Apa yang Kita Sombongkan?

Imam An Nawawi menulis Syarah Shahih Muslim yang tebal itu sedang beliau tak punya Kitab Shahih Muslim.

Beliau menulisnya berdasar hafalan atas Kitab Shahih Muslim yang diperoleh dari Gurunya; lengkap dengan sanad inti dan sanad tambahannya. Sanad inti maksudnya; perawi antara Imam Muslim sampai RasuluLlah. Sanad tambahan yakni; mata-rantai dari An Nawawi hingga Imam Muslim.

Jadi bayangkan; ketika menulis penjabarannya, An Nawawi menghafal 7000-an hadits sekaligus sanadnya dari beliau ke Imam Muslim sekira 9-13 tingkat Gurunya; ditambah hafal sanad inti sekira 4-7 tingkat rawi.

Yang menakjubkan lagi; penjabaran itu disertai perbandingan dengan hadits dari Kitab lain (yang jelas dari hafalan sebab beliau tak mendapati naskahnya), penjelasan kata maupun maksud dengan atsar sahabat, tabi’in, dan ‘ulama; munasabatnya dengan ayat dan  tafsir, istinbath hukum yang diturunkan darinya; dan banyak hal lain lagi.

image

Hari ini kita menepuk dada; dengan karya yang hanya pantas jadi ganjal meja beliau, dengan kesulitan telaah yang tak ada seujung kukunya.

Hari ini kita jumawa; dengan alat menulis yang megah, dengan rujukan yang garing, dan tak malu sedikit-sedikit bertanya pada Syaikh Google.

Kita baru menyebut 1 karya dari seorang ‘Alim saja sudah bagai langit dan bumi rasanya. Bagaimana dengan kesemua karyanya yang hingga umur kita tuntaspun takkan habis dibaca?

Bagaimana kita mengerti kepayahan pada zaman mendapat 1 hadits harus berjalan berbulan-bulan?

Bagaimana kita mencerna; bahwa dari nyaris 1.000.000 hadits yang dikumpulkan dan dihafal seumur hidup; Al Bukhari memilih 6000-an saja?

Atas ratusan ribu hadits yang digugurkan Al Bukhari; tidakkah kita renungi; mungkin semua ucap dan tulisan kita jauh lebih layak dibuang?

Kita baru melihat 1 sisi saja bagaimana mereka berkarya; belum terhayati bahwa mereka juga bermandi darah dan berhias luka di medan jihad.

Mereka kadang harus berhadapan dengan penguasa zhalim dan siksaan pedihnya, si jahil yang dengki dan gangguan kejinya. Betapa menyesakkan.

Kita mengeluh listrik mati atau data terhapus; Imam Asy Syafi’i tersenyum kala difitnah, dibelenggu, dan dipaksa berjalan Shan’a-Baghdad.

Kita menyedihkan laptop yang ngadat dan deadline yang gawat; punggung Imam Ahmad berbilur dipukuli pagi dan petang hanya karena 1 kalimat.

Kita berduka atas gagal terbitnya karya; Imam Al Mawardi berjuang menyembunyikan tulisan hingga menjelang ajal agar terhindar dari puja.

Mari kembali pada An Nawawi dan tak usah bicara tentang Majmu’-nya yang dahsyat dan Riyadhush Shalihin-nya yang permata; mari perhatikan karya tipisnya; Al Arba’in. Betapa barakah; disyarah berratus, dihafal berribu, dikaji berjuta manusia dan tetap menakjubkan susunannya.

Maka tiap kali kita bangga dengan “best seller”, “nomor satu”, “juara”, “dahsyat”, dan “terhebat”; liriklah kitab kecil itu. Lirik saja.

Agar kita tahu; bahwa kita belum apa-apa, belum ke mana-mana, dan bukan siapa-siapa. Lalu belajar, berkarya, bersahaja.

Ustadz Salim A. Fillah