Keshahihan Hadits Adalah Ijtihad Ulama?

Opini ini adalah tanggapan atas artikel di Rumah Fiqih, yang ditulis oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA, dengan judul “Benarkah Keshahihan Shahih Hanya Sebuah Produk Ijtihad?

Penulisnya tak paham ilmu hadits apalagi tarikh ruwat dan thabaqatnya. Orang-orang dari Rumah Fiqh tak henti-hentinya menyebarkan syubhat.

Lucu ada pernyataan empat imam madzhab adalah ahli hadits paling top pada zamannya dan bla bla bla ala Rumah Fiqh. Lha trus kenapa Abu Hanifah didhaifkan sebagian ulama hadits? Lalu kalau paling tahu hadits tentu tidak banyak gunakan ra`yu sehingga dijarh oleh Ibnu Quthaibah dalam Ta`wiil Mukhtalafil Hadiits.

Kalau bicara hadits tentu ada imam-imam yang lebih kompeten seperti Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin Sa’id Al-Qath-than, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, dan lain-lain.

Benar bahwa dari empat imam madzhab tiga orang; Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah ahli hadits plus ahli fiqh. Tapi bukan berarti mereka yang paling top pada zamannya.

Imam Ahmad yang paling hafal dan paling tahu dari ketiganya masih ada dalam thabaqatnya yang tidak kalah pengetahuannya darinya seperti Ali bin Abdullah Al-Madini, yang merupakan guru Imam Bukhari. Dan Ibnu Jarir Ath-Thabari saja tak memasukkan Imam Ahmad dalam kalangan ahli fiqh sehingga pernah dipukuli hanabilah di Baghdad.

Imam-imam dalam hadits dan fiqh sangat banyak pada tiga abad pertama hijriyah. Kalau ahli fiqh tentu ahli hadits seperti Al-Auza’i, Ibnul Mubarak, dan Ishaq bin Rahawaih, dan yang paling menonjol dalam hadits belum tentu juga paling menonjol dalam fiqh seperti Syu’bah dan Yahya Al-Qaththan.

Kemudian setiap mujtahid pada tiga abad pertama hijriyah sudah tentu berijtihad dengan berdasarkan ilmu ushul fiqh. Meskipun mereka dikenal sebagai mujtahid tidak berarti mereka punya karangan dalam ushul fiqh. Jadi jangan ditanya tentang mana ushul fiqh mereka?

Selain itu, para imam-imam yang ribuan kali lebih alim dari Ustadz Ahmad Sarwat dan lebih taqwa serta wara darinya mengakui adanya madzhab fiqh ahli hadits. Kok dia justru menafikannya.

Intinya kebenaran tidak dibatasi pada empat imam madzhab saja. Tetapi empat madzhab fiqh yang ada adalah salah satu wasilah bagi kita untuk tafaqquh fiddiin. Pendapatan yang membatasi kebenaran pada empat madzhab saja adalah qaul yang jelas sekali kebatilannya.

***

Bicara hadits maka kembalikanlah kepada para ulama hadits. Mereka adalah kaum yang paling tahu dan paham tentang hadits tiap imam bahkan ruwat-nya. Tak tepat menyebut seorang imam paling top dalam hadits pada masa, generasi, dan tempat tetapi tak mampu menegakkan hujjah atas kesimpulannya.

Sebagai misal, Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagian ulama hadits mendhaifkannya dalam bidang hadits–terlepas kepakaran dan keutamaannya dalam fiqh. Sehingga banyak ulama Hanafiyah yang sewot dengan pandangan sebagian ulama hadits tersebut. Tidak main-main yang menukil hal tersebut adalah Al-Khatib Al-Baghdadi. Sehingga dengan sebab itu Al-Khatib dihujat oleh ulama Hanafiyah dan difitnah dengan fitnah-fitnah yang keji.

Tahukah anda siapakah Al-Khatib Al-Baghdadi tersebut?

Dia adalah imam yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Nuqthah bahwa imam-imam yang datang sesudahnya membebek kepadanya. Ucapan tersebut diakui dan disetujui Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Sedang dalam fiqh beliau adalah seorang faqih yang mutadhalli’ dalam madzhab Syafi’i disejajarkan dengan Imam Al-Baihaqi.

Karena banyak qaul dan ra`yu Imam Abu Hanifah tak jarang idhthirab maka beliau dijarh oleh Imam Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri dalam Ta`wiilu Mukhtalafil Hadiits.

Bicara fiqh maka kembalikanlah kepada imam-imam ahli fiqh. Kalau orang-orang seperti Asy-Syaukani, Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Abdul Hayy Al-Luknawi, dan banyak lagi mengakui madzhab ahlul hadits dalam fiqh dan memandang madzhab mereka lebih dekat dengan kebenaran dalam masalah-masalah khilafiyat maka tak pada tempatnya seseorang menafikan ilmu dan ahliyah mereka dalam fiqh. Apalagi sudah makruf bahwa sejak awal abad pertama hijriyah sudah dikenal madrasah ahlul hadits yang berpusat di Hijaz (Makkah dan Madinah) dan madrasah ahlur ra`yi yang berpusat di Irak (Kufah). Imam Az-Zuhri, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’ib, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Dawud bin Ali Azh-Zhahiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah sedikit dari sederetan ahli fiqh yang berasal dari madrasah ahlul hadits. Sedang Imam Abu Hanifah adalah yang mewakili madrasah ahlur ra`yi.

Hal tersebut sudah makruf dikalangan thullabul ‘ilmi. Bahkan orang yang baru belajar Tarikh Tasyri’ Islami pun tahu.

Tetapi yang sudah dijamin bahwa imam-imam dan mujtahid-mujtahid dari madrasah ahlul hadits aqidahnya lurus-lurus kecuali Dawud Bin Ali Azh-Zhahiri yang pernah mengikuti qaul khalqil qur`aan tetapi sudah rujuk dan taubat darinya. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya banyak qaulnya dalam aqidah yang menyalahi jumhur salaf seperti dalan masalah amal apakah termasuk iman atau bukan, masalah bertambah dan berkurangnya, masalah istitsna dan lain-lain

Kalau benci kepada “Salafiyyun Andunisiyyun” maka bicarakan dengan adil. Kasalahan mereka adalah tanggungjawab mereka. Kalau kemudian menafikan ilmunya Syaikh Bin Baz, Ibnu ‘ Utsaimin, Al-Albani, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dengan kemampuan yang masih dipermukaan maka hal itu seperti burung emprit yang mematuk gunung. Bukan gunungnya yang runtuh justru parunya yang patah dan berdarah-darah.

Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada orang yang sadar atas ilmu dan ahliyahnya kemudian menghormati imam-iman salaf dan sebagian syaikh-syaikh kontemporer yang fatwa dan qaul mereka muktabar dikalangan ulama-ulama sekarang.