Pembahasan RUU Pengelolaan Zakat revisi terhadap UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat masih terus dilakukan DPR bersama pemerintah dan masyarakat sipil dari lembaga-lembaga amil zakat. Penetapan RUU yang terlambat dari tahun lalu ini, saat ini sudah selesai pembahasannya di Panja.
Sejumlah isu hangat yang sebelumnya menjadi polemik publik dan perdebatan di antara stakeholder zakat, sudah tercapai titik terang. Namun masih ada beberapa isu yang masih hangat diperbincangkan, salah satunya tentang zakat sebagai pengurang pajak yang belum kunjung bertemu satu kesepahaman antara pemerintah, DPR dan masyarakat pengelola zakat. Isu itu menjadi polemik aktual, apalagi ditengah target pemerintah yang saat ini sedang berupaya meningkatkan pendapatan nasional dari sektor pajak. Ditambah kesadaran masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah dan meningkatnya tuntutan pembangunan yang menyeluruh dan pengentasan kemiskinan. Semua target-target pemerintah tersebut tentu pada akhirnya bermuara ke APBN. Meski sektor pajak menempati salah satu penyumbang terbesar APBN dengan nilai tahun lalu mencapai Rp 700 triliun, tapi angka itu masih kecil jika dipersentasekan kepada total yang seharusnya diterima negara untuk kebutuhan pembangunan.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, saat ini, orang pribadi yang menyerahkan SPT-nya hanya 8,5 juta wajib pajak. Padahal, penduduk yang aktif bekerja ada 110 juta orang. Artinya, rasio SPT terhadap kelompok pekerja aktif itu hanya 7,7 persen. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia ini masih sangat rendah.
Sementara untuk badan usaha, tercatat hanya 466 ribu badan usaha yang menyerahkan SPT. Padahal, badan usaha yang berdomisili tetap dan aktif ada lebih dari 12 juta badan. Itu sama dengan hanya 3,6 persen dari total jumlah badan usaha yang beroperasi di seluruh Indonesia.
Jika kontribusi sektor pajak dalam pendapatan nasional sangat minim, lantas bagaimana tujuan pemerintah untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat Indonesia secara maksimal dapat tercapai. Jika penerimaan pajak dapat dimaksimalkan mendekati angka penerimaan ideal dan pada saat bersamaan tingkat kebocoran anggaran dapat ditekan seminimal mungkin, maka bukan tidak mungkin pemerintah tidak perlu lagi meminjam dana hutangan dari negara donor ataupun lembaga keuangan internasional. Di sinilah sebetulnya terletak urgensi gagasan dari zakat sebagai pengurang zakat (tax credit), terutama sebagai salah satu solusi alternatif meningkatkan penerimaan pajak.
Seiring dengan berjalannya proses pembahasan RUU Pengelolaan Zakat, keniscayaan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) muncul sebagai satu solusi alternatif sebagaimana pengalaman yang terjadi di negara-negara lain.
Salah satu contoh terbaik pengintegrasian zakat dan pajak adalah pengalaman Malaysia. Kebijakan zakat bisa mengurangi pajak, ternyata sangat berpengaruh terhadap penerimaan zakat dan pajak itu sendiri. Selama periode 2001-2005 pemberlakuan kebijakan itu, penerimaan zakat meningkat hingga 50 persen dan penerimaan pajak meningkat sebesar 30 persen.
Potensi zakat di Indonesia, menurut Asian Development Bank (ADB) dapat mencapai sedikitnya Rp100 triliun. Jika digabung dengan zakat perusahaan, totalnya bisa mencapai Rp 210 triliun. Sebelumnya pada tahun 2007, Survei Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) mengungkapkan potensi zakat di Indonesia mencapai sedikitnya Rp9,09 triliun. Bahkan pakar ekonomi syariah Syafii Antonio membuat perkiraan potensi zakat Indonesia mencapai Rp17 triliun. Sungguh angka yang sangat fantastis jika potensi ini diintegrasikan ke dalam target program pemerintah untuk meningkatkan tabung pendapatan nasional dari sektor pajak.
Problem utama dari minimnya penerimaan pajak sebetulnya ada pada tingkat kesadaran masyarakat. Kesadaran ini sangat terkait dengan nilai-nilai yang melekat pada unsur pewajiban pajak itu sendiri. Sedangkan peningkatan tren penghimpunan zakat disebabkan salah satunya karena kecenderungan meningkatnya semangat keberagamaan masyarakat menengah Indonesia. Salah satu ekspresi keberagamaan yang baik melalui penunaian perintah berzakat. Sementara di dalam pajak, unsur pewajiban pajak berasal dari institusional negara. Di saat maraknya kasus korupsi yang melibatkan pihak berwenang pajak, tentu berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pajak. Karena itu, sudah semestinya dua hal faktual ini diselaraskan dan diatur bersama melalui pelembagaan undang-undang.
Menyelaraskan undang-undang
Dalam UU No. 38/1999 sebetulnya telah dicantumkan upaya mengintegrasikan zakat dan pajak. Namun kedudukaan zakat dalam undang-unndang ini sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat, atau zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction). Undang-undang ini menyebutkan zakat yang diterima BAZ atau LAZ dan mustahik, tidak termasuk sebagai objek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan WP orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ, menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Ketentuan zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasikan setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003 tiga tahun kemudian.
Namun, kekurangannya terletak pada lemahnya koordinasi di antara pemerintah, terutama dengan kementerian keuangan. Masuknya insentif pajak dalam UU tersebut tidak melibatkan Otoritas Pajak. Ketika Departemen Keuangan setahun kemudian mengajukan draft revisi RUU PPh, sama sekali tidak ada ketentuan yang mendukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan Zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR.
Penentuan zakat sebagai faktor pengurang pajak (tax credit) mesti melalui pembicaraan menyeluruh antara Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan, karena melibatkan sistem perpajakan. Perlu penyelarasan pada tingkat undang-undang antara RUU Pengelolaan Zakat dengan undang-undang yang saat ini mengatur perpajakan nasional.
dimuat ulang dari Jurnal ZISWAF Dompet Dhuafa