Dalam buku Kebebasan Wanita, dijelaskan bahwa wanita disunnahkan melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan berikut ini.
Tujuan pertama, membantu suami, ayah, atau saudara yang miskin. Yakni seorang perempuan memberikan bantuan finansial terhadap anggota keluarganya dengan tujuan meringankan beban atas kondisi pemenuhan kebutuhan mereka. Perlu diingat bahwa pemberian nafkah merupakan kewajiban seorang laki-laki.
Dari Zainab istri Abdullah, ia berkata, “Saya berada dalam masjid, lalu saya melihat Nabi. Kemudian beliau bersabda, ‘Bersedekahlah, walaupun dengan perhiasanmu!’ Saya (Zainab) biasa memberi belanja (natkah) untuk Abdullah (suaminya) dan untuk anak yatim yang dipeliharanya. Saya berkata kepada Abdullah, ‘Cobalah tanyakan kepada Rasulullah, apakah cukup bagiku apa yang saya belanjakan untuk engkau dan yatim yang saya pelihara?’ Abdullah berkata, ‘Engkau sendirilah yang bertanya kepada beliau.’ Kemudian saya berangkat kepada Nabi. Saya mendapatkan wanita Anshar di depan pintu yang keperluannya seperti keperluanku. Kemudian Bilal lewat di muka bumi, lalu kami berkata, ‘Tanyakan kepada Nabi, apakah cukup bagiku dengan memberi nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatimku dalam pemeliharaanku?’ Kami berkata, ‘Jangan engkau beritahukan siapa kami.’ Maka, Bilal menemui Nabi dan menanyakan kepada beliau, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Bilal menjawab, ‘Zainab.’ Beliau bertanya lagi, ‘Zainab yang mana?’ Bilal menjawab, ‘Istri Abdullah.’ Lalu, beliau bersabda, ‘Ya, cukup. Ia mendapat dua pahala, yaitu pahala kerabat dan pahala sedekah.'” (HR Bukhari)
Dalam kitab Fathul Bari, disebutkan bahwa ulama menggolongkan sedekah dalam hadits ini sebagai sedekah wajib. Sementara, Al Qadhi Iyadh mengatakan bahwa sedekah tersebut merupakan sedekah sukarela. Pendapat ini didukung oleh Imam An Nawawi dan Ath Thahawi. Dengan seorang isteri memberikan harta yang diperoleh melalui pekerjaannya, maka kehidupan suami isteri akan semakin penuh dengan kasih sayang dan keberkahan.
Kedua, mewujudkan kepentingan masyarakat Muslim. Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan, “Demikian juga halnya dengan wanita-wanita yang dikarunia Allah bakat yang besar dan kemampuan yang tinggi dalam bertutur kata. Dari mulutnya akan meluncur kata-kata indah, nasihat-nasihat mengesankan, dan keterangan yang jelas dalam bentuk bait-bait syair yang mempesonakan semuanya, tulisan yang memikat, maupun wanita yang memiliki otak yang brilian. Dengan otak tersebut dia dapat menyerap bebagai macam ilmu pengetahuan untuk kemudian dikembangkan dan didayagunakan. Wanita-wanita semacam ini patut mempertahankan dan mengembangkan bakat mereka hingga mereka mampu membayarkan ‘zakat bakat’ tersebut. Apalagi mungkin wanita-wanita seperti itu jauh lebih hebat daripada kaum laki-laki dalam bidang pekerjaan mereka.”
Ketiga, berkorban pada jalan yang baik. Maksudnya adalah menggunakan harta yang diperoleh dari profesinya itu untuk melakukan hal-hal yang diwajibkan ataupun disunanahkan oleh agama. Sehingga dengan hartanya itu ia akan memeperolah kebaikan dan pahala dari Allah atas kebaikan yang dilakukannya.
Dari Aisyah, Ummul Mukminin, dia berkata, “… Yang paling panjang tangannya diantara kami adalah Zainab (binti Jahsy), sebab berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR Muslim)
Dari Aisyah, dia berkata, “Aku belum pernah sama sekali melihat wanita yang lebih baik dalam soal agama daripada Zainab (binti Jahsy), paling takwa kepada Allah, paling benar dalam berbicara, paling suka menyambung silaturahim, serta paling suka mengorbanka dirinya untuk pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah.” (HR Muslim)
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Bibiku dicerai. Pada suatu hari, dia ingin memetik buah kurmanya, lalu seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar rumah. Lantas bibiku menemui Rasulullah untuk menanyakan masalah ini. Rasulullah berkata, ‘Tentu, petiklah buah kurmamu. Barangkali, dengan itu kamu akan bisa bersedekah atau akan melakukan sesuatu yang baik.’” (HR Muslim)
Priyo Kuncoro Jati