Hasil Ujian Nasional Bukan Segalanya

Kualitas kehidupan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Negara maju yang penduduknya sudah sejahtera dapat dipastikan memiliki kualitas pendidikan yang baik. Memang salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan.

Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang bersumber dari Human Development Report UNDP tahun 2005 menunjukkan bahwa peringkat Human Development Index atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 110. Indonesia berada jauh di bawah Filipina (84), Thailand (73), Malaysia (61), Brunei Darussalam (33) dan Singapura (25).

Oleh karena itu, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui perubahan regulasi dengan disahkannya UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usaha lain yang telah dan terus dilaksanakan yaitu pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan serta peningkatan mutu manajemen sekolah.

Peningkatan mutu pendidikan memang harus menjadi program utama untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Untuk itu, sejak tahun 2003 pemerintah membuat kebijakan tentang Ujian Akhir Nasional (UAN) melalui Kepmendiknas No. 153/U/2003. Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga. Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN.

Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah. Pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga mengeluarkan keputusan berani dengan ditiadakannya ujian ulang UAN bagi siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus.

Namun, menjelang berlangsungnya Ujian Akhir Nasional, kebijakan tidak ada UAN ulang itu dibatalkan, setelah mendapat masukan dari masyarakat. Kontroversi yang terjadi pada UAN tahun 2004 adalah tentang konversi nilai UAN yang dianggap merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai.

Pada tahun 2005 Depdiknas kembali menaikkan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25 dan merubah nama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN). Yang membedakan UN 2005 dengan UAN adalah janji Mendiknas yang tidak akan mengulang kembali skandal konversi nilai seperti kejadian tahun 2004.

Hal yang berbeda pada tahun 2005 adalah Depdiknas memberikan kesempatan kepada peserta didik yang belum lulus ujian nasional tahap pertama, mengikuti ujian nasional tahap kedua hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Ujian nasional tahap kedua diadakan pada tanggal 22, 23, dan 24 Agustus 2005 untuk SMA/MA/SMK/SMALB, SMP/MTs/SMPLB. Selain itu, Depdiknas mengeluarkan edaran kepada perguruan tinggi dan SMA/MA/SMK bahwa mereka dapat melakukan penerimaan bersyarat bagi siswa yang belum lulus UN.

Sejak kemunculannya UAN yang kemudian berubah nama menjadi UN selalu memunculkan kontroversi. Walaupun diyakini keberadaan UN sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tapi terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam pelaksanaan UN tersebut. UN dinilai hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.

UN dianggap mengabaikan muatan kurikulum yang menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah.

Satu hal yang menjadi polemik besar dalam pelaksanaan UN adalah nilai hasil UN sebagai penentu kelulusan siswa. Mereka yang sudah susah payah bersekolah selama tiga tahun di SMA/SMK/MA atau SMP/MTs ditentukan nasibnya hanya dengan tiga mata pelajaran saja masing-masing selama dua jam. Ketentuan bahwa nilai UN menjadi penentu kelulusan menyebabkan banyak siswa dan guru berpikir pragmatis menghadapi UN. Apalagi ketika tidak lulus nasibnya jauh lebih sulit seperti harus mengikuti kelas penyetaraan yang semua orang tahu citra kelas penyetaraan sama dengan drop out alias DO. Tidak ada cara lain selain berbagai cara ditempuh untuk lulus UN.

Pada sisi lain kecurangan terjadi karena guru berpikir pelaksanaan UN, di samping menjadi kesempatan mencari pendapatan tambahan, merupakan ajang mencari muka dengan kepala sekolah dan kepala dinas. Bukan rahasia lagi dinas-dinas pendidikan daerah menargetkan sekolah agar meluluskan siswanya 100% tidak peduli bagaimana caranya. Sejumlah kecurangan yang terungkap mengiringi UN mencerminkan adanya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara guru dan siswa. Kelulusan 100% juga menjadi promosi gratis mendapat siswa baru pada tahun ajaran mendatang. Hasil jeblok berarti menutup peluang mendapat siswa baru.

Untuk itu, di setiap sekolah biasanya dibentuk ”tim sukses” yang akan berusaha dengan cara apa saja agar para siswanya lulus UN. Cara yang dilakukan mulai dari yang ”baik-baik” seperti mengadakan program bimbingan belajar secara intensif untuk siswa kelas tiga sampai dengan pembekalan mental. Ada juga tim sukses yang bertindak bukan seperti layaknya seorang pendidik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mensukseskan pelaksanaan UN di sekolahnya. Para guru itu tidak ada bedanya dengan tim sukses calon kepala daerah yang terkadang tidak perduli berbuat curang asal calonnya bisa menang.

Benang kusut pelaksanaan UN ini akan terus berlanjut jika semua pihak tidak berusaha untuk menguraikan akar permasalahannya dan mencari solusi bersama. Kita harus menyepakati pentingnya UN sebagai salah satu bukan satu-satunya cara meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dibenahi dan diperbaiki secara bertahap. Diantaranya yaitu:

Pemerintah hendaknya tidak memaksakan diri untuk mendapatkan hasil instan dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan menaikkan nilai standar kelulusan tiap tahunnya. Sejak diberlakukannya UAN tahun 2003 sampai sekarang, setiap tahun nilai standar kelulusan itu terus bertambah. Mulai dari 3,01 sampai 5,00 pada tahun ini. Padahal banyak faktor yang harus dibenahi terlebih dahulu untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diukur melalui hasil ujian. Misalnya sarana dan prasarana belajar, upgrading guru, pemantapan kurikulum yang terus berganti dan lain sebagainya.
Seharusnya nilai standar kelulusan bertambah secara bertahap dan terprogram dalam rentang waktu yang cukup agar semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti siswa, guru, kepala sekolah termasuk di dalamnya orang tua bisa menyiapkan diri.

Hasil ujian nasional seharusnya tidak menjadi penentu kelulusan satu-satunya. Selain tidak sesuai dengan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Hal ini juga bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri. Hasil pendidikan tidak bisa disederhanakan dengan hanya kemampuan menjawab soal. Pendidikan adalah sebuah proses dalam pembentukan kepribadian seorang manusia yang tidak hanya terpusat pada aspek kognitif semata. Penilaian siswa tidak bisa diukur hanya dalam waktu tiga hari pelaksanaan ujian nasional tapi setiap hari selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Oleh karena itu, seharusnya kelulusan siswa dikembalikan kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling tahu proses perkembangan siswa itu sendiri. Nilai UN bisa dijadikan sebagai salah satu faktor penentu predikat kelulusan, apakah mereka lulus dengan predikat sangat baik, baik atau cukup. Nilai UN juga bisa digunakan sebagai salah satu faktor penilaian keberhasilan sekolah dalam proses belajar mengajar.

Pendidikan harus berorientasi kepada proses bukan hasil. Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil maka segala cara akan dilakukan untuk meraih hasil yang diinginkan.

Walaupun cara-cara tersebut bertentangan dengan peraturan. Jadi yang perlu menjadi perhatian semua pihak termasuk pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua adalah bagaimana proses pendidikan itu berlangsung bukan cuma melihat hasilnya. Percuma nilai UN bagus dan lulus tapi hasil berbuat curang. Siswa tidak akan termotivasi untuk belajar, usaha guru dalam proses kegiatan belajar mengajar pun tidak terukur dan niat pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak akan pernah tercapai. Marilah kita jujur pada diri kita sendiri bagaimana pendidikan kita akan maju jika semua pihak ingin mendapatkan hasil yang baik tanpa mau berusaha dan bekerja. Hanya demi selembar kertas surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) idealisme guru sebagai pendidik dikorbankan.

Peran orangtua siswa juga tidak kalah penting dalam proses pendidikan. Orangtua seharusnya mampu memotivasi siswa untuk meraih apa yang mereka inginkan dengan belajar. Mereka jangan menyerahkan semua proses pendidikan anaknya ke sekolah karena sekolah hanyalah salah satu sarana memperoleh pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan adalah sebuah keharusan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Banyak hal yang harus dilakukan dimulai dari peningkatan sarana dan prasaran belajar, upgrading guru dengan sertifikasi, perbaikan kurikulum dan lain sebagainya. Tugas berat ini bukan hanya dibebankan kepada pemerintah saja tapi menjadi tugas kita bersama.

Hasil ujian nasional harus kita sikapi dengan bijaksana karena hasil ujian nasional bukanlah segalanya. Ujian nasional hanyalah salah satu proses pendidikan yang harus dilalui. Lulus ujian nasional bukan penentu keberhasilan hidup siswa. Setelah lulus sekolah, siswa akan masuk dalam sekolah yang lebih besar, sekolah kehidupan. Siapa yang bisa belajar di sana, mereka akan berhasil dalam hidupnya. Semoga.

Oleh: Akhmad Farhan, Tangerang
FacebookTwitterBlog