Maraknya Muslimah berjilbab di negeri ini bukan datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Bukan pula tumbuh bak jamur di musin hujan begitu saja tanpa sebab, apalagi tanpa disemai, disiangi dan dirawat dengan baik. Jilbab tumbuh subur di negeri ini setelah melalui perjuangan, pengorbanan, air mata, dan derita panjang para Muslimah yang mempeloporinya.
Setidaknya, sejarah mencatat dengan tinta emas, perjuangan kaum jilbaber mulai marak sejak awal 1980-an. Meski sebelum itu, juga sudah ada yang memperjuangkannya. Tapi semua pihak sepakat bahwa gerakan yang secara massif mengajak kaum Muslimah Indonesia untuk menutup aurat, dimulai awal 1980-an. Seiring dengan semangat kebangkitan Islam di seluruh dunia.
Lantas, apa saja yang telah dicapai dan belum diraih oleh perjuangan “Revolusi Jilbab” di tanah air ini setelah berjalan selama 31 tahun. Masihkan revolusi kultural ini berjalan seiring dengan banyaknya persoalan bangsa dan umat yang harus kita selesaikan?
Dra Wirianingsih, Bc Hk MSi, dalam wawancaranya dengan Sabili yang kemudian kami hadirkan kembali untuk pembaca Fimadani, memaparkan bagaimana perjalanan perjuangan jilbab di Indonesia. Ustadzah Wiwi, begitu ia biasa disapa, adalah mantan Ketua Umum PP Salimah 2005–2010 yang sekarang menjabat Presidium BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia) 2007–2012.
Ustadzah Wirianingsih adalah salah satu ibu Muslimah Indonesia yang mampu mengantarkan kesepuluh putra-putrinya menjadi penghafal Al Quran.
Kebangkitan di Bawah Tekanan
Menurut Ustadzah Wirianingsih, kesadaran Muslimah untuk berjilbab berjalan berkelindan dengan kebangkitan Islam yang dipicu oleh runtuhnya kekuasaan Syah Reza Pahlevi di Iran dan kemenangan kaum Mullah yang melahirkan Revolusi Islam di Iran. Setelah itu, kebangkitan Islam melanda di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, revolusi jilbab bisa dikatakan berjalan seiring dengan maraknya gerakan dakwah pada era 80-an. Saat itu, selain jilbab, juga mulai menjamur buku-buku tentang harakah (gerakan Islam), buku-buku dakwah, dan kegiatan yang bernuansa napak tilas perjuangan Masyumi. Ini semua memberikan pengaruh terhadap aktivis gerakan Islam saat itu.
Kondisi saat itu dirasakan memang kondusif untuk membangun kesadaran perempuan dalam berjilbab. Berpuluh tahun umat Islam berada dalam kondisi represif rezim Orde Lama dan Orde Baru. Semakin ditekan, kaum Muslim justru semakin sadar untuk bangkit, dengan membangun OTB (Organisasi Tanpa Bentuk). Yang penting subtansi dakwah terus berjalan meski gerakan dakwah di larang oleh rezim Soeharto. Inilah yang mengkristalkan kaum Muslimah Indonesia untuk menampakkan identitas Muslimahnya.
Apa yang saat itu Wirianingsih muda dan muslimah lain lakukan kemudian memang menimbulkan reaksi. Saat itu, pemerintah menerapkan paham asas tunggal, yang tak sesuai dengan asas tunggal akan dieliminir dan ditekan oleh pemerintah. Terkait soal jilbab, dimunculkan pencitraan bahwa Muslimah yang berjilbab berasal dari gerakan (aliran) sesat. Termasuk yang menimpa saya. Tahun 1980-an ketika Ustadzah Wirianingsih kuliah di Fakultas Hukum UNISBA Bandung, baru dirinya seorang yang memakai jilbab. Saat itu beliau seangkatan dengan Anne Rufaidah, dari Fakultas Psikologi, tapi dia belum pakai jilbab. Saat itu, beliau juga kuliah di UNPAD Bandung, juga baru dirinya dan seorang akhwat Jurusan Sastra Arab, Lely namanya yang juga memakai jilbab.
Saat itu, Wirianingsih muda memang sudah memiliki kesadaran untuk berjilbab dan berbusana Muslimah secara syumuliyah (konprehensif) sehingga ia melakukannya secara totalitas, tidak hanya ketika di kampus saja. Ketika dirinya pulang ke rumah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, seingatnya, saat itu juga baru 1 orang yang memakai jilbab panjang dan rapat seperti dirinya.
“Mungkin ada Muslimah lain yang memakai kerudung tapi dilepas-lepas,” tuturnya.
Berjilbab dan Dituduh Sesat
Saat itu, fenomenanya jika datang ke tempat pengajian mengenakan kerudung tapi ketika selesai langsung dibuka. Ada juga teman-temannya yang sekolah di sekolah Islam atau kuliah di Fakultas Islam, seperti Tarbiyah, Ushuludin, atau Dakwah karena aturannya harus memakai kerudung mereka memakai ketika sekolah atau kuliah, tapi setelah keluar dari kampus atau sekolah dilepas.
Banyak juga guru-guru sekolah Islam dan dosen yang memakai kerudung pada saat mengajar, tapi ketika sampai rumah dibuka kerudungnya. Jadi, ketika masyarakat melihat fenomena dirinya dan beberapa temannya konsisten, selalu memakai jilbab tanpa dilepas, kemudian modelnya juga jilbab panjang dan rapat, ia dan beberapa teman itu sempat dituduh sebagai Islam Jamaah. Ketika masih di Jakarta, ia sekolah di SMA 13, teman-temannya banyak yang memandang aneh kepadanya ketika ia pulang ke rumah dengan mengenakan jilbab panjang sepanjang hari.
Saat ditanya apakah ia merasa sebagai pelopor dalam berjilbab kala itu, Ustadzah Wirianingsih menyatakan tidak merasa sebagai pelopor. Yang pasti, ketika kuliah di UNPAD, dirinya dan Lely melakukan gerakan mengumpulkan akhwat.
Perjuangan di Unpad
Ia aktif di Divisi Kewanitaan Masjid UNPAD. Padahal, saat itu UNPAD melarang jilbab. Setiap Dekan mengeluarkan larangan pemakaian jilbab pada pas foto untuk kartu mahasiswa dan ijazah. Sebagai aktifis masjid, ia dan beberapa teman berusaha melobi rektor agar mengizinkan pemakaian jilbab bagi mahasiswi. Seiring dengan ini, ternyata mulai banyak mahasiswi yang memakai jilbab di setiap fakultas. Saat itu sudah terkumpul sekitar 300 mahasiswi dari berbagai fakultas yang sudah memakai jilbab.
Akhirnya, ia dan lima orang teman menghadap rektor, sekali lagi minta kebijakan untuk tidak menekan mahasiswa yang ingin memakai kerudung di kartu mahasiswa dan ijazah. Saat itu rektor menyatakan, pada prinsipnya pihak kampus tidak melarang tapi kebijakan ini diserahkan kepada dekan fakultas masing-masing. Alhamdulillah, melalui pendekatan yang terus menerus ke dekan akhirnya di fakultasnya dibolehkan. Tapi di Fakultas Psikologi tetap dilarang. Beberapa fakultas juga melarang mahasiswanya kuliah karena pas foto di kartu mahasiswanya memakai jilbab.
Ketika Wirianingsih KKN tahun 1985, ia dikabari via telegram oleh teman-teman kampus bahwa kondisi UNPAD gawat. Semua mahasiswi berjilbab mau demo ke rektor. Jika itu terjadi bisa bahaya urusannya. Saat itu saya berfikiran, akan berefek pada penekanan terhadap kegiatan keislaman lain. Padahal kegiatan masjid kampus sedang bagus, bahkan pak Bagir Manan saat itu sempat menjadi pembina Masjid UNPAD. Ketika ia sampai UNPAD, di aula sudah bekumpul 300 orang dan ia duduk di depan bersama Lely.
Akhirnya, ia memberi 2 pilihan pada rekan-rekannya yang mau berunjukrasa:
“Pertama, bagi yang meyakini ini adalah pilihan hidup dan yakin Allah SWT akan menolong silahkan tetap mengenakan jilbab untuk pas fotonya dengan konsekuensi tidak mendapat kartu mahasiswa dan keluar dari Unpad. Tapi sebelum ambil alternatif ini, coba lobi dulu secara personal dekan masing-masing, toh kuliah juga tidak lama dan barangkali dekan masih memiliki hati. Saat itu, saya sempat mentoring di 11 fakultas dan kondisinya memang sedang bagus-bagusnya.
Kedua, kompromi dengan dekan. Maksudnya, dibuka dulu jilbabnya untuk sekadar foto, karena yang diminta tidak berjilbab hanya di kartu mahasiswa. Artinya, sehari-harinya tetap memakai jilbab dan tidak semua orang akan membuka kartu mahasiswa kita.”
Menjadi Teladan Keluarga
Totalitas Wirianingsih dalam berjilbab akhirnya menginspirasi adik, kakak, dan ibunya, apalagi ibundanya adalah ketua majelis taklim. Semuanya ikut berjilbab. Tapi tetangga mulai ngomongin, “Saya disebut masuk aliran sesat atau Islam Jamaah.”
Adiknya yang masih kelas 1 di SMA 15, akhirnya juga ikut memakai jilbab rapi kemudian ditentang oleh kepala sekolah. Siswa yang berjilbab dikasih dua pilihan, memilih sekolah atau keluar. Jika dipakai terus jilbabnya silakan keluar. Akhirnya, teman-teman banyak yang tak kuat, masuk area sekolah jilbabnya di lepas dan ke luar area sekolah dipakai lagi. Adiknya tak mau seperti itu, ia bilang mending sekolah di tempat lain ketimbang membuka jilbab. Karena dia konsisten pakai jilbab termasuk di sekolah, akhirnya ia keluar dari sekolah.
Selain di masjid-masjid kampus dan sekolah, menurut Ustadzah Wirianingsih, PII (Pelajar Islam Indonesia) juga memegang peran penting dalam dakwah jilbab ini, apalagi pada saat itu sedang memasuki puncak mengerasnya pemahaman keislaman. Sampai-sampai, saat itu muncul istilah GAS (Gerakan Amal Soleh) dan Gerakan Kembali ke Usroh. Dan, semua training PII mewajibkan semua peserta Muslimahnya memakai jilbab. Selanjutnya dari sekolah-sekolah dan keteladanan para tokoh yang sudah melakukan pembelaan pada perempuan yang memakai jibab. Ada tokoh dari Muhammadiyah, NU, Persis, Dewan Dakwah dan ada juga tokoh pendidik, rohis sekolah dan kampus. Di sekolah negeri kondisinya juga sudah terpolarisasi.
Perjuangan Jilbab di Ranah Publik
Tidak hanya di kampus, di masyarakat pun perjuangan berjilbab teramat berat. Opini di masyarakat bahwa hampir semua instansi pemerintah dan perusahaan swasta menolak karyawati yang memakai jilbab. Suasana dan opini seperti ini sampai tahun 90-an bahkan hingga awal 2000-an masih sangat terasa. Saat itu, Ustadzah Wirianingsih sering mengisi pengajian di kantor pemerintah maupun swasta, banyak jamaah Muslimah yang menghadapi dilema.
Pertama, dilema untuk tetap menutup aurat atau keluar dari pekerjaan, karena umumnya perusahan atau instansi tertentu menolak dan mengatakan bahwa jilbab bukan uniform (seragam) untuk bekerja. Akhirnya, banyak di antara mereka yang mengambil keputusan tetap memakai jilbab tapi ketika sampai kantor dibuka. Ketika pulang baru dipakai lagi.
Kedua, bagi yang bekerja di hotel, pub, kafe atau showroom yang menyajikan produk bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya di restoran, mereka mengetahui ada masakan memakai arak atau dicampur babi. Sementara restoran itu tidak menyebutkan makanan halal atau haram. Biasanya, mereka yang bekerja di tempat seperti ini akan mengalami tekanan tersendiri. Pasalnya, ketika mereka memutuskan untuk berjilbab secara total, biasanya diiringi dengan kesadaran untuk menerapkan ajaran Islam secara lebih baik dan mendekati kaffah. Sehingga, jilbab yang dikenakannya bukan sebatas jilbab saja, tapi ada kesadaran dan perlawanan untuk menerapkan syariat Islam.
Menurut Wirianingsih, praktik seperti di atas masih terjadi hingga saat ini. Padahal, konsumennya banyak yang Muslim tapi mereka tak tahu makanan yang dijual itu halal atau haram. Sementara jamaah yang kerja di restoran, kafe atau pub mengetahuinya. Ini yang akhirnya menimbulkan pertentangan batin, antara kepentingan syariah dengan maisyah (nafkah).
“Saya pikir kondisi seperti ini masih ada hingga saat ini. Bagi orang-orang yang memiliki komitmen tinggi bahwa rezeki datangnya dari Allah bukan dari hotel, restoran, pub dan semacamnya, akhirnya mereka keluar dan mencari sumber penghasilan lain. Tapi ada juga yang cerdas dan kreatif, lalu mengumpulkan karyawan dan ramai-ramai datang ke manajemen secara baik-baik menyampaikan tuntutan mereka,” terangnya.
Jika manajemennya bijak dan tidak ada kebencian ideologis, sebab yang melarang biasanya karena ada faktor kebencian ideologis, seperti kekhawatiran ada Islamisasi atau penerapan syariat Islam sehingga Indonesia gak jadi Pancasila lagi. Atau, karena ada pertentangan dengan kalangan non Muslim di dalam manajemen, akhirnya mereka melarang. Jika manajemen netral dan objektif, umumnya berpandangan mau berjilbab atau tidak itu bukan soal, yang penting professional dalam bekerja. Demikian juga soal makanan, jika manajemennya objektif mestinya berfikir bahwa konsumennya ternyata mayoritas Muslim, maka jika tidak mengikuti selera konsumen pasti akan ditinggal. Jika konsumen mengetahui makanannya yang dijual mengandung babi, justru akan merusak citra sehingga tak laku lagi.
Jilbab Gaul di Era Kini
Semua ini sejalan dengan reformasi tahun 1998. Begitu reformasi meletus, yang baik dan buruk semuanya terbawa. Yang baik adalah kebebasan orang untuk mengeskpresikan praktik beragama diantaranya berjilbab.
“Saya memandang keragaman orang berbusana Muslimah menunjukan beragamnya pemahaman terhadap Islam. Ada teman yang menyatakan, lebih baik tidak berjilbab daripada berjilbab tapi celana dan bajunya ketat. Menurut saya, orang ini sudah bisa menilai mana busana Muslim yang benar dan yang tidak. Doakan saja mereka yang masih dalam tahapan seperti itu lambat laun berubah dengan mengenakan busana yang rapi dan sopan. Kita menghormati mereka yang berjibab dengan pemahaman mereka pahami. Yang justru tidak kita hormati adalah orang yang berbikini di jalan raya, di cover majalah, atau tempat-tempat umum lainnya. Ini yang harus kita ingatkan secara bersama-sama agar mereka sadar,” tuturnya.
Ini perkembangan menarik, karena dilatarbelakangi satu opini bahwa jilbab itu terbelakang, kampungan, tidak gaul, terbelakang, dan gak fashionable. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sekelompok designer Muslimah atau perkumpulan jilbaber dan beberapa peragawati meyakinkan pada masyarakat bahwa busana Muslimah juga bisa modis, fashionable, tidak mengurangi kreatifitas dalam berbusana dan tentu saja tetap sesuai syariat.
“Saya sangat menghormati mereka yang berusaha mensosialisasikan bahwa Islam tidak terbelakang.”
Tapi ada satu hal yang harus diingatkan bahwa keinginan untuk menyakinkan masyarakat jangan sampai keluar dari batas syariat. Maksudnya, ketika tampil di atas stage atau di depan publik, menampilkan busana Muslimah kecenderungannya banyak model yang tidak memakai (maaf) pakaian dalam, busananya tembus pandang, sehingga membentuk lekukan badannya. Atau, pada saat di stage dengan busana Muslimah dengan tidak memakai pakaian dalam tetap disaksikan oleh para pria. Hendaknya, nilai moral (akhlak) yang terkandung di balik busana Muslimah juga tercermin dalam perilaku hidup sehari-hari. Sesuatu yang lazim terjadi di fashion show umum ternyata tetap dibawa pada saat fashion show busana Muslimah. Jika begitu apa bedanya?
Niat kita, lanjut ustadzah Wirianingsih, tidak hanya menunjukan bahwa Islam itu tidak terbelakang soal busana tapi prinsip dasar syariatnya juga harus terus sosialisasikan. Karenanya, mereka yang mensosialisasikan busana Muslimah harus didukung dengan praktik penerapan nilai-nilia syariat berbusana dalam kehidupan sehari-hari. Busana Muslimah bukan sesuatu yang menjadi mode tersendiri, sementara aspek syariahnya berjalan sendiri. Bukan itu yang kita harapkan, tapi nilai-nilai syariah yang menyertai orang yang berbusana Muslimah juga harus disosialisasikan. Contoh, jika ingin memperagakan busana Muslimah gak perlu ada kehadiran laki-laki, jadi khusus untuk perempuan saja.
“Jika ini yang menjadi acuan akan lebih banyak lagi yang mensupport. Apalagi saya sekarang aktif di Badan Musyarawah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMO-IWI) akan sangat mendukung. Bahkan, Persaudaraan Muslimah saat ini sedang mengumpulkan jilbab untuk dibagikan kepada Muslimah lainnya. Indonesia ini penduduknya 235 juta, perempuannya sekitar 49,9% (BPS, Agustus 2010). Tapi karena berdasarkan sensus tahun 2005 jumlah perempuan sekitar 51%. Perkiraan saya dari 49,9% perempuan Indoensia, jika 80%-nya Muslimah, berapa prosen yang memakai jilbab? Berapa prosen yang mengerti syariat? Artinya kebutuhan untuk mensosialisasikan jilbab dan syariat Islam masih sangat besar.”
Coba lihat di majelis taklim, banyak yang memakai kerudung hanya di majelis taklim. Ustadzah Wirianingsih dan rekannya mengaku sedang mensosialisasikannya, makanya makin banyak orang yang berjilbab semakin bagus. Ia sering jalan dengan suami dan melihat fenomena Muslimah tak berjilbab.
“Penduduk Indonesia mayoritas Muslim, seharusnya lebih banyak yang memakai kerudung dari pada yang tidak. Tapi kenapa justru orang kita lebih bangga melihat anak-anaknya memakai baju ketat bahkan pusernya terlihat. Di toko baju banyak serbuan busana barat. Itu bukan budaya Islam tapi laku keras. Inilah yang disebut ghazwul fikri, serbuan budaya barat dan sebagainya. Ini harus dibentengi dengan dakwah untuk membangun kesadaran kaum Muslimin tentang menutup aurat, lalu kita support dengan program bagi-bagi jilbab. Jika pulang kampung atau ke mana oleh-olehnya jilbab saja. Seburuk-buruknya Muslimah kita jika datang ke acara keagamaan pasti memakai kerudung, meski cuma nempel saja.”
Dakwah Kultural
Salah satu keberhasilan dakwah memang maraknya jilbab, tutur Ustadzah Wirianingsih. Ini pula yang ditakuti oleh mereka yang tak suka. Fenomena yang paling terlihat dalam performance indicator dakwah adalah perempuan, yakni dari busananya. Jika tak memakai kerudung kita tak tahu dia Muslim atau bukan. Dengan kerudung orang tidak perlu bertanya lagi dia adalah Muslimah. Makanya, selama ratusan tahun gerakan dakwah Islam di belahan dunia manapun yang selalu mengalami degradasi terlebih dulu adalah kalangan perempuan. Kanapa? Karena ini yang paling efektif. Cara memorosotkan gerakan dakwah yang efektif melalui perempuan, makanya mereka menjadi sasaran utama. Misalnya, membuat agar Muslimah tidak kembali pada agamanya. Caranya disibukkan dengan shopping, menghabiskan waktu yang tak bermanfaat, sehingga lupa pada agama dan lupa pada fungsinya sebagai Muslimah.
Ketika seorang ibu memiliki kesadaran Islam yang bagus dan menutup aurat, akan berimplikasi pada pemahaman agama anak-anaknya. Anaknya melihat ibunya memakai jilbab, anak melihat contoh langsung yang baik. Bahkan ketika bayi mulai kenal dengan identitas di sekelilingnya, ketika ibunya menutup aurat, itulah perkenalan ajaran Islam pada anaknya. Jadi, bagaimana ketika ibu-ibu kita tak memakai jilbab? Darimana anak mendapat contoh penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari? Jika ibu ke mana-mana pakai kutang, tang top dan segalanya, anak pun akan meniru ibunya dalam berbusana. Kemudian efek psikologis, jika anak tahu ibunya menurutp aurat ia akan menjaga minimal implikasi secara psikologis. Jika anak mau merokok atau perbuatan lain gak sampai hati melihat ibunya seorang Muslimah yang baik. Jika kita kuat melakukan dakwah kultural ini secara perlahan akan meluas dan mempersempit gerakan ghazwul fikri.
Menurut Ustadzah Wirianingsih, dakwah kultural dan dakwah politik perlu berjalan bersama. Jika berjalan seiring dengan penegakan aturan melalui politik dan kebijakan akan mempercepat dakwah kultural. Pemahaman saya sebagai aktifis, dakwah kultural umumnya memiliki implikasi positif pada gerakan politik. Dakwah kultural yang bagus akan melahirkan SDM yang bagus, birokrat yang bagus, anggota legislatif yang bagus, dan tidak korup, sehingga akan melahirkan kebijakan yang bagus. Saat ini banyak pejabat yang melakukan korupsi dan kebijakannya tak bagus karena dakwah kultural masih belum maksimal dan kurang efektif.
Jilbab memang sudah marak, tapi belum merata. Karenanya, sosialisasi gerakan jilbab harus lebih digiatkan karena belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Memang tren 20 tahun terakhir menunjukan hal positif tapi harus digiatkan lagi. Kedua, pemahaman tentang berjilbab juga harus sejalan dengan akhlak. Sudah memakai kerudung harus dikuatkan persatuan Muslimnya, harus dibarengi dengan kematangan soal pemahaman agama yang berimplikasi pada gerakan seni dan budaya. Artis-artis berjilbab dan tokoh masyarakat harus bisa melahirkan seni budaya yang lebih bermartabat dan bermanfaat bagi masyarakat. Tayangan sinetron berbau reliji dan artis berjilbab hendaknya menyatu dalam kehidupan sehari-hari sebagai artis di TV atau film dengan kehidupan bermasyarakat.