Ummu Salamah RA Berkata, “Ketika situasi kota Mekkah semakin menegangkan dan sulit bagi kaum muslimin, para sahabat mengalami penindasan, penganiayaan, dan penyiksaan yang dari hari ke hari intensitasnya semakin meningkat. Mereka mengalami berbaga macam rayuan, paksaan, dan intimidasi untuk keluar dari Islam dan menyaksikan berbagai bentuk musibah dan bencana yang ditimbulkan oleh kaum kafir.”
Oleh karena itu, Rasulullah saw. memberikan instruksi kepada mereka dan berkata,
“Sesungguhnya negeri Habasyah terdapat seorang raja yang tidak ada seorang pun yang berada di sana terzalimi dan teraniaya. Oleh karena itu, pergilah kalian ke negeri Raja Habasyah itu hingga Allah swt. memberikan jalan keluar bagi kalian.”
Lalu kami pun berangkat hijrah ke tanah Habasyah secara bergelombang hingga akhirnya kami berkumpul dan berada di negeri yang baik itu, hidup bersama orang yang baik yaitu Raja Najasyi, penguasa tanah Habasyah. Kami hidup dalam kondisi aman, keimanan dan agama kami terjaga dan terlindungi, dan kami tidak takut atas gangguan seorang pun.
Memang benar, hijrah ke tanah Habasyah waktu itu merupakan hijrah yang penuh berkah, hijrah untuk menyampaikan dan menyebarkan dakwah Islam atas dasar dialog yang jujur dan baik antara Ja’far bin Abi Thalib dan Raja Najasyi.
Dalam dialog tersebut, Ja’far berkata kepada Raja, “Wahai raja, dahulu kami adalah kaum musyrik, kami menyembah berhala dan arca-arca, memakan bangkai, bersikap tidak baik terhadap tetangga, dan gemar saling menumpahkan darah. Kami hidup dalam kondisi seperti itu hingga akhirnya Allah swt. mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri.
“Kami mengetahui nasab beliau, mengetahui sifat amanah, kejujuran, dan iffah beliau (menjaga diri dari hal-hal yang rendah dan hina).Lalu beliau menyampaikan dakwah kepada kami hanya untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagiNya, memerintahkan kami untuk menyambung silaturahim, menjaga dan melindungi tetangga, menunaikan shalat dan puasa ikhlas karenaNya, dan kami tidak menyembah kecuali kepadaNya.
Kemudian Ja’far memperdengarkan beberapa ayat Al Qur’an kepada Raja Najasyi, para rahib, dan pendetanya. Ayat yang dibaca Ja’far waktu itu adalah ayat-ayat bagian awal dari surat Maryam.
Mendengar ayat-ayat tersebut, Raja dan para pendetanya pun menangis meneteskan air mata. Kemudian, setelah selesai mendengarkan bacaan beberapa ayat tersebut, Raja berkata, “Sungguh, apa yang dibacanya itu berasal dari lentera yang dibawa oleh Isa. Hidup dan tinggal lah kalian di sini dengan aman.”
Kemudian, Raja berkata kepada Amr bin Ash yang diutus oleh kaum kafir Quraisy untuk menemui Raja, “Sungguh, demi Allah, orang-orang yang berhijrah ke kota ini sekali-kali tidak akan pernah aku deportasi dan aku kembalikan kepada kalian.”
Hijrah ke Madinah
Tatkala Abu Salamah sudah memutuskan untuk keluar menuju kota Madinah, kami berangkat mengendarai unta. Ummu Salamah dan anaknya, Salamah, didudukkan di atas punggung unta, kemudian unta itu dituntunnya. Tiba-tiba serombongan laki-laki dari Bani Makhzum (keluarga Ummu Salamah) melihat kami. Mereka segera datang dan berkata kepada Abu Salamah, “Engkau boleh pergi meninggalkan kota ini. Akan tetapi, bagaimana dengan putri kami ini (maksudnya Ummu Salamah), untuk kepentingan apa kami membiarkan engkau membawanya keluar dari Mekkah?”
Mereka merampas tali unta dari tangan Abu Salamah, lalu mereka membawa Ummu Salamah. Tiba-tiba ada pula serombongan Bani Asad (keluarga Abu Salamah) marah, dan merampas Salamah, dan berkata kepada Bani Makhzum, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak kami bersama-sama dengan dia (Ummu Salamah RA) jika kamu (Bani Makhzum) menarik Ummu Salama RA dari teman kami (Abu Salamah).” Akhirnya Bani Makhzum (keluarga Ummu Salamah) tarik-menarik dengan Bani Asad (keluarga Abu Salamah), memperebutkan Salamah, hingga akhirnya tangan Salamah terkilir dan menanglah keluarga ayahnya.
Bani Asad lalu membawa Salamah, sedangkan Ummu Salamah dibawa oleh Bani Makhzum (keluarga Ummu Salamah). Ummu Salamah ditahan oleh Bani Makhzum di rumah mereka. Abu Salamah meneruskan perjalanannya ke Madinah. Ummu Salamah dipisahkan dengan anak dan suami. Setiap pagi, Ummu Salamah keluar rumah, pergi ke lapangan dan terus menangis hampir setiap hari, selama hampir satu tahun.
Suatu hari, salah seorang dari keluarga paman Ummu Salamah, lewat ditempat ia menangis. Karena melihat keadaan Ummu Salamah, dia merasa kasihan lalu berkata kepada Bani Makhzum, “Belum tiba kah waktunya kamu mengeluarkan wanita ini? Kasihan, kamu memisahkan dia dengan anaknya.”
Dia terus bicara, sampai akhirnya Bani Makhzum berkata kepada Ummu Salamah, “Pergilah, susul suamimu jika engkau mau.”
Bani Asad juga membebaskan Salamah. Ummu Salamah pun berangkat naik unta bersama anaknya, Salamah. Keluar menuju Madinah dan tidak ada seorang pun yang menemaninya hingga tiba di Tan’im, kira-kira sembilan kilometer dari Mekkah. Ummu Salamah bertemu dengan Utsman bin Thalhah. Dia berkata, “Hendak kemana engkau, wahai putri Abu Umayyah?”
Ummu Salamah menjawab, “Saya mau menyusul suami ke Madinah.”
Dia bertanya lagi, “Siapa yang menemanimu?”
Ummu Salamah menjawab, “Demi Allah, tidak ada seorang pun selain Allah dan anakku ini.”
Akhirnya dia pun berkata, “Demi Allah, engkau tidak pantas dibiarkan sendiri.”
Dipegangnya kekang unta. Ustman bin Thalhah berangkat bersama Ummu Salamah, menuntun unta.
“Demi Allah, saya belum pernah ditemani oleh seorang Arab yang lebih baik daripadanya, jika sampai di tempat peristirahatan, didudukannya unta itu sehingga saya mudah turun. Selanjutnya, dia pergi ke bawah pepohonan dan berbaring di sana. Kalau sudah tiba waktunya berangkat, dia datang lalu menyiapkan unta, membawanya ke dekat saya, unta didudukkannya seraya berkata, “Naiklah”. Kalau saya sudah naik dan tenang di atas unta itu, dia mulai menuntun unta itu, terus berjalan, sehingga sampai lagi di tempat peristirahatan. Demikianlah yang diperbuatnya, sampai akhirnya kami tiba di Quba’, di perkampungan Bani Umar bin Auf. Di sanalah rumah Abu Salamah, di tempat hijrahnya itu.”
Sebelum kembali ke Mekkah, Utsman bin Thalhah berkata, “Sungguh suamimu berada di perkampungan ini. Silahkan masuk dengan ditemani keberkahan Allah.”
Dengan demikian, diantara sekian banyak perempuan-perempuan yang hijrah, Ummu Salamah RA adalah perempuan pertama yang masuk kota Madinah sebagaimana dulu menjadi perempuan pertama yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia).
Demikian juga suaminya, Abu Salamah, Abdullah bin Abdul Asad. Dia adalah sahabat Rasulullah yang pertama hijrah ke Yatsrib.
Sesampainya di Madinah, Ummu Salamah RA tekun mendidik anak-anaknya yang masih kecil, sedangkan suaminya selalu mencurahkan waktunya untuk turut berjuang dalam pertempuran-pertempuran Islam.
Pada perang Badar di Al Kubra, Abu Salamah termasuk pasukan yang berani dan mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya untuk menyerang dan menerjang barisan musuh. Abu Salamah juga ikut dalam perang Uhud dan ia terluka karena panah Abu Usamah Al Jamasyi yang mengenai lengannya. Selama satu bulan penuh ia menjalani perawatan dan penyembuhan luka yang dialaminya tersebut.
Tatkala kematian Abu Salamah sudah dekat, terjadi perbincangan antara Abu Salamah dengan istrinya.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Abi Maryam, “Ummu Salamah RA berkata kepada suaminya. ‘Telah sampai kepadaku bahwa tidak ada seorang istri yang ditinggal mati suaminya sedangkan suaminya tersebut termasuk penduduk surga, lalu si istri tidak menikah lagi kecuali Allah akan mengumpulkan dan mempertemukan keduanya kembali di surga. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama berjanji bahwa kita tidak akan menikah lagi jika salah satu dari kita meninggal dunia.’
“Abu Salamah berkata, ‘Apakah kamu patuh kepadaku?’
“Ummu salamah menjawab, ‘Benar.’
“Lalu, Abu salamah berkata, ‘Jika begitu, kalau aku meninggal dunia, hendaklah kamu menikah lagi. Ya Allah, karuniailah Ummu Salamah setelah aku meninggal dunia seorang suami yang lebih baik daripada diriku, tidak membuatnya bersedih dan tidak menyakitinya.”
Abu Salamah Wafat
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, “Ketika Abu Salamah meninggal dunia, Rasulullah datang melayat. Waktu itu, kedua mata Abu Salamah terbuka, lalu Rasulullah memejamkannya, kemudian bersabda, ‘Jika nyawa dicabut, maka keluarnya nyawa tersebut juga diikuti dan diperhatikan oleh kedua mata.’ Keluarga Abu Salamah pun ribut, lalu Rasulullah bersabda, ‘Janganlah kalian berdoa terhadap diri kalian sendiri kecuali doa yang baik karena para malaikat mengamini apa yang kalian katakan.’ Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya bersama orang-orang yang diberi petunjuk, rawat dan jagalah keluarga yang ditinggalkan, ampunilah kami dan Abu Salamah, wahai Tuhan semesta alam, berilah kelapangan dan cahaya dalam kuburnya.” (HR Muslim)
Pernikahan Dengan Rasulullah
Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada seorang Muslim yang tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan kalimat yang diperintahkan oleh Allah yaitu kalimat Istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan do’a, “Ya Allah, hamba mengharapkan pahala dari musibah yang menimpa hamba ini dan berilah hamba ganti yang lebih baik daripada musibah ini, kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik daripada musibah tersebut.”
Kemudian, aku mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah tersebut, lalu Allah pun memberiku ganti, yaitu Rasulullah.
“Ummu Salamah berkata, ‘Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah untuk menyampaikan pinangan beliau kepadaku.’
“Aku berkata, ‘Aku adalah janda yang memiliki anak perempuan dan aku adalah wanita pencemburu.’
“Rasulullah berkata, ‘Adapun anak perempuannya, aku akan mendoakan semoga Allah memberinya kecukupan dan aku mendoakan semoga Allah menghilangkan sifat cemburu yang dimilikinya.”
Demikianlah kisah pernikahan yang begitu agung, skenario Illahi yang sangat luar biasa. Padahal, sebelum kedatangan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar juga melamar namun lamaran keduanya tidak ada yang diterima hingga akhirnya Rasulullah datang melamar.
Suatu pelajaran yang patut dijadikan ibrah adalah ternyata dibalik pernikahan Rasulullah itu tersimpan tujuan mulia. Ummu Salamah bukan termasuk perempuan kaya, bukan perempuan cantik, bahkan Ummu Salamah ternyata sudah tidak muda. Namun, mengapa Rasulullah menikahinya?
Sangat jauh jika kita bandingkan dengan keadaan kaum Muslim sekarang. Pernikahan mayoritas bertendensi pada materi, kecantikan, harta, dan martabat. Tidakkah menengok bagaimana pernikahan yang dilakukan Rasulullah?
Rasulullah tidak memilih perempuan muda yang cantik untuk dijadikan istri. Padahal, tidak sedikit perempuan cantik yang berminat dan menginginkan Rasulullah sebagai suami. Rasulullah malah memilih Ummu Salamah. Apa sebenarnya hikmah yang bisa diambil dari kisah cinta tersebut?
Pertama, jelas-jelas Ummu Salamah dan suaminya yang telah meninggal, Abu Salamah adalah termasuk kaum Muslimin yang pertama memeluk Islam ketika awal kemunculan Islam di Mekkah. Bahkan, keduanya termasuk kaum Muslimin yang gigih mempertahankan aqidah dan keimanan mereka. Keduanya bahkan hijrah ke Habasyah untuk menghindari intimidasi kaum kafir Quraisy dan untuk menyelamatkan aqidah dan keimanan mereka.
Bukan hanya itu, proses pernikahan yang sesungguhnya adalah bersandingnya suami-istri dalam ikatan rumah tangga itu sebenarnya sesuai dengan kesepadanan. Kesepadanan yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah adalah agama. Coba kita perhatikan, Ummu Salamah adalah dulu istri pejuang. Abu Salamah adalah sosok Muslim yang tangguh dalam berdakwah dan berjihad. Dalam perang Badar hingga perang Uhud, ia turut berjihad. Walaupun dalam kondisi fisik yang sudah terluka parah, ia tidak pantang mundur, tidak terbuai oleh nikmatnya hidup. Ia malah memilih berkucuran peluh dan darah, bermandikan debu dan berselimut langit, lelah, dan letih di jalan Allah. Istri pejuang adalah pejuang. Ia setia dan mau diajak hidup sederhana, qanaah, dan sabar. Sangat tangguh dalam menerima hamparan kerikil tajam dan bentangan intimidasi kaum musyrikin Quraisy.
Ini juga memberikan tuntunan kepada kita, sesungguhnya setiap pengorbanan yang dilakukan akan mendapat imbalan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan selalu menolong dan memuliakan orang-orang yang bersungguh-sungguh berjihad dan berjuang di jalanNya.
Oleh karena itu jangan menyerah dikarenakan kondisi yang sulit. Sesulit apapun yang terjadi, jika dihadapi dengan tenang dan istiqamah, Allah akan memberikan jalan keluar dan pertolonganNya.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (Al Ankabut 69)
Nilai yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa Ummu Salamah meskipun sosok pribadi pencemburu, namun ia jujur dan terus terang kepada Rasulullah. Karena itu, Rasulullah sangat pengertian kepadanya. Nabi pun mendoakan agar sifat cemburu itu dihilangkan dari Ummu Salamah.
Hal yang menarik adalah, Ummu Salamah mampu mengubah sifat cemburunya dalam waktu singkat. Tentu ini adalah hal yang sangat sulit. Apalagi jika kita bandingkan dengan para perempuan jaman sekarang. Justru dengan rasa cemburu ini tidak sedikit dari mereka yang kemudian menjadikannya sebagai alasan tidak rasional untuk mengajukan gugatan cerai. Awal kecemburuan menjadi bibit perseteruan dalam rumah tangga yang tidak kunjung padam.
Pengkhususan Ummu Salamah
Umar Al Malla’ meriwayatkan hadits dari Aisyah RA yang berkata, “Jika telah mengerjakan shalat Ashar, Rasulullah masuk ke rumah istri-istri beliau satu demi satu. Beliau pertama kali mendatangi Ummu Salamah karena ia istri yang paling tua, dan terakhir kali datang kepadaku.”
Jika kita perhatikan, hadits tersebut sungguh sangat menarik. Rasulullah mengutamakan Ummu Salamah dari pada istri lainnya. Hal yang menarik lainnya adalah Rasulullah mengutamakan Ummu Salamah bukan atas tendensi duniawi, bukan karena Umu Salamah istri yang paling cantik, bukan karena istri yang paling kaya. Ini betul-betul murni karena sebuah penghargaan Rasulullah terhadap Ummu Salamah karena ia adalah istri paling tua. Memang seharusnya demikian yang harus kita lakukan dalam segala hal. Menghormati dan memuliakan yang tua dan mengkasihi yang muda. Bukan hanya dalam hal mengutamakan kasih sayang karena ia adalah seorang istri, melainkan juga dalam semua hal yang berhubungan dengan hablun-minannas
Rasulullah bersabda, “Bukan termasuk golongan kita orang yang tidak menghormati yang lebih tua di antara kita, dan bukan termasuk golongan kita orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda di antara kita.”
Kecerdasan Ummu Salamah
Ketika Rasulullah dan para sahabat batal melaksanakan umrah pasca perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah berkata, “Wahai para sahabat, sembelih lah unta kalian (sebagai hadyu) dan cukurlah rambut kalian (sebagai tahalul).” Namun para sahabat menolaknya. Mereka mengatakan, “Bagaimana kami menyembelih unta dan bercukur sedangkan kami belum thawaf dan belum sa’i antara Shafa dan Marwa.” Rasulullah gundah dan berduka serta mengadukan hal itu kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, sembelihlah untamu dan cukurlah rambutmu (niscaya mereka akan mengikutimu).” Lalu Rasulullah menyembelih unta dan mencukur rambut. Lalu orang-orang (para sahabat) menyembelih unta dan mencukur rambut mereka. (Tafsir Mizan)
Wafatnya Ummu Salamah
Salamah Ibnu Abu Khaitsamah berkata, “Ummu Salamah wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah pada tahun 62 Hijriyah. Menurut pendapat yang benar, Yazid berkuasa selama dua tahun. Ummu Salamah wafat setelah mendapat kabar kematian Husein bin Ali. Beliau wafat pada usia 84 tahun.”
Ath Thabrani meriwayatkan dengan para perawi terpercya dari Al Haitsam bin ‘Ady, “Istri-istri nabi yang pertama kali wafat adalah Zainab binti Jahsy yang wafat pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab dan yang terakhir kali wafat adalah Ummu Salamah yang wafat pada masa pemerintahan Yazin bin Muawiyah pada tahun 62 Hijriah.”