Keinginan Manusia, Hakim Segala Sesuatu

INSISTS – Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor bekerja sama dengan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan The Center of Gender Studies (CGS) menggelar studium generale dengan tema “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi” pada pukul 09.00-12.00 WIB (29/5). Acara yang diselenggarakan di Gedung Program Doktor Pendidikan Islam UIKA ini menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Prof. Malik Badri, seorang pakar psikologi Islam dari Sudan, dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, pakar pemikiran Islam yang berbasis di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. Selain kedua pembicara, hadir juga Direktur Eksekutif INSISTS, Adnin Armas, yang bertindak sebagai moderator.

“Kini dunia dikuasai oleh suatu ‘agama’ yang bernama humanisme sekuler (secular humanism). Istilah “humanis” tidak merujuk pada sikap manusia yang beradab (civilized), melainkan sebuah cara berpikir yang menjadikan keinginan manusia sebagai hakim atas segala sesuatunya. Logika semacam inilah yang membuat manusia semakin hari semakin jauh meninggalkan agamanya. Dengan adanya ideologi baru pengganti agama ini, muncul pula peristilahan baru yang mengindikasikan adanya cara pandang yang baru. Kata “zina”, misalnya, yang dulu diterjemahkan sebagai “adultery” dalam bahasa Inggris, kini berubah menjadi “extra-marital relationship”. Demikian juga kata “sodomy” kini berkembang menjadi “homosexual” yang memberi kesan setara dengan “heterosexual”. Kata “homosexual” ini kemudian berkembang lagi -khusus bagi pelaku berjenis kelamin laki-laki- menjadi kata “gay” yang asalnya bermakna “gembira”. Lebih parahnya lagi, setelah homoseksualitas tidak dianggap lagi sebagai sebuah penyakit kejiwaan atau abnormalitas, kini justru mereka yang tidak menyetujui homoseksualitas itulah yang disebut-sebut mengalami “homophobia”, seolah-olah merekalah yang tengah bermasalah kesehatan jiwanya karena mengalami fobia. Kondisi Barat sekarang yang begitu ekstrem dalam melakukan liberalisasi dalam hal seksualitas ditengarai merupakan akibat dari kondisi ekstrem sebelumnya yang justru mengekangnya. Jika kebudayaan Yunani-Romawi dahulu begitu bebas dalam memandang seks, maka peradaban berikutnya yang memimpin Barat, yaitu peradaban Kristen, begitu ekstrem dalam mengekang seks. Kini, setelah Barat meninggalkan Kristen dan beralih pada sekularisme, pendulum kembali berbalik arah, termasuk dalam hal seksualitas.” Papar Prof. Malik Badri dalam memulai ceramahnya.

Menurut Prof. Malik Badri, tanpa bimbingan dari Tuhannya, manusia memang cenderung merespon suatu ekstremitas dengan ekstremitas lainnya yang berlawanan. Oleh karena itu, umat Muslim perlu kembali pada ajaran agamanya sendiri yang memberikan solusi yang komprehensif dan tidak ekstrem. Sikap ekstrem dalam mendukung homoseksualitas ditunjukkan dalam berbagai literatur yang ditulis di Barat. Dalam bukunya yang berjudul The AIDS Crisis, Prof. Malik Badri menggarisbawahi fakta bahwa semua buku yang berbicara tentang seksualitas di era modern selalu mempromosikan seks anal, termasuk buku-buku teks yang digunakan di perguruan-perguruan tinggi. Dalam buku-buku tersebut, segala keburukan seks anal disebut-sebut hanya sebagai ‘mitos’ dan ketidaksukaan terhadapnya hanyalah akibat dari pandangan kultural masyarakat yang sudah terlanjur berkembang.

Cara lain yang digunakan untuk mempromosikan homoseksualitas adalah dengan menggunakan statistik, misalnya dengan membuat laporan survei tentang banyaknya laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan sesama jenis. Permainan statistik semacam ini membuat hubungan homoseks yang tadinya tabu menjadi seolah-olah wajar, semata-mata karena sudah banyak yang melakukannya. Media massa juga berperan penting dalam mendukung homoseksualitas. Sebutlah, misalnya, sebuah penelitian yang dibuat dengan membandingkan sel-sel otak dalam tubuh 19 jenazah homoseks dengan 16 orang yang diasumsikan tidak homoseks. Laporan yang dibuat menunjukkan bahwa sel-sel otak seorang homoseks memiliki perbedaan di tempat-tempat tertentu. Penelitian ini membuat banyak orang yakin bahwa memang kecenderungan untuk menjadi homoseks adalah bawaan sejak lahir.

Meski demikian, penelitian ini pun mendapat kritik keras dari para ahli. Pertama, ke-16 orang yang dijadikan pembanding hanya diasumsikan tidak homoseks. Kedua, bagian otak yang disebut-sebut memperlihatkan perbedaan itu tidak berhubungan dengan seksualitas. Ketiga, media juga tidak mengungkap fakta bahwa ke-19 orang homoseks yang tubuhnya digunakan dalam penelitian itu semuanya mati karena AIDS. Penelitian lain membuat kesimpulan yang serupa dalam hal lesbianisme. Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa kaum perempuan yang memiliki kelebihan hormon tertentu cenderung menjadi lesbian. Padahal, fakta ilmiah menunjukkan bahwa banyak perempuan yang memiliki kelebihan hormon serupa namun tidak menjadi lesbian. Pada kenyataannya, menurut Prof. Malik Badri, “Tidak ada bukti bahwa homoseksualitas muncul karena bawaan atau diwariskan melalui garis keturunan.”

Cara lain yang digunakan di Barat untuk menjustifikasi homoseksualitas adalah dengan menawarkan ‘penafsiran baru’ terhadap kisah kaum negeri Sodom dalam Bibel. Dalam penafsiran barunya itu, mereka berusaha keras untuk menghindari kesimpulan bahwa penduduk negeri Sodom diazab karena homoseks. Bahkan ada juga yang menafsirkan kata-kata yang menunjukkan cinta murid-murid Yesus kepada dirinya sebagai bukti bahwa Yesus adalah seorang homoseks.

Prof. Malik Badri kemudian membantah argumen yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah kodrat bawaan. Jika benar homoseksualitas itu adalah sifat bawaan dalam gen manusia, maka tentu di setiap kelompok masyarakat ada yang homoseks. Pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman pribadinya hidup selama bertahun-tahun di Etiopia, homoseksualitas tidak dikenal di tengah-tengah masyarakat Afrika. Bukan hanya tidak ada yang melakukannya, tapi juga tidak ada yang pernah terpikir untuk melakukan hubungan seks di antara sesama laki-laki ataupun perempuan. Pada hakikatnya, menurut Prof. Malik Badri, kebutuhan seks adalah hal yang fitrah bagi semua manusia, namun seksualitas dipengaruhi oleh kultur, bukan gen bawaan. Bagi masyarakat Barat, misalnya, perempuan yang dianggap menarik adalah yang langsing dan kurus. Namun bagi masyarakat Afrika, justru perempuan yang tubuhnya gemuklah yang dianggap menarik. Hal yang sama terjadi pada homoseksualitas. Kondisi ini dipengaruhi oleh kultur suatu daerah. Dengan demikian, semakin banyak dilakukan advokasi untuk homoseksualitas, maka ia akan semakin menyebarluas. Prof. Malik Badri mengakhiri uraiannya dengan menjelaskan bahwa homoseksualitas dapat disembuhkan. Sebagai seorang psikolog, telah banyak pasien yang datang untuk meminta bantuan agar bisa disembuhkan dari kecenderungan homoseksnya.

Ada sejumlah metode yang terbukti dapat digunakan untuk menghilangkan kecenderungan homoseks. Hanya saja, seorang pasien tak mungkin disembuhkan jika ia tidak merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Dengan kata lain, pasien itu harus datang dengan kesadarannya sendiri dan dengan tulus mengakui bahwa apa yang dirasakannya itu adalah sebuah penyimpangan yang mesti diperbaiki. Jika ada seseorang yang mengalami masalah demikian, maka dalam perspektif Islam, hal itu adalah cobaan yang memang sangat berat bagi dirinya, dan Allah akan memberinya balasan yang banyak selama ia mampu menahan dirinya dan tidak mencari-cari pembenaran.

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menambahkan beberapa hal dari penjelasan Prof. Malik Badri. Menurut Dr. Hamid, Barat memang sebuah fenomena yang unik. Dari Yunani, Barat mempelajari filosofi dan seni. Dari Romawi, Barat mendapatkan ilmu hukum dan pemerintahan. Akan tetapi, dari Kristen, nampaknya Barat tidak mendapatkan apa-apa. Sebab, meskipun di permukaan nampaknya Barat telah terkristenkan, namun pada hakikatnya Kristen-lah yang telah ter-Barat-kan. Hal ini sudah terlihat sejak berpindahnya ‘kiblat’ Kristen dari tanah Palestina ke Roma. Peradaban Barat kemudian melahirkan peradaban modern dan post-modern. Modernisme dikenal karena coraknya yang sekuler-rasional. Aliran pemikiran inilah yang telah ditawarkan di Indonesia oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Akan tetapi, ideologi penggantinya, yaitu post-modernisme, melangkah lebih jauh lagi meninggalkan agama, bahkan meninggalkan idealisme kebenaran itu sendiri. Akibatnya, di Barat orang sudah tidak lagi berbicara tentang kebenaran. Sebagai gantinya, mereka menawarkan paham relativisme. Karena pandangannya yang senantiasa ambigu soal kebenaran itu, Barat dan Islam seringkali berseberangan. Sebagian pengamat memelesetkan teori “the clash of civilizations” menjadi “the sexual clash of civilizations”. Sebab, Islam dan Barat dapat bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam hal demokrasi, namun tidak pernah sepakat dalam hal seksualitas, termasuk dalam hal gender.

Menurut Dr. Hamid, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan paham gender ala Barat tidak bisa berdamai dengan Islam. Pertama, Islam mengenal pembedaan jenis pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan. Kedua, Islam juga mengenal pembedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, feminisme senantiasa berseberangan dengan konsep pernikahan dalam Islam. Dalam pandangan Barat-sekuler, pernikahan adalah sebuah institusi yang hanya mengikat laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam perspektif Islam, pernikahan adalah perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghaliizan) antara laki-laki, perempuan dan Tuhan. Oleh karena itu, institusi pernikahan tidak mungkin mengabaikan aturan-aturan Tuhan.

Diskusi yang sangat hangat terjadi pada sesi tanya-jawab. Beberapa mahasiswa dengan latar belakang pendidikan di bidang psikologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Di antara pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka adalah dari pengasuh Podok Pesantren Al-Husnayayn, Dr. Nirwan Syafrin, yang mempertanyakan penggunaan berbagai istilah yang secara konseptual bermasalah, misalnya “gender”. Sementara istilah ini muncul dari pandangan-alam (worldview) yang tidak Islami, maka sudah selayaknya para cendekiawan Muslim mencari istilah lain untuk digunakan dalam kajian-kajian ilmiah.

Pertanyaan lain yang diajukan kepada Prof. Malik Badri adalah seputar metode pengembangan ilmu Psikologi Islam. Ilmu Psikologi Islam, menurut Prof. Malik Badri, tidak perlu menolak segala pendapat ilmu psikologi yang telah diajukan oleh Barat. Karena Islam memiliki tuntunan yang jelas dari wahyu, maka apa-apa yang sesuai dengan ajaran Islam bisa diambil, sedangkan hal-hal yang tidak sejalan bisa diabaikan dan dicarikan penggantinya.

Studium Generale mengenai masalah homoseksualitas dan gender ini dihadiri oleh peserta yang berjumlah lebih dari 100 orang. Peserta berasal dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan mahasiswa, dosen, akademisi, praktisi psikologi dan juga ibu rumah tangga. Selain karena isu homoseksualitas dan gender yang tengah mengemuka di tanah air saat ini, umumnya peserta juga sangat antusias menghadiri ceramah dari kedua pembicara yang namanya sudah dikenal luas ini. (Akmal)