Efek Halal dalam Kehidupan Sehari-hari

Syahdan, ketika sorang pemuda Idris namanya, duduk termangu di bawah kerindang pohon di tepi sungai, panggilan adzan Maghrib pertanda berbuka puasa terdengar sayup berkumandang. Tanpa ikhtiar matanya melihar Buah Delima merekah bertengger dibawah bibir sungai. Lapar dan dahaga menghentikan laju akal beningnya. Tangannya pun segera menggapai delima dan dengan lahap memakannya habis.

Namun, sehabis menunaikan shalat Mghrib, nuraninya menyadarkan bahwa Delima yang dilahap habis itu bukan miliknya dan tidak jelas halalnya. Artinya masih syubhat ; tidak jelas halal dan haramnya.

Esok harinya, begitu terang cuaca, Idris pun mulai berjalan menyusuri sungai menuju hulu. Dia mencari pohon delima yang ditanam orang ditepi sungai. Akhirnya dia menemui kebun delima dibelakang sebuah rumah yang berhalaman bersih dan apik. Agaknya dia bertemu dengan semacam pesantren. Dengan mantap pemuda Idris mendatangi pemilik kebun delima itu. Setelah sekedar basa-basi, Idris menyampaikan maksud kedatangannya. Dia memohon agar buah delima yang terbawa arus air sungai tadi yang terlanjur dimakannya itu dapat dihalalkan.

Al-Άrif Billah. Pemilik kebun delima tersebut dikenal sangat arif dan bijak. Tanpa sungkan dia berkata dan menjawab, “Wah tidak bisa begitu. Ada syaratnya untuk mendapatkan halal itu. Kalau kamu sanggup memenuhi sayarat dari saya, baru delima yang kamu makan itu halal. Gemana? Seketika pemuda Idris itu menyanggupi. Begini, ntuk mendapatkan halal, kamu harus mengaji dan mengabdi ditempat saya selama dua tahun, tanpa bayaran, kecuali makan gratis seadanya.

Begitulah. Pemuda Idris mengaji dan mengabdi dengan ikhlas, demi memburu kehalalan. Setelah dua tahun penuh, Idris menghadap pemilik kebun dan kemudian menuntut ikrar halal. Tetapi orang itu masih belum mau berikrar. Bahkan. Memberi tambahan syarat. Delima yang kamu makan saya halalkan, kalau kamu mau menikahi putri saya. Tetapi, sebelumnya kamu harus tahu, bahwa putri saya itu buruk rupa, lumpuh, buta, tuli, dan bisu. Gemana?

Tanpa pikir panjang Idris menyanggupi. Lalu dinikahkanlah Idris dengan Fatimah anak pemilik kebun delima yang sampai saat ijab nikah belum pernah dilihatnya. Dia meminta mas kawin aneh. Aneh banget. Yaitu mendidik berhiyas, melatih berjalan, menuntun perjalanan, membuat mendengan dan mengajari bicara. Ya saya terima mas kawin tersebut, kabul Idris. Maka menikahlah Idris dengan Fatimah. Sah.

Usai itu, oleh mertuanya, Idris dipersilahkan masuk kamar pengantin. Seperti yang bisa dilakukan, begitu membuka tirai, Idris mengucapkan salam. Mendengan salam, gadis yang berada didalam kamar itu berdiri dan dengan lembut menjawab. Mata Idris hinggap pada wajah rupawan yang aduhai wah… sejenak Idris termangu, kemudia dia berbalik menuju rung utama menemui mertua, maaf Pak, saya tidak menjumpai pengantin saya. Tidak ada pengantin yang bapak sebut, saya hanya melihat seorang gadis muda yang bersuara merdu, bermata bagai kejora yang begitu saya uluksalami, menjawab dengan lembut. Bagaimana ini?

Sang mertua menjawab dengan senyum, itu memang pengantinmu. Dia memang buruk rupa, buktinya sampai sebesar itu belum laku. Dia lumpuh, artinya tidak pernah mau pergi kemana-mana. Dia buta dari keindahan dunia diluar rumah. Dia tuli dari mendengar pergunjingan tetangga, itulah dia, Nak. Kami titipkan anakku Fatimah untuk kau bimbing, kata Al-Άrif Billah.

Kelak. Lahirlah seorang mujtahid besar bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang madzhabnya diikuti oleh hampir semua muslim di negara-negara ASEAN.

Itulah barangkali perlunya perut kita tidak sembarangan dijejali makanan yang diragukan kehalalannya. Nafsu kita memasukan kedalam perut kita apakan hasil curian, korupsi, penipuan, atau lainnya, kalau belum jelas milik sendiri, seharusnya dihindari. Dengan begitu akan lahir generasi sesudah kita generasi andalan, bukan generasi narkotika, hura-hura, main-main, asal-asalan, sendiri-sendiri, dll.

Oleh : IBNU IRRAWAN