Empati Seorang Anak

Empati anak yang menamparku

Ada seorang ibu, wali murid, yang mendatangi saya sembari meminta maaf atas perbuatan puteranya terhadap Ariba putri sulung saya. Saya bingung, karena sehari sebelumnya tak ada cerita apa pun tentang peristiwa di sekolah. Kebetulan saya juga lupa menanyakan. Kebiasaan sehari-hari saat menjemput anak-anak, dari di sekolah hingga sampai di rumah saya selalu menanyakan adakah cerita menarik di sekolah. Apa yang mereka lakukan, bagaimana teman-temannya, dan banyak hal lainnya.

Rupanya si ibu khawatir Ariba dipalak (diminta dengan paksa)  oleh putranya. Cerita lengkapnya, ketika si anak sedang bertiga dengan temannya, ia haus, tapi tidak punya uang. Begitu pun dua teman lainnya, lalu memintalah si anak ini pada kakak kelasnya, tapi tidak diberi. Kebetulan Ariba dengar, lalu Ariba beri masing-masing seribu rupiah. Si anak cerita pada ibunya bahwa ia diberi Ariba  uang jajan untuk membeli minum, tapi si ibu tetap tidak percaya karena puteranya dan Ariba  tidak sekelas lagi (kelas putera dan puteri di pisah), sedangkan Ariba anak yang pemalu dan pendiam. Untuk memastikan cerita tersebut, si ibu bertanya pada teman puteranya yang juga diberi uang oleh  Ariba. Ketika uang akan diganti, Ariba  menolak. Saya katakan, “Biarkan Ariba belajar berempati bu. Uang nggak perlu diganti”.

Ketika saya klarifikasi kepada Ariba, Ariba sedikit merasa khawatir. Katanya, “Mimay nggak marahkan aku kasih uang temanku untuk beli minum? Kasihan May.” “Ooo…ya jelas nggaklah sayangku.. Masa’ berbuat baik di marahi?! Alhamdulillah kakak sudah berbuat baik”, jawab saya. Katanya lagi…”Aku pengen seperti Mimay yang suka berbuat baik. Suka menolong orang”. Subhanallah…  Semoga kebaikan itu terus terpupuk. Tak pernah berhenti hingga waktu usai. -amin

Terharu, ketika mendengar penuturan Ariba, hingga mata pun berkaca-kaca. Alhamdulillah… bidadari kecilku berhati mulia. Tapi bersamaan dengan keharuan dan rasa syukur itu, saya merasa Allah menampar saya berkali-kali. Begitu keras tamparan itu saya rasakan, hingga sempat membuat saya tertegun dan merenung. Masya Allah… begitu halus dan indahnya cara Allah menegur saya. Bahwa mengajarkan dengan contoh lebih mudah diterima dan diingat juga diikuti oleh anak-anak, daripada mengajarkan mereka melalui lisan. Apalagi, jika kata-kata yang disampaikan menggunakan kata-kata yang kurang baik. Yang tak patut didengar oleh anak-anak. Atau menyampaikannya dengan cara yang kurang santun. Orang dewasa saja ketika dinasehati dengan cara yang tidak santun tak akan mudah menerima nasehat tersebut, bahkan bisa jadi menolak dan memasang wajah tak suka sebelum nasehat selesai disampaikan, sekalipun nasehat tersebut disertai dengan dalil Al Qur’an atau pun sunnah Rasul.

Anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru perbuatan dan  perkataan kita. Bahkan ketika seorang anak marah, ucapan dan caranya marah dapat persis seperti orangtuanya ketika sedang marah. Daya ingat anak-anak sangat kuat. Seringkali tanpa kita sadari mereka meniru perilaku dan perkataan kita. Dan seringkali pula tanpa sadar kita telah memberi contoh yang kurang baik terhadap anak-anak kita. Entah ucapan, atau perbuatan. Astaghfirullaah…

Saya jadi ingat, ketika bertemu keponakan saya yang berada di lain kota, ia masih belum genap berusia dua tahun. Belum bisa bicara dengan jelas. Pada saat bertemu itu saya memberinya sebuah mainan. Ketika saya bertemu kembali, usianya sudah tiga tahun. Ketika melihat mainan yang saya berikan, ia berikan kepada saya sembari memanggil saya dan mengatakan dengan kalimat yang tidak sempurna, menunjukkan bahwa mainan itu adalah pemberian saya. Sementara orangtuanya hampir tak pernah mengingatkan mainan itu siapa yang memberi.

Anak berusia tiga tahun sudah mulai banyak belajar dari lingkungannya. Pada sebagian anak, ada yang lebih dini lagi sudah mulai bisa meniru perkataan dan perbuatan orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka menjumpai banyak hal dan belum dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk sehingga sering kita temui anak-anak melakukan perbuatan dan mengatakan hal-hal yang  seharusnya tidak dikatakan oleh anak-anak. Ironisnya, orangtua sering marah ketika mengetahui anak-anak mengatakan hal-hal yang tak pantas diucapkan. Kosa kata yang sudah pasti mereka peroleh dari orang-orang dewasa yang ada  di lingkungannya. Bukan kosa kata hasil ciptaan mereka, yang tentunya belum mampu mereka lakukan.

Kesempatan yang terbaik bagi orangtua untuk mengajarkan banyak hal kebaikan adalah sejak anak masih kecil bahkan sejak anak masih dalam kandungan, dengan mendengarkan kalimat-kalimat indah berupa lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an, mengajaknya bicara sambil mengusap perut. Bulan pertama, asalnya janin masih berupa segumpal darah. Bulan kedua, Allah jadikan segumpal darah itu menjadi segumpal daging. Pada bulan ketiga, segumpal daging tersebut diberikan tulang belulang hingga mulailah terbentuk wujud seorang bayi. Lalu pada bulan keempat Allah sempurnakan wujudnya dan ditiupkannya ruh… Subhanallah… Kita mulai bisa memperdengarkan kalimat-kalimat yang baik padanya. Menciptakan pengharapan yang mulia baginya kelak dengan sambil mengajaknya bercerita.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14).

Kita dapat menceritakan kisah-kisah para nabi dan sahabat nabi serta orang-orang salaafush  sholih lainnya.  Lalu menguraikan hikmah di balik kisah-kisah tersebut untuk dijadikan teladan, dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak, memancing imajinasi anak-anak, dan dengan tanpa memaksa, mendorongnya agar menerapkan kisah yang mereka dengar dan mereka ingat dalam kehidupan nyata, maka akan terbentuklah akhlaq yang mulia, yang akan menjadi bekal mereka dalam menjalani hidup di kehidupan yang penuh warna dan rasa ini.  Karenanya, peran orangtua dalam pembentukan kepribadian dan ruhani seorang anak sangatlah penting. Begitu pun para pendidik di sekolah, yang menggantikan peran orangtua selama anak-anak di sekolah.

Kita menginginkan anak-anak kita melakukan sesuatu dengan baik, atau melakukan hal-hal baik, sementara kita sendiri tidak melakukannya. “Kaburo maqtan ‘indallaahu an taquuluu maa laa taaaf’aluun”, yang artinya amatlah besar kemurkaan disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. (QS.  As Saff (61) : 3). Na’udzubillah…

Saya sering mengingatkan anak-anak saya agar tidak sungkan mengingatkan atau menegur kami, orang tuanya, jika melakukan kesalahan.. Di satu sisi memicu saya untuk menjaga perilaku dan perkataan. Di sisi yang lain, mengajarkan anak-anak untuk berani mengungkapkan pendapat dan menyampaikan kebenaran. Dengan catatan, tentunya ketika anak menegur atas kesalahan kita, kita menerima dan tak berdalih untuk membela diri. Karena secara tidak langsung kita telah mengajarkan  anak kita tidak jujur dan tidak berlapang hati mengakui kesalahan.

Selamat berjuang dengan gembira… menjadi orangtua yang dapat menjadi teladan yang baik untuk anak-anak yang menjadi amanah besar dari Allah swt.

 

-Jeng Dydi-