Sering kita dengar, “Kok Anda panggil saya ustadz?Saya kan nggak ngajar di pesantren!”,“Kok panggil saya ustadzah? saya kan nggak ngajar di TPA, ilmu agamSaya juga dikit!”, “Jangan panggil saya ustadz lah, nggak enak kedengerannya!’,“Wew…ustadzah zaman sekarang gaul-gaul ya…”, “Alah, gayanya sok ustadz,padahal kerjaannya….”
Saya yakin Anda juga sering mendengar selintingan dan kalimat-kalimat begitu. Kadang-kadang saya berpikir, memangnya ustadz atau ustadzah itu apaan? Profesi? Jabatan untuk orang-orang yang pake peci dan berjenggot tipis? Atau sebuah panggilan untuk orang-orang yang belajar di pesantren dan mengajar di TPA? Belum lagi imej kalau nama ustadz disebut pasti bisa ngusir jin dan setan!
Entah siapa yang membuat fenomena itu menjamur di masyarakat, gambaran terhadap ustadz atau ustadzah sepertinya perlu diluruskan. Supaya istilah-istilah “musyawwah” tidak merusak hal-hal positif.
Pertama yang harus kita camkan benar-benar adalah, Islam itu bukan agama individu dan tanggungjawab individu. Islam tidak mengenal “rijal ad din” atau “orang suci” yang memiliki tempat istimewa dalam agama. Islam menyamaratakan laki-laki dan perempuan, hanya taqwa yang membedakan derajat mereka. Islam tidak mengenal Paus, Kardinal atau Pastor, yang memiliki “perlakuan” berbeda dari penganut agama yang lain. Tanggungjawab atas kelangsungan Islam itu ada di pundak setiap Muslim, meskipun peran mereka berbeda-beda.
Banyak agama hilang dan punah karena ulah pengikutnya. Ada yang merusak dengan sengaja, ada juga yang berfikir bahwa dia menjaga dan memperbaiki, ternyata dia merusak. Gambaran agama tidak akan jelas, dan sangat rawan salah kalau tidak memenuhi 3 syarat:
- Memahami agama sebenar-benarnya. Untuk memahami agama sebenar-benarnya, pastinya kita harus merujuk kepada sumbernya yang benar, bukan hanya ikut-ikutan kata orang.
- Mengimani seluruh ajaran agama itu. Jangan melaksanakan setengah, dan meninggalkan setengah lagi, karena kurang “cocok” dengan keinginan kita.
- Melaksanakan semua tuntunan dan ajaran agama itu seperti apa adanya, jangan ditambah apalagi dikurangi.
Apabila salah satu dari 3 hal itu tidak terpenuhi, maka yakinlah gambaran agama yang Anda tawarkan akan rusak dan dengan itu Anda telah menzhalimi agama Tuhan,silakan Anda berurusan dengan Tuhan besok di akhirat.
Selain tidak mengenal “rijal ad din”, Islam juga tidak mempunyai ikon atau simbol-simbol tertentu untuk membedakannya dengan manusia lain, kecuali beberapa hal yang disebutkan rasulullah, supaya kita berbeda dengan orang kafir.
Akhir-akhir ini, jenggot, peci, dan yang sejenisnya sudah menjadi trend buat “ustadz”. Entah siapa yang mengatakan ustadz harus punya jenggot dan pakai peci! Memang ini hal sepele, tapi efek yang timbul dari hal sepele itu besar dan membuat kesal!
Jenggot memang sunnah, artinya Rasulullah menyarankan kita memelihara jenggot, kalau ada ya syukur, dipelihara dan dijaga yang rapi. Ada sebagian orang memelihara jenggot panjang, tapi amburadul, walah… merusak pandangan! Sahabat Ibnu Abbas selalu memelihara jenggotnya sepanjang genggaman jari, selebihnya dipotong. Peci mantap juga, meskipun bukan wajib, tapi adab dan sopan santun menutup kepala saat shalat menghadap Allah.
Ada satu lagi, memakai siwak. Memang memakai siwak adalah salah satu sunnah yang paling disukai Rasulullah, bahkan saat-saat terakhir sebelum wafat beliau masih meminta siwak kepada Sayyidah Aisyah. Ada sebagian orang, saking mengikuti sunnah (menurut dia), dimana-mana dia bersiwak, di jalan, di pasar, bahkan di toko syawarma! Di tempat orang sedang makan, dia malah nyiwak!
Ketika ikon dan imej-imej begitu kena pada ustadz, yang mana seharusnya seorang ustadz itu adalah guru yang menjadi teladan, maka apabila ada kesalahan yang dilakukan orang berpeci dan berjenggot, imbasnya ke ustadz, ketika ustadz kena maka Islam juga kena cipratannya.
Adalagi, orang yang merasa dirinya kurang “benar”, dia tidak mau memakai peci dan memelihara jenggot, karena itu fashionnya ustadz! Ada lagi, orang-orang yang merasa dirinya “benar” memproklamirkan diri sebagai ustadz. Akhirnya petantang-petenteng sebagai ustadz, padahal nggak tau apa-apa! Akhirnya ustadz benaran rusak karena ustadz gadungan! Dan banyak lagi ribuan fenomena di masyarakat.
Semua fenomena itu tumbuh kerena kita terlalu memperhatikan hal-hal sepele di luar dan formalitas semata. Akhirnya esensi dari ajaran agama yang seharusnya benar-benar kita pahami kita lupakan. Esensi agama kita itu saling melengkapi, saling menasehati, kerena pada hakekatnya kita semua dalam perjalanan dengan“bus” yang sama. Sebut saja ustadz itu sopir atau kondektur, tapi dia tetap bagian dari kita juga.
Memang tugas untuk untuk memberikan “peringatan” untuk sesama dititik beratkan pada sekelompok, seperti firman Allah dalam surat taubat ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan dari mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali…”.
Allah menyuruh sebagian kita untuk belajar agama, dan menjadi pengajar agama kepada yang lain apabila sudah pulang, tapi ini bukan berarti kita yang lain diam dan menunggu mereka, bukan berarti tanggungjawab dakwah itu hanya tertumpu di pundak mereka, tapi beban dakwah itu di pundak setiap individu Muslim, besar-kecil, pria-wanita, dan tua-muda.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran…”.
Dari ayat ini jelas, bahwa kewajiban berdakwah yang dalam halini amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban setiap individu, fardhu ‘ain.
Ketika kita menyadari kewajiban itu adalah kewajiban bersama, maka kita tidak akan membedakan antara satu dengan yang lain, baik dia ustadz atau bukan. Kalau ada ustadz atau ustadzah yang salah kita juga tidak akan terlalu histeris, karena memang dia juga manusia yang bisa salah. Jadi, kalau salah, tidak usah“dibesar-besarkan”, tinggal ditegur baik-baik. Termasuk juga akhir-akhir ini kata-kata“ikhwan” dan “akhawat” juga sering menjadi bahan olok-olokan sebagian pihak.
Jadi,ustadz itu bukan nama untuk sebuah profesi, sehingga orang yang membawa gelar“ustadz” atau “ustadza” itu seakan-akan hidup di dunia lain, yang tidak bisa salah, tidak bisa keliru dan selalu benar. Kewajiban saling menasehati dan mengingatkan adalah kewajiban bersama.
Wallahu a’alam