Indonesia (2)

Samuel P. Huntington, pengamat politik yang terkenal karena telah mempopulerkan teori ‘benturan antar peradaban’ (the clash of civilizations), berpendapat bahwa agama adalah karakteristik sentral yang menentukan wajah suatu peradaban (religion is a central defining characteristic of civilizations). Bernard Lewis, senior Huntington yang sebenarnya merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “the clash of civilizations”, menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Peradaban Kristen” (Christian Civilization). Huntington juga menyebut empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India dan Cina – yang menurutnya memiliki kaitan erat dengan empat agama besar, yaitu Islam, Kristen, Hindu dan Konghucu.

Salah satu hal menarik yang dapat kita temukan di sini adalah bahwa orang seperti Huntington sekalipun – yang seringkali memiliki pandangan ‘miring’ tentang Islam – mengakui bahwa hanya Islam-lah agama yang sekaligus merupakan identitas peradaban. Jika wilayah India dan Cina menjadi batas bagi peradaban Hindu dan Konghucu, dan Barat (biasanya identik dengan Eropa dan Amerika Serikat) adalah batas bagi peradaban Kristen, maka peradaban Islam tidak terbatas oleh Arab Saudi, Timur Tengah atau batas-batas wilayah lainnya. Peradaban Islam adalah sejauh kemampuan dakwah Islam menjangkau. Jika Anda adalah seorang Muslim, maka tidak menjadi soal apakah Anda seorang penduduk Afrika berkulit hitam legam, keturunan Tionghoa berkulit kuning, ras Kaukasus berkulit pucat, atau orang Indonesia berkulit sawo matang. Tidak ada bedanya juga di mana kita tinggal, apakah di negeri di mana Muslim adalah penduduk mayoritas atau minoritas, setiap Muslim adalah bagian dari peradaban Islam.

Meskipun para pengamat politik di Barat umumnya menghormati pandangan-pandangan Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington, namun mereka juga senantiasa bersikap ambigu terhadap bangsa-bangsa Melayu, termasuk Indonesia. Sebab, sementara peradaban-peradaban lainnya tidak diragukan lagi telah dibangun di atas pondasi keagamaan yang kuat, Islam justru tidak kunjung diakui sebagai elemen terpenting dari peradaban Melayu. Cendekiawan Muslim dari Malaysia, M. Naquib al-Attas, menolak dengan keras pengaburan sejarah semacam itu. Menurutnya, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah modern di wilayah tersebut. Rumpun bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia, telah menjadi ‘bahasa Muslim’ kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa (angka ini ia sebutkan pada tahun 1969 – pen.).

Karena Islam tak pernah bisa dipisahkan dari Melayu, maka Melayu pun menjadi identik dengan Islam. Al-Attas mengkritik pandangan para sarjana Barat yang cenderung melemahkan peranan Islam di wilayah ini, misalnya seperti sikap Snouck Hurgronje yang masih memberi pengaruh hingga saat ini. Oleh karena itu, Al-Attas menulis dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu:

Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkelupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.

Peradaban Hindu dan Budha pernah berkuasa di Nusantara, namun di banyak tempat, ia tak ubahnya seperti Kerajaan Romawi yang gemar menginvasi, menganeksasi dan mengeksploitasi wilayah-wilayah lain di sekitarnya (baca artikel Indonesia (1)). Sebaliknya, menurut penelitian al-Attas yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Historical Fact and Fiction, Islam disebarluaskan secara sistematis oleh para da’i yang bekerja dengan serius, tidak sebagaimana ‘fiksi sejarah’ yang biasa diceritakan oleh para sarjana Barat yang bersikeras bahwa Islam masuk ke Indonesia secara ‘tidak sengaja’, tanpa rencana dan tanpa dedikasi tinggi melalui para pedagang dan saudagar. Dalam bukunya, al-Attas memaparkan dengan jelas bukti-bukti yang diberikan oleh para penulis Muslim dan sumber-sumber dari Cina dan Eropa yang menunjukkan bukti bahwa Islam telah menjadi tulang punggung bagi peradaban Melayu. Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, dalam seminar internasional bertajuk Sejarah dan Peranan Islam dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa, juga menambahkan satu fakta penting: Islam masuk ke negeri-negeri Melayu tanpa dipimpin oleh satu panglima perang pun. Maka, berbeda dengan nasib Sriwijaya dan Majapahit yang tidak meninggalkan bekas selain dari mitos-mitos yang kabur, Islam berhasil menarik hati masyarakat Melayu dan mempersatukan mereka ke dalam suatu perasaan kebangsaan, meskipun secara administratif pemerintahan negeri-negeri itu tidak bersatu.

Kembali pada Snouck Hurgronje, yang merupakan satu dari sedikit orientalis paling berpengaruh di dunia, kita diingatkan kembali pada sebuah catatan yang diberikannya untuk Pemerintah Kolonial Belanda dalam misi terselubungnya ketika ia dengan segala cara menarik simpati masyarakat Muslim Indonesia. Beginilah cara Snouck membicarakan Islam:

Sesungguhnya agama ini, meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.

Dr. Adian Husaini, dalam makalah Penyatuan Nusantara: Fakta dan Fiksi, mengingatkan para pembacanya bahwa Moh. Natsir pernah memperingatkan peranan sistem pendidikan ala Barat dalam menjauhkan masyarakat Muslim dari agamanya sendiri. Natsir mengutip kata-kata Snouck Hurgronje sendiri yang mengatakan, “Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam”. Maka, karena Islam sudah terlanjur mengakar dalam hati masyarakat Melayu, gerakan Orientalisme pun mengambil jalan lain, yaitu melakukan deislamisasi melalui jalur pendidikan.

Sebagai gerakan ‘bermata dua’, kolonialisme melancarkan sekularisme sekaligus kristenisasi. Buya Hamka pernah memperingatkan dalam bukunya yang berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam bahwa Pemerintah Kolonial Belanda memang dengan sengaja menanamkan sekularisme dan membiarkan kristenisasi terjadi secara sistematis. Sekolah-sekolah rakyat dilarang mengajarkan agama, karena menurut prinsip sekuler mereka, sekolah harus ‘netral agama’. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, mereka pun membiarkan sekolah-sekolah Kristen berdiri dan kaum misionaris bekerja dengan leluasa. Sahabatnya, Moh. Natsir, juga menyebutkan nativisasi sebagai ancaman besar di samping sekularisasi dan pemurtadan (kristenisasi). Nativisasi ini pun sesungguhnya merupakan bagian dari proyek deislamisasi yang dilakukan oleh kaum Orientalis, yaitu dengan menanamkan perasaan kedaerahan yang begitu kuat dalam hati sanubari masyarakat Melayu, sehingga terbitlah fanatisme kedaerahannya dan menaklukkan semangat ukhuwwah Islamiyyah-nya. Akibatnya, orang Jawa akan merasa lebih kental ‘ke-Jawa-annya’ daripada keislamannya, orang Sunda merasa lebih kental ‘ke-Sunda-annya’ daripada keislamannya, dan pada abad ke-21 ini pun lahir ungkapan yang menyatakan keinginan akan lahirnya ‘Islam yang Indonesiawi, bukan Indonesia yang Islami’. Masyarakat Indonesia boleh mengidentifikasi dirinya dengan adat Jawa, adat Sumatera, adat Bali, atau dengan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, tapi tidak pernah dibiarkan kembali pada jati dirinya sebagai bagian dari keluarga besar peradaban Islam.

Bangsa-bangsa Barat, terlebih lagi negeri-negeri penjajah, selalu menganggap Islam sebagai ancaman. Prof. Uli Kozok, dalam laporan penelitiannya yang dituangkan dalam buku Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba, menyatakan pandangan Pemerintah Kolonial Belanda yang menganggap Islam adalah ancaman dan lebih menyukai dilakukannya kristenisasi terhadap masyarakat Indonesia, dalam hal ini adalah masyarakat Batak. Dalam laporannya itu, Prof. Uli Kozok menulis sebagai berikut:

Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.

Dalam karya-karyanya, Hamka sudah berulang kali mengulas berbagai faktor yang menjelaskan mengapa Islam menjadi momok yang begitu menakutkan bagi bangsa-bangsa penjajah. Dalam buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, beliau menggarisbawahi ghirah (kecemburuan agama) sebagai salah satu faktor yang begitu ditakuti oleh bangsa manapun yang pernah menjajah negeri ini (lihat artikel Ghirah). Bagi umat Muslim, harga diri adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu, siapa pun yang melecehkan martabat manusia, apalagi martabat agama, maka ia harus bersiap menerima perlawanan keras yang seolah-olah dilakukan oleh manusia yang telah putus urat takutnya. Sebab, bagi seorang Muslim, mati adalah suatu jalan tak terhindarkan dan satu-satunya untuk menatap wajah Allah SWT, dan mati syahid adalah cara paling gemilang untuk menjemput kematian. Selama ajaran ini masih mengakar kuat, kolonialisme tidak akan pernah bernapas lega.

Dalam bukunya yang lain, yaitu Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Hamka mengungkap kisah sejarah yang jarang diceritakan orang dan mungkin telah terlupakan oleh banyak orang, yaitu tragedi pembantaian ribuan santri dan ulama di Jawa oleh pemerintahan Amangkurat I yang telah diprovokasi oleh Barat. Sebabnya sederhana saja. Feodalisme yang telah berabad-abad terpelihara di tanah Jawa telah terguncang hebat dengan kehadiran Islam. Orang-orang yang tadinya bersembah sujud di hadapan Raja, bahkan bersimpuh di jalan-jalan manakala para pembesar kerajaan berlalu di hadapannya, kini mulai menyadari bahwa dirinya adalah sama mulianya dengan orang lain, dan kepalanya hanya boleh menyentuh tanah dalam rangka menyembah Allah SWT atau jika nyawa sudah pergi meninggalkan tubuh. Makin hari makin lunturlah pemujaan masyarakat terhadap Keraton, meskipun seisi Keraton itu pun telah memeluk agama Islam juga. Sakitlah hati para pembesar, karena rakyat jelata tak mau lagi dianggap sebagai ‘manusia kelas dua’ dan tak sudi lagi menjilat kepada para penguasa. Apa yang benar akan dibenarkan dan yang salah akan digugat, meskipun hal itu menyelisihi keinginan Keraton. Belanda pun turut campur dan menawarkan bantuan untuk mengatasi ‘kenakalan’ kaum santri ini. Lebih dari 6.000 orang santri dan Kyai disuruh berdiri di alun-alun dan kemudian ditembaki. Sukseslah keinginan Belanda pada saat itu, karena yang tersisa adalah masyarakat yang patuh dan gemar bersembah sujud kepada sesama manusia, yang tentu saja lebih mudah ‘ditertibkan’ daripada orang-orang bermental syuhada yang akhirnya benar-benar syahid itu. Akan halnya Amangkurat I, ia tidak pernah lagi hidup bahagia. Konon, ia pergi tak tentu arah dalam keadaan gila sebelum akhirnya tercabut juga nyawanya.

Jati diri negeri-negeri Melayu, termasuk Indonesia, adalah Islam. Islam-lah yang telah mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan Islam pula yang merengkuh masyarakat di wilayah ini ke dalam suatu persaudaraan besar. Jika kita berbicara dalam kerangka dakwah, maka Natsir yang asli Minang bisa berguru pada Ahmad Hassan yang keturunan Arab, KH. Ahmad Dahlan yang asli Jawa dengan rendah hati belajar kepada Syaikh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Hamka), bahkan orang-orang Afrika pun membuka hatinya untuk ajaran Islam yang dibawa oleh Syaikh Yusuf yang asli Sulawesi. Tapi tengoklah bagaimana keadaan Indonesia dan negeri jiran yang merangkap saudara terdekatnya, yaitu bangsa Malaysia, jika keduanya berbicara dengan bahasa sekuler, mendiskusikan masalah-masalah ketenagakerjaan yang jauh dari tuntunan agama, atau sepakbola yang dipenuhi aroma dendam dan fanatisme kebangsaan.

Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud pun berpesan, “Perdana Menteri kami (Malaysia – pen.) ayahnya Bugis, ibunya Minang. Dilihat dari mana pun kita bersaudara. Bangsa-bangsa Melayu ini bersaudara karena Islam.” Sayang sungguh disayang, persatuan dan kerja sama antarbangsa di tanah Melayu dipersulit sedemikian rupa hanya karena penduduknya gagal mengidentifikasi jati dirinya yang sesungguhnya, yaitu sebagai bagian dari peradaban Islam yang begitu perkasa menghadapi terpaan jaman. Akan tetapi, nampaknya sejarah tengah bergerak ke arah yang berbeda.