Dewasa ini, masih ada yang beranggapan bahwa asuransi itu haram, karena seperti meramalkan kejadian yang belum pasti di masa mendatang. Atau persepsi lain, manfaat dari asuransi baru dapat dirasakan ketika sang nasabah meninggal. Kedua persepsi tersebut biasanya dimiliki oleh orang – orang yang tidak berpartsipasi dengan perasuransian.
Namun asuransi umum atau konvensional dengan syariah memiliki konsep yang berbeda. Jika di dalam asuransi konvensional, sistemnya transfer risiko. Maksudnya, apabila nasabah mengalami musibah, maka nasabah akan mengklaim risiko yang dialaminya diklaim ke perusahaan asuransi. Setelah itu, perusahaan asuransi mentransfer risiko itu ke perusahaan re-asuransi. Jadi perusahaan asuransi ibaratnya hanya sebagai penghubung antara nasabah dengan perusahaan re-asuransi. Sedangkan dalam asuransi syariah landasannya adalah saling tolong menolong. Maksudnya, premi yang disetorkan oleh semua nasabah dikumpulkan yang disebut dana tabarru’, dan apabila ada salah satu nasabah terkena musibah, maka dana tabarru itulah yang dipergunakan untuk menanggung risiko musibah tersebut.
Itulah karena islam merupakan manhajul hayah, maknanya, islam itu merupakan kurikulum yang lengkap dalam tiap periode kehidupan. Ada 3 landasan operasional asuransi syariah:
- Perintah Allah untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan, yang terdapat di QS Al Hasyr ayat 18, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
- Larangan untuk meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah, yang terdapat dalam surat An Nisaa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka…”.
- Saling tolong menolong dan membantu merupakan ciri utama seorang muslim. “….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS Al Maaidah ayat 2).
Namun, ada juga yang beranggapan bahwa dengan mengikuti asuransi syariah, apabila selama ke-pesertaan berlangsung tidak mengalami musibah dan tidak pernah meminta klaim asuransi, maka dana tabarru’ yang telah diberikan tidak dapat dikembalikan. Teknisnya seperti menyebabkan sebagian orang beranggapan, daripada uang yang kita keluarkan akan diberikan orang lain lebih baik diinvestasikan ke sektor riil. Namun, inilah segi positif dari asuransi syariah, sebenarnya. Bapak Dadang Romansyah, SE., AK., CA., SAS., MM selaku Kepala Divisi Pengembangan Bisnis STEI SEBI menjelaskan, “Dari segi fiqh, dana tabarru’ yang telah dikolektifkan dan diserahkan ke pihak asuransi merupakan hibah, yang akan sepenuhnya menjadi hak pihak asuransi. Dan dana tabarru’ tersebut merupakan infaq yang mendatangkan manfaat bagi para nasabah. Disamping itu, asuransi dapat menjadi sarana untuk memelihara kebutuhan dharuriyat, seperti asurnasi kesehatan, pendidikan dan sebagainya”.
Melihat sekilas ke belakang, kita telah mengalami berkali – kali krisis, baik krisis nasional maupun internasional. Sejak krisis tahun 1998, eksistensi lembaga keuangan syariah memang mulai diakui dan dikagumi dapat bertahan terhadap krisis. Namun tidak demikian faktanya, banyak lembaga keuangan yang meminta surat izin untuk beroperasi secara syariah hanya karena ikut di pasaran, namun tidak didukung dengan tujuan yang benar – benar syariah dan tidak diimbangi dengan SDM yang mendukung. Sebagai contoh dari beberapa institusi keuangan syariah yang ada di Malaysia, mengalami kerugian sebesar 2,2 milar Ringgit Malaysia disebabkan pengawasan yang kurang. Dan beberapa lembaga keuangan syariah lainnya yang juga rentan terhadap dampak krisis, seperti tabel dibawah ini:
IFI | Country | Reasons | Amount of Losses |
Corporate Governance | |||
Ihlas Finance House (IFH)
(2000-2001) |
Turkey | Lack of internal control and other external factors | Closure of IFH |
Bank Islam Malaysia Berhad | Malaysia | Lack of internal control and non-performing loans | RM2.2 billion |
-2006 | |||
Dubai Islamic Bank | UAE | Lack of internal control : Fraud | USD501 million |
(2004-2007) | |||
Shariah Governance | |||
Kuwait’s Investment Dar (TIDK.KW 2009-2010) | Kuwait | TIDK.KW VS Lebanon’s Bloom Bank – dispute on wakala | USD10.7 million |
Tabung Haji | Malaysia | Forex losses (a form of gharar) | RM 200 million |
-2001,2003 | |||
BIMB (2009-2011) | Malaysia | BIMB VS Tan Sri Khalid – dispute on BBA | RM67.4 million |
Source: Shah and Hassan, 2013 |
Dari tabel diatas, ternyata rentannya lembaga atau institusi keuangan syariah dipengaruhi oleh persaingan dan pengawasan yang ketat. Dalam hal ini, Dewan Pengawas Syariah yang berwenang mengawasi jalannya regulasi dalam lembaga keuangan syariah dan kepatuhan terhadap nilai – nilai syariah sangat berperan penting. Secara praktik, perushaan asuransi syariah yang merupakan anak cabang dari asuransi umum masih bercampur dengan perusahaan asuransi umum, seperti contohnya modal untuk pendirian perusahaan asuransi syariah, atau apabila perusahaan asuransi syariah itu kekurangan modal, maka akan meminjam ke perusahaan induknya yakni perusahaan asuransi umum.
Dalam undang undang perasuransian tahun 2014 yang baru saja disahkan, ada pernyataan bahwa asuransi syariah boleh menjalankan unit yang sama dengan asuransi umum. Menurut Bapak Sepky Mardian, SEI, MM, SAS hal ini bukan suatu masalah. Karena secara hukum fiqh, operasional unit syariah boleh dibarengi dengan unit umum nya, hanya untuk pemasarannya yang harus dibedakan dan dipisahkan. Memang asuransi syariah remaja ini belum sepenuhya syariah, namun ada baiknya jika kita memilih hal yang mudhorotnya lebih sedikit di antara dua hal tidak baik.
(Diskusi Kontemporer Bulanan STEI SEBI, dengan Pemateri: Dadang Romansyah, SE., AK., CA., SAS., MM | Sepky Mardian, SEI., MM., SAS | Lukman Hakim Handoko)