Untuk Saudaraku yang Ditimpa Penyakit
Sehat dan sakit adalah sunnatullah yang mesti dihadapi manusia dalam hidup ini. Dia diciptakan Allah untuk hikmah yang sangat agung.
Sebagian orang ada yang ditimpa penyakit yang hampir tidak mungkin disembuhkan. Atau kemungkinan untuk sehat kembali sangat kecil. Karena obat yang cocok belum ditemukan. Seperti kebanyakan sakit kanker dengan segala modelnya. Akibatnya orang yang ditimpa penyakit semacam itu waktu kematiannya sudah bisa diperkirakan secara medis.
Sebagian orang yang ditimpa ujian semacam itu sering salah menyikapi, karena minimnya ilmu dalam masalah ini. Ada yang sibuk membesarkan hati si penderita dan menghiburnya, bahwa kemungkinan untuk hidup masih panjang. Ada juga yang sibuk melankolis, berhiba hati dan mengabadikan momen dengan orang yang besar kemungkinan akan meninggalkan dunia ini dalam waktu tidak lama lagi. Atau hanya sibuk mencarikan obat dan usaha sana-sini. Yang lebih mengkhawatirkan, ada yang protes kepada Allah, kenapa ia dikasih penyakit seperti itu.
Padahal agama kita sudah memberikan solusi yang sangat mulia dalam menghadapi hal semacam ini. Solusi yang akan mengantarkan penderita kepada keselamatan yang lebih utama. Yaitu keselamatan di akhirat nanti.
Untuk itu kita akan jabarkan secara ringkas, apa semestinya yang kita lakukan bila hal itu terjadi pada diri kita atau menimpa salah seorang anggota keluarga kita. Semoga Allah menjauhkan kita semua dari musibah dan ujian itu.
1. Sabar dan redha dengan penyakit yang sudah menjadi ketentuan Allah tersebut. Tidak ada bentuk kesusahan apapun yang menimpa seorang hamba di dunia ini melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa penyakit, cobaan, kesusahan, kecemasan, dan kesedihan, bahkan sampai duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghapuskan dosa-dosanya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Imam Ath Thabarany meriwayatkan di dalam Mu’jam al Kabir sebuah hadits Qudsy, Allah berfirman:
“Siapa yang tidak redha dengan ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas cobaan-Ku, carilah tuhan selain Aku”.
2. Mengingatkan tentang taubat. Ini perkara yang lebih penting dari pada sekedar mengobati dan membesarkan hati dengan harapan hidup yang masih panjang. Atau memberikan hiburan supaya bahagia, lupa dengan penyakitnya.
Sebab, sepanjang-panjang umur manusia pada akhirnya akan meninggal juga. Tidakpun meninggal dengan penyebab sakit tersebut, pada saatnya ia akan meninggal juga bila ajal yang sudah ditentukan Allah datang. Baik melalui suatu sebab maupun tanpa sebab.
Siapa pun di antara kita pasti pernah menyaksikan atau mendengar berita tentang kematian mendadak. Ada yang meninggal karena serangan jantung, kecelakaan, disambar petir, atau tanpa sebab apapun. Mereka meninggal tanpa bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Merupakan kesempatan emas bagi orang yang menderita penyakit yang mematikan untuk melakukan persiapan menghadapi maut dengan sebaik-baiknya. Menginshafi segala kesalahan dan dosanya, kemudian meminta ampun kepada Allah dengan kondisi hati yang akan lebih mungkin untuk khusyu’. Sehingga ketika ajal sudah datang menjemput, ia dalam keadaan siap dan bersih dari segala noda dosa.
Bila hal ini disadari dan dilaksanakan, justru penyakit itu akan berubah menjadi nikmat, bukan musibah. Tidak ada kerugian dunia yang ia dapati bila keselamatan akhirat sudah menunggu di seberang sana. Kebahagiaan abadi yang tidak ada bandingan dengan hidup sebelumnya.
3. Membayarkan hutang, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Hutang kepada Allah berupa zakat yang belum ditunaikan, nazar yang belum dilaksanakan, atau ibadah yang ditangguhkan seperti hutang puasa Ramadhan.
Sedangkan hutang kepada manusia. Mungkin berbentuk materi dan harta benda, berbentuk amanah yang belum ditunaikan dan hutang budi berbentuk kesalahan dan kekhilafan yang belum dimaafkan. Jangan sampai ia pulang keharibaan Rabnya dalam kondisi membawa beban hutang yang akan memberatkan.
Rasulullah bersabada:
“Jiwa seorang mukmin terkatung-katung disebabkan hutangnya sampai ada yang membayarkannya”. (HR. Turmudzi)
4. Membimbingnya untuk berwasiat yang baik. Karena bila seseorang salah dalam berwasiat akan mengantarkannya kepada suul khatimah. Bahkan wasiat yang tidak benar adalah suul khatimah itu sendiri.
5. Membimbingnya untuk lebih banyak memikirkan akhirat dan melakukan persiapan untuk menghadapinya. Menyempurnakan amalan-amalan wajibnya, seperti shalat, wudhu dan mandi. Kemudian memperbanyak ibadah sunat seperti , tilawah al Qur’an, shalat sunat, sedekah, tidak putus dalam berzikir.
Ingatkan supaya tidak banyak mengingat dunia. Jangan sampai harta benda juga yang menjadi beban pikirannya, atau masih memperbanyak kekayaan yang menjadi kesibukan dan opsesinya, atau anak keturunan juga yang dijadikan kekhawatiran.
Di atas itu semua, yang lebih penting hindarkan segala hal yang berbau maksiat. Jaga kata-kata yang keluar, tindakan yang tidak benar dan perangai yang tidak layak. Tidak pantas bila duduk di depan televisi masih menjadi kesibukan sehari-hari, ngerumpi jadi pekerjaan yang menyenangkan, dan hal remeh temeh jadi keseriusan.
6. Sekalipun demikian, keluarga harus tetap berusaha mengobatinya dengan segala kemampuan. Karena itu adalah sunnah Rasulullah. Menerima takdir Allah bukan artinya kita pasrah tanpa usaha. Berobat itu juga ibadah dalam pandangan Allah.
Apalagibila si sakit merasakan pedih dan sakit yang tidak tertahankan. Sedapat mungkin diusahakan obat yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Sambil terus menguatkan dan menyabarkan, agar jangan sampai setan memasukkan rasa putus asa ke dalam hatinya, hingga ia menginginkan datangnya kematian segera.
7. Bila sudah ada tanda-tanda sakaratul maut lebih baik dihadapi dengan tenang, dengan memberikan bimbingan talqin kalimat “Lailaha illallah” dan membacakan Yasin. Tidak usah dipasang beratus alat ditubuhnya. Karena di saat yang sangat susah itu tentu si penderita lebih membutuhkan ketenangan dan do’a. Jangan diganggu lagi konsentrasinya menghadapi maut dengan tusukan jarum dan pompa pernapasan. Keselamatannya menghadap Allah lebih utama dari pada kehidupan yang tidak seberapa.
Bila hal ini dilakukan, insyaallah akan menjadi obat yang sangat mujarab bagi yang sakit. Karena beban jiwa yang dia hadapi menjadi ringan. Justru barangkali akan lebih bermanfaat dari pada sekedar diberi obat-obatan yang dibeli dengan harga mahal.
Bila Allah menghendaki ia sehat, maka itulah yang diharapkan. Kita harus menghadapinya dengan rasa syukur. Namun bila takdir menghendakinya untuk meninggal, kita juga menghadapinya dengan syukur. Karena ia sudah kembali kepada Penciptanya dalam keadaan bersih dari beban dosa dan hutang, pulang ke asalnya dengan jiwa tenang dan bahagia.
Semoga Allah memberikan kesembuhan dan kesabaran kepada setiap saudara kita yang sakit dan memberikan husnul khatimah untuk kita semua.
Ustadz Zulfi Akmal, Lc. MA.