Ku Ingin Allah yang Mengirimkannya Untukku

“Wah.. Kakak kalah nih sama adek Shinta. Shinta dah berani bawa calon ke rumah. Kakak kapan?”, demikian seloroh seorang ibu kepada anak perempiuannya dengan nada menggoda.

Sang anak terdiam sejenak, walau senyum tetap mengembang di sudut bibirnya. Senyum yang sebenarnya menyiratkan selaksa emosi. Merasa lucu, sedih, bahagia, harap dan cemas. Tak langsung menjawab pertanyaan itu, karena hatinya berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menyampaikan maksudnya kepada Sang Ibu. Kejengkelan, kemarahan, dan keketusan tentu saja tidak akan mampu memahamkan Sang Ibu pada konsep hidup yang ada dibenaknya sekarang. Lama ia terdiam (tetap dalam senyum).

Sang anak teringat pertahanan yang dibangunnya di awal-awal ketika ia menemukan kesempurnaan Islam yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya konsep pembangunan kembali peradaban Islam yang agung. Konsep yang membuatnya tergugah untuk menjadi salah satu arsiteknya, bahkan meng’azzamkan diri untuk itu. Islahu An-Nafsi, itulah metode awalnya, kemudian Takwin Bait Al-Muslim, Irsyad Al-Mujtama’, sampai di akhirnya ustadziyyatu Al-’Alam. Islam yang mampu membuat masa remaja (baca: puberitas) terarah dengan baik, terbimbing dan lebih bermanfaat. Walau untuk itu pertarungan antara nafsu jahiliyah dan nafsu mutmainnahnya tak jarang membuatnya insomnia, air matanya terkuras, hatinya terkikis, apatah lagi ‘perseteruan’ dengan orang-orang terdekatnya yang mungkin kaget dengan semua prinsip yang tiba-tiba berubah dan tak sejalan dengan mereka.

Ia masih saja diam. Sementara sang Ibu menanti, kira-kira kata apa yang keluar dari mulut anak perempuannya.

Dan ia terus berpikir. Ini bukan pertanyaan pertama tentang hal yang sama yang ia hadapi, namun ini berbeda. Karena yang menanyakannya adalah Sang Ibu yang ini adalah kali ketiga beliau bertanya. Walau sebelumnya telah ia katakan pada ibunya dengan nada bercanda bahwa ia ingin Sang Ibu lah yang menemukan kepingan hatinya yang lain.

Tulisan mas Yudi kembali tertata indah di pikirannya:

Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.

Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholih terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholihah.

Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga.

Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholih, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.

Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan.

Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada Sang Khaliq, karena secuil musibah yang ditimpakan padanya.

Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman..

Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah, untuk membuktikan cintanya pada Allah.

Hatinya berbicara.. Mengalir tak terbendung..

“Ibu.. Bagiku pernikahan itu bukanlah sekedar ucapan ijab qabul “saya terima nikahnya..”, “sah..?? Sah.. Sah..”. Bukan sekedar upaya untuk menghalalkan hubungan sepasang anak manusia yang kemudian melahirkan keturunan untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Juga bukan sekedar memenuhi kerinduan ayah ibu untuk menimang cucu. Pun juga bukan sekedar untuk menepis pandangan orang-orang. Dan juga bukan sekedar pelepas tanya, “Udah punya suami..?”. Tidak..  Tidak sesederhana itu bagiku..

Bagiku, sesuai pemahamanku sekarang, pernikahan adalah penyatuan dua keluarga untuk menambah kekuatan dan tenaga demi tegaknya kembali peradaban yang agung dan mulia ini. Adalah penghimpun daya dan upaya untuk saling menguatkan pondasi peradaban yang kita bangun. Adalah untuk memperluas ladang amal, menyebarkan nilai-nilai Islam yang indah dan sempurna. Adalah untuk memperbanyak pekerja-pekerja peradaban sesuai spesialisasinya masing-masing. Adalah untuk mendesign metode iqomatuddin dien dimulai dari negara kecil sediri, yaitu keluarga. Adalah untuk melahirkan mujahid-mujahidah yang akan menyinari dunia ini dengan cahaya islam yang benderang, bahkan lebih benderang dari matahari di siang bolong. Menciptakan cendikiawan muslim yang mengharumkan agama ini hingga ke pelosok-pelosok negeri, hingga tak ada lagi wewangian yang lebih wangi dari Islam itu sendiri. Menciptakan para negarawan sholih dan sholihah yang menegakkan keadilan, kebebasan dan ketenangan didalam sebuah negara di bawah naungan Islam yang hanif. Juga untuk melahirkan para penduduk syurga, mereka yang syahid dijalan-Mu.

Aku ingin menjadi Al-Khansa’ berikutnya, Ibu. Al-Khansa’, ibunda para syuhada..

Dan untuk itu, tak kan ibu temukan aku membawa laki-laki ke rumah kita. Tak kan ibu temukan aku mengatakan, “Perkenalkan, ini teman laki-lakiku”. Dan tak kan ibu temukan aku bermalam minggu dengan laki-laki yang bukan muhrimku. Tak kan ibu temukan pada diriku insyaAllah. Karena cita-citaku itu, meminta pengorbanan yang lebih dan lebih dari diriku. Karena cita-citaku itu, tak kan pernah ku dapatkan dengan mudah, kecuali dengan perjuangan total dari diriku hingga Allah merasa aku pantas mendapatkannya.

Bersabarlah ibu.. Tenanglah.. Karena ku ingin mempersembahkan syurga bagimu, bagi keluarga ini..”

Kata ini yang diucapkan sang anak dalam hatinya, berharap Allah kan menelepatikan pada Sang Ibu. Karena ia berbicara dengan hatinya, dan akan sampai pada hati pula. Hingga akhirnya ia berkata..

“Biarlah Ibu.. Karena aku ingin Allah yang mengirimkannya untukku.. Langsung dari sisi-Nya..”

 

Oleh: Dheka Aryasasmita Suir, Padang-Sumatra Barat

FacebookBlog