Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan di tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai angka 6,6 persen. “Saya rasa keseluruhan tahun (sebesar) 6,6 persen,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, Jumat, 5 Agustus 2011.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan kedua yang lalu, yakni sebesar 6,5 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, perekonomian telah tumbuh sebesar 2,9 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan kedua itu sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia. Pada triwulan ketiga nanti diprediksi akan kembali terjadi peningkatan. “Kami perkirakan Q3 (triwulan tiga) bisa mencapai 6,6 persen,” ujar Perry.
Sementara di triwulan keempat kembali akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. “Tinggal dihitung saja, 6,7 persen kalau tidak salah, sekitar itu,” ucap Perry. Inflasi juga diperkirakan akan lebih rendah. “Inflasi akan turun. Akhir tahun kami yakin masih sebesar 4,9 persen,” kata Perry. (www.tempo.co , 6 Agustus 2011)
Berita di atas cukup untuk mewakili berita tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta menjadi dasar untuk menganalisis sistem perekonomian yang saat ini digunakan di Indonesia. Ya, selama ini kita tahu bahwa salah satu instrumen ekonomi yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia –atau bahkan di hampir seluruh dunia- adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi adalah penambahan jumlah akumulasi output produksi nasional, yang dicapai dengan penambahan jumlah input faktor produksi baik dengan penambahan jumlah modal, tenaga kerja, dan faktor produksi yang lain. Sedangkan perkembangan ekonomi adalah penambahan jumlah akumulasi output produksi nasional, yang dicapai dengan perubahan jenis input atau metode produksi dalam skala nasional, misal dengan semakin ahlinya tenaga kerja, perubahan mesin produksi, dll. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan jumlah faktor produksi, sedangkan perkembangan ekonomi adalah perubahan jenis faktor produksi.
Baik pertumbuhan maupun perkembangan ini, sama-sama hanya berfokus pada berapa banyak Indonesia memiliki pusat-pusat produksi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja, dan banyak berproduksi untuk meningkatkan pendapatan nasional. Tidak peduli apakah faktor produksi itu dimiliki oleh perusahaan nasional atau asing. Faktanya, memang ini yang selama ini dilaporkan pemerintah.
Tentunya kita faham sekaligus heran, telah banyak kritik-kritik yang dialamatkan pada pemerintah terutama oleh media dan banyak akademisi. Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India, namun kenapa masih banyak kita jumpai masyarakat yang hidup di kolong jembatan atau pinggir sungai? Yang setiap hari masih makan dengan mencari sisa-sisa di tempat sampah? Dengan rumah yang hanya berdinding kardus? Kenapa pula masih banyak saudara kita di daerah terpencil yang menderita busung lapar?
Jawabanya adalah “wajar saja”. Kenapa? Karena negara ini masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur pembangunan. Ketidak singkronan antara tingginya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan realitas masyarakat memang sangat wajar terjadi. Sekali lagi, kenapa? Karena ada banyak tempat produksi dan proses produksi, yang tidak memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja (lihat contoh kasus upah buruh yang rendah). Semakin tingginya tingkat pendapatan masyarakat Indonesia pun, jika dianalisis lebih jauh hanya merupakan dampak dari semakin kayanya taipan-taipan yang menguasai perekonomian Indonesia, bukan karena semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat miskin.
Dalam sistem keuangan makro Islam, memang tidak ada model yang secara langsung dapat disimpulkan baik dari Al Quran maupun Hadist tentang instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan dari pembangunan. Namun para ahli ekonomi Islam menemukan satu instrumen yang lebih baik dengan menyimpulkan dari syariat yang diwajibkan dalam Islam, yaitu pemerataan ekonomi. Sekali lagi, instrumen ini memang tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist, namun kesimpulan serta nilai-nilai yang dapat dipetik dari syariat Islam itu sendiri. Syariat tersebut adalah syariat zakat. Sementara nilai yang diterapkan adalah nilai keadilan.
Zakat adalah salah satu instrumen dalam rukun Islam yang hikmahnya dapat kita rasakan secara fisik dalam kacamata ekonomi. Secara bahasa, zakat dapat berarti membersihkan/mensucikan, berkah, dan tumbuh/berkembang. Syariat ini mewajibkan setiap muslim untuk menyisihkan hartanya yang telah mencapai nishab untuk diserahkan pada delapan ashnaf yang telah ditetapkan Islam.
Allah berfirman ,
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS At Taubah :6)
Singkat kata, zakat ini menjadi salah satu mediasi antara orang yang mampu (baca: muzakki) dengan delapan ashnaf tersebut (baca: mustahiq). Dengan adanya mediasi penyaluran harta yang bersifat wajib ini, harta kekayaan tidak akan beredar pada para taipan saja, melainkan juga beredar di kalangan delapan ashnaf itu sendiri. Seperti firman Allah “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS Al Hasyr: 7).
Zakat ini menjadi lebih maksimal jika pembangunan nasional menggunakan instrumen pemerataan ekonomi. Sesuai dengan hikmah-hikmah zakat yang penulis terangkan di atas untuk memeratakan pendapatan. Pemerataan ekonomi (equity) memandang secara langsung pendapatan per individu secara lebih akurat, bukan hanya didasarkan pada rata-rata pendapatan.
Yang ingin penulis simpulkan di sini adalah, kurangnya perhatian tentang masalah pemerataan ekonomi ini, baik secara sistem ekonomi makro, maupun individu dari masyarakat yang mayoritas masih kurang sadar akan pentingnya membayar zakat. Padahal sudah banyak artikel yang menyebutkan tentang besarnya potensi zakat di Indonesia, dan bayangkan jika potensi itu dapat terkelola dengan baik.
Tidak salah juga jika pembangunan juga memasukkan instrumen pertumbuhan ekonomi, karena nyatanya itu memang penting. Namun dibutuhkan penempatan yang lebih cermat tentang penggunaannya. Penempatan yang dimaksud, sama seperti penempatan pada konsep pertumbuhan ekonomi yang digunakan untuk negara berkembang (karena terbatasnya sumber daya) serta konsep perkembangan ekonomi untuk negara maju (karena banyak sumber daya yang mumpuni). Negara dengan tingkat kemiskinan yang masih mengkhawatirkan seperti Indonesia, penulis rasa masih belum pantas untuk bicara tentang tingginya pertumbuhan ekonomi. Mari kita bicarakan terlebih dahulu pemerataan ekonomi, dengan pemberdayaan zakat yang lebih baik. Jika pemerataan ekonomi sudah tercapai, dan seluruh rakyat terjamin kesejahteraannya, saya yakin baik peningkatan angka pertumbuhan maupun perkembangan ekonomi akan menyusul dengan sendirinya.
Walahu’alam..
Oleh: Renatha Agung Yoga Prasetya, Surabaya
Facebook