagi siapa yang Dia kehendaki, begitu pula membatasinya bagi siapa yang dikehendaki. Maka tidak bisa disamaratakan ujian yang menimpa bagi tiap-tiap kaum maupun bagi tiap-tiap jiwa.
Kembali pada cerita di atas, hingga setelah lebih dari setahun menunggu kehadiran buah hati akhirnya Allah meretas amanah anak pada teman saya tersebut di dalam rahimnya. Sebetulnya, tidak sedikit pula kebahagiaan pasangan baru yang bertambah merekah dalam waktu yang tidak begitu lama. Bulan kemarin menikah, ternyata bulan ini sudah dikaruniakan calon buah hati. Akan tetapi, juga banyak rumah tangga yang baru mendapat momongan setelah menginjak empat belas tahun usia pernikahan atau bahkan lebih dari itu. Ada pula keluarga yang hingga kakek-nenek tidak jua kunjung mendapat keturunan, seolah sampai ranjang pun bergoyang, jika Allah belum berkehendak maka tidak akan tercipta satu makhluk pun. Wallahu a’lam.
Sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi ini adalah tanda-tanda bagi kaum yang beriman.
Saudari muslimah yang Allah muliakan, sering sekali kita mendengar dalam konteks kisah-kisah di atas, bahwa pihak wanita sebagai istri adalah yang sering tersudutkan. Para perempuan didudukkan sebagai pihak yang mendapat cap tidak sehat, tidak subur, atau tidak mempunyai garis keturunan yang baik. Disinilah jiwa dan raga kita diuji sepenuhnya. Jiwa kita diguncang dengan kesabaran penantian, maupun raga kita yang mungkin saja memang diuji dengan ketidaksehatan. Mari sejenak kita perhatikan para wanita mulia itu, tidakkah kita melihat bahwa di balik senyum tulus perempuan itu tersembunyi perasaan yang tidak tenang? Tidakkah kita melihat di balik tegar perilakunya terpendam langkah yang gontai? Atau tidakkah kita melihat di balik kelembutan karena justru hatinya yang sedang rapuh dan menangis?
Setiap hari disapa orang dengan pertanyaan yang sama dan tersenyum saja adalah jawaban paling menenangkan. Namun, dua sisi satu mata uang, saat itu itu pula sang perempuan berhasil menelan kepahitan-kepahitan hingga semakin lama tertimbun semakin besar. Ibarat sebuah gelas yang terisi tetes demi tetes air sampai penuh. Tetesan terakhir bisa saja membuat air yang di dalamnya meluap. Jika gelas tersebut rapuh perlahan partikel-pertikel kaca yang menyusunnya gemeretak. Gelas tersebut akan pecah dari dalam dan menyemburatkan semua isinya. Dalam ilmu kesehatan kejadian emosional ini disebut stress.
Saudariku muslimah, sungguh ternyata amat berat apa yang harus dilakoni seorang perempuan. Baik yang masih berada dalam fase penantian ini maupun yang telah menyongsong amanahnya sebagai ibu pendidik umat. Kedua peran ini sama-sama berat. Untuk itulah kita harus jujur dan mengaku bahwa kita membutuhkan ilmu. Ilmu untuk mengenali siapa diri kita dan mengenali hakikat penciptaan kita. Ilmu yang akan mengantarkan kita pada sebuah akidah shahihah (keyakinan yang lurus) sebagai buhul tali yang amat kuat untuk menghubungkan kita dengan sang Khalik.
Setidaknya, agar jangan sampai gelas penampung air itu retak dari dalam maka ia harus kuat. Begitu pun dengan seorang wanita. Ia harus kokoh secara internal atau mempunyai kepribadian yang tangguh. Dan sebagai seorang muslimah yang mungkin diuji dengan penantian buah hati maupun ujian kesabaran lainnya, sedikitnya ada beberapa ilmu yang sangat kita butuhkan.
Yang pertama adalah sikap kita yang tak tergoyahkan atas tauhidullah. Bertauhid atau mengesakan Allah yang meliputi tauhid Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma wa Sifat-Nya sehingga dengan seluas kebeningan jiwa kita mampu tundukkan dan bersujud hati ini semata pada-Nya. Kita akan mengenal bahwa Allah adalah Al Hakim yang sangat tepat dalam mengukur dan mengatur para makhluk-Nya. Allah bebas dan bersih dari melakukan hal yang tidak sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Allah sendiri pun mengharamkan atas diri dan Dzat-Nya untuk berbuat dzalim pada para hamba-Nya.
Kemudian ilmu tentang takdir. Sesungguhnya Allah berfirman dalam QS Al A’raf ayat 172,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-Mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami)”, kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
Ibnu Jarir, seorang ahli tafsir, meriwayatkan bahwa perjanjian tersebut adalah perjanjian yang telah Allah ambil ketika manusia dikeluarkan dari tulang rusuk Adam. Saat itu berkumpul ruh dari seluruh manusia sejak Nabi Adam as. hingga manusia yang terakhir. Terjadi ketika Allah telah menetapkan takdir kehidupan ini secara umum pada zaman azali. Maka dengan ayat ini kita akan menjadi paham bahwa Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, dan yang membentuk rupa. Sebagaimana telah difirmankan-Nya pada QS Al Hasyr ayat 24.
Maka Saudari muslimah, betapa tenangnya jiwa kita bila dapat memahami hakikat proses dan segala ujian yang menghempas kehidupan ini. Kita akan menyandarkan segala waktu yang berlalu ini pada penciptanya yang mahabaik, bahkan diri ini akan merunduk ikhlas dan berucap sejatinya diri dan kehidupan ini adalah milik Allah. Sikap ketauhidan yang lurus ini sekaligus akan mengantarkan kita pada sikap yang benar dalam masalah kesehatan. Karena secara ikhtiar ilmu yang berikutnya kita butuhkan adalah masalah kesehatan ragawinya, maka kita pun perlu memahaminya secara benar.
Mungkin saja dengan berbagai tekanan dan kelelahan beraktivitas dapat menimbulkan himpitan psikis dan terpecahnya konsentrasi pikir. Kesehatan psikis ini pun ternyata membawa pengaruh yang besar secara hormonal terhadap kesehatan fisik. Maka dengan bisa bersikap tenang serta tawakal kepada Allah Swt. kita dapat dijauhkan dari tekanan psikologis maupun stress. Insya Allah, kesehatan batin ini akan menunjang kesehatan fisik yang semakin prima. Mungkin dengan itu pula Allah Azza wa Jalla akan memudahkan kita mendapatkan keturunan. Wallahu’alam.
Maka kenalilah diri kita, ukhti. Mari jujur dan mengakui bahwa diri ini terlalu membutuhkan banyak ilmu. Bila hidup ini seumpama sebuah buku, maka lembaran-lembarannya adalah kesabaran dalam perjuangan dan pembelajaran. Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.