Zuhud dalam sesuatu menurut Bahasa Arab artinya berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Lafazh ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an selain keterangan tentang orang-orang yang menjual Yusuf dengan harga yang murah, “Dan, mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”(Yusuf: 20).
Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Di dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakanhakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masingmasing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya.
Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara’ ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat.”
Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara’.
Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus.
Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka.” Dia juga berkata, “Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.”
Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh.
Menurut Ibnul-Jala’, zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya.
Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia.
Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayatdarinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, “Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang.”
Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.
Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara:
Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma’rifat.
Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud, seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki’, Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.
Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka.
Sudah barang tentu Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begitu pula Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa’d, yang semuanya merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.
Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, “Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta,tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditim-pa musibah sama sekali.”
Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak?
Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berartitidak ada lagi zuhud.
Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruhlah bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.
Pengarang Manazilus-Sa’irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:
1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik.
Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang ham-ba,sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu Anhutna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
“halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara ke-duanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyak-an manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.”
Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, sepertiAl-A’raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siangdan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang ter-cela.
Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu di mata Allah.
2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontohpara nabi dan shiddiqin.
Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian,tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu. Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotong-nya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenik-matan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang ber-manfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkan-nya. Zuhud adalah zuhud hati.
3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat menda patkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkanbalasan.
Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnyatak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma’rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.
Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya.
Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.