Ikhtilaf dan I’tilaf

Pada bulan-bulan ini di Kuwait, persisnya di Markaz Al Alami lil Al Wasatiyah, diadakan daurah atau training. Training selama seminggu itu sedikitnya diikuti oleh 17 kelompok dari Negara yang berbeda-beda. Semula saya, sebagai peserta, ragu jangan-jangan ini adalah training untuk menjadi Muslim moderat dalam pengertian liberal. Dari materi dan traininernya, saya menjadi tahu ini bukan liberal.

Moderat dalam mensikapi perbedaan diantara umat Islam. Materinya hampir semuanya tentang syariah, utamanya adalah Fiqh Al I’tilaf wa Al Ikhtilaf  (Fiqih Persatuan dan Perbedaan) dan Fiqh Al Aulawiyyat (Fiqih Prioritas). Trainernya adalah para pakar dalam bidang syariah pula, dan yang pasti dalam mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Untuk memahami peta ikhtilaf dalam Islam Dr. Al Bayanuni menggambar 3 lapisan lingkaran kecil sedang dan besar. Lingkaran pertama adalah perbedaan diseputar masalah ijtihadiyah. Statusnya tidak jauh dari khata’ (salah) dan sawab (betul). Disini yang pertama masih mendapat pahala satu dan yang benar mendapat pahala dua.

Lingkaran kedua berkutat pada masalah yang lebih berat yaitu masalah usul atau hal-hal yang muhkamat. Statusnya adalah haqq (benar) dan batil (salah). Disini bukan masalah ijtihadiyah, karena itu bagi yang salah tidak mendapat pahala. Hukumnya adalah sesat dan harus diingatkan.

Lingkaran terakhir lebih berat lagi karena berkaitan dengan masalah usul yang menyangkut masalah keimanan. Maka, statusnya sudah bukan haqq dan batil lagi, tapi sudah Mu’min atau kafir.

Dalam masalah ijtihadiyah, khilafiyah atau perbedaan meruncing pada masyarakat awam, tapi tidak pada ulama. Perbedaan masalah jumlah qunut sangat tajam dikalangan masyarakat bawah. Padahal, konon Imam Syafi’i tidak sekeras pengikutnya.

Ketika beliau berkunjung ke Baghdad ia diminta menjadi Imam oleh tokoh mazhab Hanafi. Pengikut Imam Syafi’i sudah tidak sabar untuk menyatakan menang atas mazhab Hanafi. Pengikut  Hanafi pun hatinya menjadi ciut. Pada rakaat kedua shalat subuh itu ternyata Imam Syafi’i tidak qunut. Ketika para pengikutnya protes pada Imam Syafi’i, beliau menjawab singkat “ta’adduban” artinya untuk menghormati pengikut Hanafi.

Ketika Buya Hamka berkunjung ke Blitar beliau diminta menjadi Imam shalat subuh. Disana mayoritas adalah pendukung Nahdhatul Ulama. Mungkin panitia sengaja menguji Hamka. Tapi Hamka yang ketua MUI dan Muhammadiyah itu ternyata melakukan qunut.

Saat ini perbedaan masalah khata dan sawab ini masih saja meruncing. Seorang anggota kelompok pengajian keluar dari dan pindah kelompok lain hanya karena ustadhnya tidak pakai baju taqwa. Seorang peserta sebuah seminar keislaman protes dan keluar ruangan gara-gara pemakalahnya tidak berjanggut. Seorang Imam tidak mulai shalatnya kecuali semua jamaah laki-lakinya mengangkat celana di atas mata kaki.

Padahal dalam masalah ijtihadiyah Nabi sangat toleran. Dalam suatu perjalanan Nabi memerintahkan “Tidak ada yang shalat kecuali di Bani Quraidah” (La shalata illa fi Bani Quraidah).  Bagi sebagian sahabat ini perintah Nabi dan wajib ditaati. Bagi sahabat lain karena masyaqqah (kesulitan) tidak bisa mentaati perintah Nabi. Ternyata Nabi tidak marah dan tidak menghukum sahabat yang tidak shalat di Bani Quraidah. Masih banyak kasus yang lain.

Yang lebih massif lagi ikhtilaf  tahunan umat Islam Indonesia adalah masalah hari raya. Ada yang beda sehari, ada yang beda tiga hari bahkan ada yang beda seminggu. Umat Islam yang terpelajar pasti bertanya mengapa tidak menyatukan ru’yat dengan hisab? Dan mengapa ru’yat tidak diserahkan kepada para pakar astronomi atau falak? Mengapa Depag tidak mengambil otoritas ithbat melalui tim professional dari berbagai ormas, sehingga tidak ada lagi ormas yang menetapkan ithbat?

Ketika Dr.Al Bayanuni mendengar hal ini beliau mengeluarkan dalil maslahatnya. Katanya “mengikuti ijtihad yang salah tapi membawa maslahat umat lebih afdhal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi mengandung madarat (bahaya)”.

Artinya terlepas dari masalah keilmuan, nampaknya maqasid syariah (maslahat) belum masuk dalam pertimbangan. Maka jika ada ormas yang menetapkan hari raya “asal beda” dari kelompok lain itu berarti telah memilih “madarat” daripada “maslahat”. Memilih ikhtilaf  (berselisih) daripada i’tilaf (bersatu). Padahal di hampir seluruh Negara Islam tidak ada perselisihan tentang awal hari raya Idul Fitri.

Lingkaran kedua tentang haqq dan batil. Al Bayanuni tidak banyak memberi contoh. Demikian pula lingkaran ketiga. Mungkin karena tujuannya adalah meredam ikhtilaf masalah furu’ umat Islam yang berkepanjangan. Tapi begitu disebut nama Nasr Hamid, Syahrur dan Arkoun beliau menyimpulkan pemikiran orang-orang ini banyak yang batil. Bahkan ada yang sudah pada lingkaran ketiga. Itulah sebabnya di Mesir Nasr Hamid di fatwa murtad.

Jadi sabda Nabi ikhtilaf umatku adalah rahmat, tidak bisa diplesetkan menjadi “perselisihan” umatku adalah rahmat. Tidak pula di kaburkan dengan “pluralisme teologis umatku adalah rahmat”. Ikhtilaf disitu sebenarnya mengandung makna i’itilaf, artinya perbedaan sudut pandang umatku dalam berbagai masalah agama adalah rahmat asalkan tetap bersatu dalam aqidah atau masalah-masalah usul. Maka pengikut mazhab ahlussunnah wal jamaah harus bersatu meskipun kelompok-kelompok didalamnya berbeda dalam masalah furu’iyah.    

Dr. Hamid Fahmi Zarkasi

INSISTNET