Seorang ayah punya cara tersendiri dalam mengekspresikan rasa cintanya. Ada yang sangat ekspresif melalui tindakan langsung dan juga kata-kata. Sangat komunikatif dan hangat. Tapi cenderung terlalu protektif. Semua akan dilakukannya untukmu. Beliau akan rela meng-cancel beberapa agenda pentingnya demi menjemput anak gadisnya yang sedang menunggu sendirian tengah malam di bandara. Baginya, engkau adalah seorang puteri kecil yang harus dijaga sebaik mungkin.
Beliau juga orang yang akan menawarkan jaketnya ketika hujan turun dan menyuruhmu menunggu di tempat yang teduh -tidak ada payung dan udara sangat dingin seperti di Puncak, misalnya- padahal beliau sendiri basah kuyup berlari menuju parkiran mobil dan menjemputmu tepat di tempat teduh tadi. Sungguh tindakan yang tidak logis bukan? Mengorbankan kenyamanan sendiri demi kenyamanan anaknya, meluangkan waktunya walau sesibuk apapun ia. Tahukah kawan? Itulah cinta…
Ada juga yang diam dan memilih sikap pasif. Terlihat seperti dingin dan enggan berkomunikasi. Namun diamnya adalah warnanya, bukan berarti mengacuhkanmu. Tak pernah ada yang tahu bahwa saat engkau meminta dukungan doa kepada ibumu dalam menghadapi ujian akhir, beliaulah orang yang pertama bangun di pekatnya malam. Mendoakanmu dalam sujud panjangnya. Meminta agar Dia mempermudah segala kesulitanmu dalam menjawab lembaran-lembaran soal di ruang ujian. Mungkin juga engkau tak sadari bahwa beliaulah orang yang paling rewel menanyakan kabarmu lewat ibumu ketika anak gadis satu satunya yang terpisah jauh lupa atau terlambat memberi kabar. Bahkan mungkin beliau jugalah yang pertama kali berinisiatif meminta ibumu untuk datang menengokmu ketika engkau jatuh sakit, sedang engkau berpikir ibumu lebih mencintaimu daripada ayahmu. Tidak! Bukan begitu! Itu adalah caranya membahasakan kasih sayang kepadamu. Tidakkah kau mengerti?
Bukankah ia, orang yang dulu engkau sering duduki pundaknya ketika membawamu berkeliling di kebun binatang?
Bukankah ia, orang yang berpeluh keringat mencari kepingan rupiah demi membayar SPP kuliahmu?
Bukankah ia juga, orang yang akan sulit untuk tidur, ketika anaknya belum pulang hingga larut malam?
Lihatlah kerutan kerutan di dahinya yang kian bertambah seiring waktu berlalu. Perhatikan rambutnya yang semakin memutih dimakan usia, betapa lelahnya mendidik dan membesarkanmu selama 20 tahun ini.
Pernahkah kau bertanya pada ayahmu keluh kesahnya selama ini? Pernahkah engkau tatap sorot teduh matanya, dan katakkan “Ayah, terimakasih. Aku benar benar menyayangimu karena Allah”
Teman, selagi ada waktu, peluklah erat tubuh ayah dan ibumu yang pasti akan semakin renta. Hilangkan egomu, sesekali, pulang dan tengoklah merka yang selalu menunggumu, berharap putra dan putrinya muncul di ambang pintu. Berbaktilah selagi masih bisa. Sungguh merugi orang yang tidak bisa mendapatkan surga padahal ia masih punya orang tua. Maka muliakanlah keduanya dengan sebaik baik perlakuan. Sebelum saat itu tiba.. Sebelum engkau hanya bisa menatap nanar baju-baju usang yang tergantung di lemari dan kamar kosong tak berpenghuni.
Ayah, Bapak, Papah, Abi, Abah, terimakasih atas lautan cintamu yang tak terbatas. Kami mungkin tak mengerti caramu menyayangi kami, tapi rasa ini sungguh nyata. Semoga Allah membalasmu.
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil.”