Ketika Proposal Itu Diminta

Maka, Arliva akhirnya menyerahkan proposal tanpa foto kepada murabbiyah-ku. Di siang itu, setelah murabbiyah kami menunggunya selama dua hari hingga Arliva siap.

“Fotonya mana?” tanya murabbiyah-ku yang sangat ayu meskipun usianya hampir paruh baya.

“Hmm… Saya tidak punya ummi, nanti saya susulkan saja via email. InsyaAllah.” Jawabnya meski agak heran atas dirinya sendiri. Begitulah, ternyata saudariku ini baru sadar kalau ia tidak punya foto diri, dan dia memang termasuk tipikal yang jarang sadar kamera. Akhirnya saya ingat di dompet saya ada foto 3×4 dengan almamater untuk foto ijazah dan tentunya beliau juga punya.

“Ummi, kalau fotonya seperti ini boleh tidak?” tanyaku padanya.
Seperti biasa, beliau seringkali membalasnya dengan senyum tanpa gigi yang terlihat sebelum akhirnya menyampaikan pendapat.
“Kalo bisa yang satu badan ya. Close up.” Tutur beliau.
“Yang begini saja ya ummi. Saya malu kalau bentuknya seperti itu,” Arliva menawar.

Ummi sepertinya menangkap pesan hati saudari saya itu. Memang sudah menjadi tabiatnya demikian, pemalu kelas tinggi. Mau tidak mau ummi pun sepakat dengan syarat.

“Baiklah Arliva, tapi kalau nanti ada kesempatan, tolong fotonya diperbarui ya. Kan biasanya foto itu ga terlalu jelas berbicara, jadi kalau bisa dibuat sangat mewakili sebagai pertimbangan ikhwannya.”
“Agar tidak ada dusta di antara kita.” Tambahku

Haha… kami tertawa bersama.

Tradisi per-proposal-an ini sudah sekian lama populer di dunia keakhwatan. Karena ini adalah salah satu jalan menuju ridho-Nya yang dirasa paling pas dan aman dari ikhtilat antar lawan jenis. Proses penyampaiannya pun dibantu oleh perantara yang biasanya adalah murabbi.

Proposal itu, salah satu dari ribuan yang beredar, dibuat oleh Arliva selepas sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tahun ini. Beliau mengiringi hari-hari pencarian inspirasi dengan membaca surat Yasin plus terjemahannya serta menghayati maknanya. Meskipun sadar bahwa secara material dan kasat mata, pernikahan mungkin akan datang agak lama, Arliva menunggu masa itu dengan doa.

Kini kesadaran bahwa kelak ia juga akan menikah menguat dalam diri. Kesadaran yang muncul setelah banyak temannya membicarakan tema tersebut,  lalu mencari banyak referensi tentangnya.  Al ukh ahli syuro banyak berdiskusi tentang tema itu, al ukh yang pandai menjahit telah menyusun pola gamis pengantinnya, al ukh yang jago nulis banyak menulis pula tentangnya. Yang terakhir, saudaranya yang satu itu, Ukhtina pemberani sudah menyodorkan proposal ke murabbiyahnya.

Jantung Arliva berdetak kuat. Subhanallah, pekiknya dalam hati. Dan, yang membuat ia terharu adalah ucapan al ukh pemberani itu saat menyerahkan proposal  kepada murabbiyah kami.

“Ummi, kami sudah membuatnya. InsyaAllah kami berupaya bersiap diri. Ini adalah secuil bukti betapa kami tsiqoh dengan ummi untuk mengarahkan bagian dari kehidupan kami selanjutnya.”

Merinding
Kini ia makin bisa merasakan jantungnya berdegup
Tsiqoh,
kata itu… sungguh sangatlah tinggi maknanya

Arliva termangu. Malu, bahkan kata itu diucapkan oleh al ukh yang usianya lebih muda darinya. Sungguh bijaksana sekali. Setelahnya, ada al ukh lain yang menyusul. Arliva makin kagum dengan saudari-saudarinya satu lingkaran itu. Beginilah tarbiyah akhirnya mewarnai mereka. Dan Arliva, sekali lagi, memang sudah menjadi tabiatnya, terdiam, tanpa ekspresi. Hanya ingin merasakan tanpa bicara. Tingkah polah inilah yang sering membuat saudarinya bertanya-tanya dan seringkali pula salah paham. Satu ungkapan baginya yang tak kasat mata, bahwa ‘Perjuangan adalah Melaksanakan Kata-Kata.’ Kata eksotik yang dia dapatkan dari sebuah organisasi kampusnya, tempat pabrik kata-kata yang kadang pabrik itu tidak diawasi apakah benar sudah melaksanakan kata-katanya sendiri?

Bisa jadi, pabrik kata -pengemas aksara itu tidak memahami apa yang mereka katakan sendiri. Arliva, sepertinya larut dalam kata eksotik tadi. Menjadikannya banyak diam tanpa kata. Membuatnya termangu dari tiap peristiwa. Hanya bisa merasa tanpa ingin banyak bertutur kata. Demikianlah, rona hatinya bicara. Dan tentunya, suatu saat nanti, ketika porsi dan waktunya untuk bicara telah tepat, Arliva ingin sekali bersuara berbagi hikmah apapun yang terkumpul pada kantong pencariannya.

Ia makin menyadari tema tahun ini adalah merah jambu. Sangat indah pendarnya. Gradasi warnanya memukau hati yang rindu akan suatu sosok samar yang tak jelas siapa. Fastaqbikhul khoirot menyambut seruan menggenapkan separuh agama terasa kental di sanubarinya. Namun, soliditas tekadnya untuk membersamai teman-temannya belum tergambar nyata. Telah berkali-kali ia membaca contoh format proposal, namun tetap saja belum mendapatkan inspirasi.

Dalam diskusi mereka iapun memilih diam dan menjadi pendengar yang baik. Tentu saja sikap itu memancing  al ukh pemberani naik pitam. “Kenapa sih diam saja. Itu membuat saya tidak nyaman. Saya yakin pasti ada pendapat.” Sanggahnya atas sikap Arliva.

Arliva tidak enak hati. Ia mencoba menjawab semungkinnya agar tidak ada prasangka. “ Afwan sekali, bukan maksud saya. Hanya saja, satu kalimat di sanubari saya,

bahwa masa itu….
bagi saya…..
masih jauh…” jawabnya sepotong demi sepotong
“Saya butuh persiapan banyak. Bahkan, sampai sekarang saya belum membaca buku tentang nikah. Just feeling saja, saya harus banyak berbenah.” Lanjutnya.

Huff… Arliva sedikit lega. Namun, al Ukh sepertinya tidak sepakat. “Ukh, maksud diskusi kita adalah untuk pembelajaran. Bukan masalah cepat atau lambat jodoh kita. Itu urusan Allah. Namun, kita sangat perlu membicarakan ini. Saya sudah biasa menerawang jauh. Dan seringnya saya bisa melihat apa yang seringkali belum bisa dilihat oleh yang lain. Itu yang sering tidak kalian pahami atas saya.” Tukasnya dengan nada menegaskan. Tipikal ahli syuro dan pemberani memang al ukh ini.

Kini Arliva hanya bisa termangu. Baiklah ukhti, saya sangat sepakat antunna begitu visioner. Namun, tentang pernikahan, entah mengapa hati ini masih ingin tenang saja dalam memikirkannya, tidak ingin membahasnya panjang lebar ataupun berkata indah tentangnya. Batin Elvira.

Arliva menerawang. Mencoba mencari bahasa yang paling tepat atas diamnya. Tentu saja dia juga punya pendapat. Tapi ketika pendapat itu disampaikan, malah akan jauh dari alur topik yang dibicarakan oleh saudari-saudarinya itu. Baginya, kunci pernikahan itu sederhana. Yang mungkin berbeda dengan yang lain.

Pernikahan adalah masalah rasa, bukan fikriyah. Bahwa kadang hanya butuh doa di awal sebagai peletup ihkhtiar sebelum merasa telah banyak ilmu terkait tentangnya. Karena pernikahan adalah masalah esensial yang tiap orang berbeda cerita. Bahkan, membaca buku pernikahan hanyalah sekian persen dari persiapan itu. Sangat belum cukup. Lantas pula kita harus memilah mana yang perlu kita tindaklanjuti terkait kesesuaian dengan kondisi kita dan keluarga.

Intinya, Arliva belum ingin membuat bangunan mimpi tentang bagaimana, seperti apa, bisa apa jodohnya nanti. Arliva pun tidak ambil pusing bagaimana jika begini, bagaimana pula jika begitu. Ini pula yang membuatnya heran. Kok hanya segini pemikirannya tentang hal besar bernama pernikahan?

Arliva pun berupaya makin memahami darimana ia harus memulai jika harus berfikir tentang menikah. Hingga, adapula al ukh yang mengatakan, prosesnya tidak seperti yang beliau bayangkan sebelumnya. “Saya ingin merevisi buku yang dulu saya baca. Harus ada buku yang mengungkapkan apa yang kurang ideal. Seperti proses yang saya jalani ini. Ternyata sangat melelahkan” cerita beliau.

Hingga ia lebih memilih bersimpuh menangis tersedu pada sepertiga malam terakhir bulan puasa tahun ini. Ketika itu, ia berkesempatan pulang ke rumah karena liburan panjang yang sangat menggembirakan bagi mahasiswa sepertinya.

Menangis sejadi-jadinya menurutnya lebih nyaman daripada berdiskusi masalah nikah. Karena menurutnya, ini masalah hati. Masalah citarasa. Muaranya adalah pada kemantapan, bukan teori ataupun penampakan kasat mata.  Tentang fiqh-nya, InsyaAllah akan bisa dipelajari setelah hati menerimanya. Sedu sedan tangisnya ia sembunyikan dari tidur ayah ibunya. Doa lirih ia panjatkan malam itu, saat. Arliva hanyalah seorang pemalu yang sangat takjub dengan upaya teman-temannya.

Bisa jadi yang menikah dulu adalah Al Ukh  ahlul syuro itu, yang begitu kuat pendapatnya. Hmm, bisa jadi pula Al Ukh yang pandai memasak dan menjahit, sedang parasnya sangat cantik merona. Atau, pikirnya, Al ukh manis kekanakan yang sangat pandai mempertahankan indeks prestasinya pada jajaran mahasiswa cumlaude. Atau, bisa jadi murabbiyah-nya memprioritaskan Al Ukh yang lebih tinggi usianya. Hmm, bisa jadi mereka-mereka itu. Jadi, masa Arliva masih jauh.

Enam halaman hasil perenungan berisi data singkat dan uraian cerita pada halaman kelima dan keenam sebagai modal menuju Ridlo-Nya.

Ya Allah, sungguh aku hanyalah wanita sederhana yang sepertinya, setahu saya tidak punya kelebihan menonjol
Engkau yang paling tahu simpuhku pada-Mu tiga tahun lalu
Engkaulah yang memahami sedu sedan tangisku tempo dulu
Bahwa aku ingin di sini karena dakwah kepada-Mu. Aku ingin kuliah di sini karena-Mu Ya Allah. Karena ini adalah muara segala masalahku saat itu.
Hingga Engkau memberikan nikmat-Mu yang sangat agung kepada salah seorang hamba-Mu ini
Ya Allah, segala dayaku telah aku kerahkan untuk menuju ridlo-Mu. Namun, ternyata di sini sangat lain dengan tempatku sebelumnya.
Ya Allah aku sangat ingat akan kata-kata seniorku. Pertahankan akademis dengan raih IP 3. Pokoknya minimal 3 dan carilah medan dakwah seluasnya. Jadilah petarung dalam dakwah-Nya.

Dan kesalahanku adalah, atas ketidaksyukuranku, atas kebodohanku, aku akhirnya salah memahami kata itu. Hingga aku puas dengan IP 3 koma dan meninggalkan persaingan meraih yang lebih baik. Sungguh, aku merasa jauh dari syukurku atas jalan yang telah kau tetapkan Allah, karena saat itu, jalanku bersyukur seharusnya adalah memperjuangkan apapun yang bisa diperjuangkan. Poin inilah salahku Ya Allah. Bukan tentang hasil yang kuraih, namun sikap hatiku.

Aku berlindung kepada-Mu dari segala tindakanku yang berlebihan. Ampuni aku Ya Allah
Sakit hati ini, jika salah seorang yang mengatakan berdakwah di jalan Allah namun lalai dari kewajiban.
Lalai dari belajar
Hingga semua itu melemahkan aku dengan sendirinya
Tapi, Allah, bolehkah aku membela diri?
Semua itu, yang dulu kulakukan adalah untuk-Mu Ya Allah, bukan karena malas
Ups…mungkin ada malas. Tentu saja ada….
Tapi sedikit Ya Allah, atau mungkin yang sedikit bagiku itu banyak bagi-Mu Allah?
Pliss…ampuni aku. Bukankah ampun-Mu lebih besar dari dosa hamba-hamba-Mu? Maka tujukilah aku jalan untuk memperbaiki diri ya Allah

Arliva menyeka tangisnya

Ehmmm… Ya Allah jika, memang menikah adalah jalan memperbaiki diri yang paling ampuh. Jika memang menikah adalah solusinya, meski aku belum banyak paham; Tentu saja Engkau akan memudahkannya bukan? Membuka jalan yang sebelumnya tampak tertutup, bahkan Engkau akan memberi sesuatu yang tidak terduga. Ampuni aku Ya Allah…. Plizzz….

Dan…. Arliva tertidur… Plizzz Ya Allah… Plizzz… Matanya terpejam dengan suara yang makin lirih.

Dua pekan setelahnya. Di atas bus yang mengantarkannya kembali ke kampusnya, sebuah pesan singkat di handphone-nya ia baca.

Assalamualaykum wr wb. Arliva, afwan bisa kita bertemu besuk pagi? Sekalian proposalnya dibawa ya
Arliva membalasnya.  Afwan ummi, maksudnya bagaimana? Proposal? Saya takut saya ke GR-an ummi. Jadi tolong dijelaskan lebih banyak ya ummi.

Beberapa detik kemudian, Umi menanggapi. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Menurut saya sudah sangat jelas. Datang saja besok ya, di tempat yang telah saya sampaikan tadi.

Inikah cobaan atau inikah kebaikan yang banyak dari-Nya? Hanya Allah yang Maha Tahu. Dan, Alvira mencoba menepati janjinya itu.

Ketika Proposal Itu Diminta (Bag. 2)