Hari ini, Sabtu 26/11/2011, Ustadz Ahmad Sarwat kembali mengkritisi kondisi dakwah Islam di televisi, utamanya para seleb yang mengaku ustadz. Beliau menuturklan bagaimana keresahan masyarakat terhadap fenomena di layar kaca Indonesia.
“Tiap hari saya selalu menerima keluhan dari banyak orang tentang fenomena ustadz-ustadz TV. Ada-ada saja yang mereka komplain, yang urusan pacaran lah, yang urusan joget dengan artis lah, dan ada juga yang terkait dengan materi yang disampaikan ternyata keliru dan menyesatkan. Awalnya saya diam saja, karena saya pikir masalah seperti itu bukan urusan saya. Saya sendiri memang sering mendengarkan ceramah lewat TV, hanya bukan TV nasional, tapi TV dari timur tengah seperti Iqraa atau Al-Jazeera.”
Menurut beliau, ada beberapa alasan kenapa ceramah dari TV dalam negeri dihindarinya.
Pertama, seringnya hadits palsu disampaikan tanpa rasa berdosa.
Kedua, seringnya munculnya fatwa keliru yang mereka sampaikan terkait hukum halal haram. Yang haram jadi halal dan yang halal malah jadi haram.
Ketiga, begitu seringnya perilaku yang terbilang musyrik yang justru diperbolehkan.
Keempat, begitu banyaknya bid’ah yang justru dihidup-hidupkan.
Bahkan, menurut beliau, daripada menonton ceramah dengan kondisi seperti itu di televisi, beliau lebih memilih mematikannya atau memindahkan salurannya ke acara yang lebih bermanfaat, seperti berita pagi dan sejenisnya.
“Tapi tiap hari saya didesak, bahwa mendiamkan sebuah kesalahahan itu berarti setuju dengan kesalahan. Saya bilang bahwa saya tidak mendiamkan, saya menyalahkan ceramah-ceramah yang keliru itu, tapi di dalam hati. Sebab saya punya alasan bahwa saya tidak punya kesempatan untuk masuk TV. Saya bukan dai TV, begitu saya bilang,” kata beliau.
“Tapi mereka bilang, apakah antum harus masuk TV dulu baru mau bicara? Kalau nunggu masuk TV dulu, gak mungkin. Sebab antum tidak punya yel-yel, tidak bisa joget, tidak hafal lagu-lagu Rhoma Irama, tidak punya tampang keren yang bisa dijual dan juga tidak punya dukungan pengirim SMS sebanyak-banyaknya,” lanjut beliau seraya bercanda namun serius.
“Saya mikir, wah bener juga ya. Kalau nungguin jadi dai TV dulu, kapan menyampaikannya? Lagian tampil di TV itu terkait dengan banyak kaitan, seperti angka rating, jualan, angka rupiah dan keuntungan ini dan itu. Saya jelas tidak suka dengan semua itu. Akhirnya saya bilang, kayaknya kita perlu membangun situs atau FB (Facebook) yang judulnya “Dai-TV Watch.””
Beliau memaparkan pendapatnya secara panjang lebar.
“Tentu kita gembira kalau melihat fenomena makin banyak acara keislaman ditayangkan TV swasta. Di zaman TVRI dulu, ceramah agama hanya kita bisa kita nikmati hanya malam Jumat saja. Nama acaranya Mimbar Agama Islam. Hari ini kita bisa menikmati banyak sekali acara ceramah di TV. Tiap shubuh, bahkan belum lagi shubuh, para dai TV itu sudah mulai acara mereka, lengkap dengan yel-yel dan gaya aksi panggung mereka.
Tapi bagaimana dengan kualitas konten yang mereka bawakan? Nah, justru disitulah titik masalahnya. Kita gembira bila acara ceramah agama itu dibawakan dengan riang gembira, katakanlah pakai aksi panggung yang dinamik.
Tapi masalahnya, apakah si bintang yang mengaku dirinya adalah ustadz memang orang yang betul-betul berkompeten ketika menyampaikan pesan agama?
Ketika dia mengutip suatu ayat Quran misalnya, apa benar sebelumnya dia telah membaca dan membolak-balik kitab-kitab tafsir sebelumnya, sehingga tahu latar belakang turunnya ayat itu, juga tentang nasakh mansukhnya, ‘aam dan khash dari ayat itu dan seterusnya.
Ketika dia mengutip sebuah pernyataan yang diawali dengan kalimat : “Nabi SAW bersabda”, apa benar yang diucapkannya itu sebuah hadits yang sanadnya tersambung dan kualitasnya bisa diterima? Dimana dia temukan ungkapan itu dan siapa yang bilang bahwa apa yang disampaikannya itu memang hadits nabi?
Ketika ustadz atau ustadzah menjawab hukum fiqih suatu masalah, baik yang ditanyakan oleh pemirsa di studio atau lewat telepon, apa benar jawabannya itu sudah dirujuk dulu sebelumnya ke kitab-kitab fiqih, agar tidak terjadi kesalahan dalam jawabannya?
Dan masih banyak lagi hal-hal yang kelihatannya sederhana, tetapi sangat bermasalah dari sisi otentisitas konten materi, dan tentunya juga sangat dipengaruhi oleh faktor kompetensi di dai sendiri.”
Ternyata, usulan Ustadz Ahmad Sarwat mengenai situs Dai-TV Watch sudah langsung ditanggapi dengan negatif oleh teman beliau sendiri.
“Ketika usul membangun situs/FB Dai-TV Watch ini saya sampaikan, ada teman yang nyeletuk begini,”Kita musti hati-hati ustadz, sebab nanti kita malah dituduh sirik, alias iri hati karena tidak bisa masuk TV?””
Kemudian beliau menerangkan bagaimana para dai memang dekat dengan tuduhan dan fitnah.
“Saya bilang, tentu saja tidak tertutup kemungkinan kita bisa saja dituduh seperti itu. Kalau cuma tuduhan, saya bilang jangan dipikirin lah. Lha wong nabi Muhammad SAW saja seringkali jadi sasaran tuduhan kok. Beliau itu sering kali ditusuh sebagai penyihir, penyair, orang gila bahkan orang bodoh. Tapi saya bilang, idealnya Dai-TV Watch itu memang tidak bermain di wilayah gosip pribadi sang dai. Meski kalau ada dai yang nyeleneh dalam kehidupannya sudah seharusnya diluruskan, cuma saya memandang cara meluruskannya tidak perlu pakai woro-woro di media. Karena boleh jadi akan merusak nama baik si dai sendiri. Dan kurang etis rasanya.”
Beliau mensyaratkan bahwa Dai-TV Watch yang akan dibuat itu harus mengkritisi konten ceramah.
“Yang jadi konsen kita justru pada wilayah konten itu sendiri. Sebab ada begitu banyak dai tv yang bicara tanpa ilmu, atau bicara di luar kompetensinya. Ini yang paling berbahaya. Sebab bisa saja apa yang disampaikannya itu justru kesesatan. Dan umat semakin tersesat saja dengan apa yang disampaikan itu. Dalam dunia media, kalau ada tulisan yang dianggap merugikan satu pihak, maka pihak yang dirugikan itu punya hak jawab, untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan.
Maka dalam hal ini, tugas Dai-TV Watch adalah mengoreksi kesalahan para dai yang tidak punya kompetensi dalam detail cabang ilmu syariah, karena kita maklum bahwa sedikit sekali dari mereka yang pernah nyantri atau kuliah di fakultas keislaman. Dari lusinan jumlah mereka, mungkin bisa dihitung dengan jari siapa dari mereka yang melek huruf arab dalam arti mengerti bahasa Arab. Yang dikoreksi bukan yel-yel, atau atraksi panggung, apalagi kemampuan menyanyi. Tapi yang dikoreksi adalah kontennya.”
Namun, ide tersebut bukan tanpa kendala, karena dibutuhkan SDM yang berkompeten untuk melakukan penilaian dan pengawasan atas siaran televisi.
“Cuma yang jadi masalah, kita butuh orang yang cukup berkompeten untuk melakukan penilaian. Setidaknya, kita butuh para ahli tafsir, hadits, fiqih dan ilmu-ilmu syariah lainnya, untuk bisa memantau dan mengoreksi kesalahan-kesahalan yang dilakukan oleh para dai TV.”
Lalu, pertanyaannya siapakah mereka itu?
“Saya bilang, tuh mahasiswa LIPIA atau Mesir, mereka pasti punya ilmu syariah yang jauh di atas rata-rata, kalau dibandingkan dengan para dai tv itu. Hanya kita tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka.”
Kemudian beliau menyatakan kesiapannya jika para daí di TV itu berguru kepadanya.
“Saya sih mau banget mengajak mereka duduk untuk belajar ilmu agama yang beneran, buka kitab, belajar Bahasa Arab, mengkaji tulisan para ulama, dan seterusnya. Yang jadi masalah, mereka itu udah nggak punya waktu lagi, karena hidup mereka diatur oleh para managernya.”