Masih Selangkah Lagi, Cinta

Gadis itu terus menunduk, seolah berat untuk mengangkat kepalanya. Di sebelahnya duduk ayahandanya, wajahnya terlihat berbahagia. Aku duduk di hadapan gadis itu, bersebelahan dengan seorang lelaki muda, adik kelasku kala kuliah dulu. Ali, lelaki di sebelahku itu lah yang membuat ayahanda si gadis nampak bahagia. Ali adalah calon suami sang gadis, kedua keluarga telah menyepakati pernikahan mereka, tanggal dan tempatnya.

Mungkin ada lagi yang ingin dibicarakan Mas?” tanya si Bapak kepadaku.

“Mungkin dik Ali pak yang mau bicara, tugas saya cuma nganter Ali saja kok Pak, insyaallah sudah tidak ada lagi yang ingin saya sampaikan.”

“Nak Ali, ada lagi yang mau dibicarakan? Mungkin mau ngobrol apa aja, terserah deh, toh masalah lamaran sudah selesai dibahas semua, sudah diterima dan disepakati.

“Ndak ada Pak.” Ali menjawab dengan padat dan singkat, suasana ini membuatnya begitu kaku.

“Ya sudah, Eva saja… Ayo nduk, ngomong dong, dari tadi diem aja.”

“Nggak Pak.” Wajah Eva masih tersembunyi, tertutup bayangan jilbabnya.

“Ayolah nduk, ngomong opo ngono lho!” (Ayolah nduk, ngomong apa aja gitu lho)

Kali ini Eva merespon, ia tak tahan dengan desakan ayahandanya. Ia pun angkat kepalanya yang terbungkus rapi dengan jilbab lebar. Tatapannya tajam, melewati kepalaku dan Ali, langsung menuju tembok di belakang kami! Tak ada seorangpun yang dipandangnya, kecuali dinding kosong itu. Raut mukanya begitu serius, seolah marah!

“Saya harap, ketika menikah nanti, Mas Ali tahu tujuan kita! Kita menikah di jalan dakwah, dan harus menjalaninya di jalan dakwah dengan istiqomah!” Suaranya tegas, dan begitu tertata. Tidak ada kesan malu-malu atau rasa pasrah. “Jangan sampai setelah menikah kita melupakan dakwah dan melenceng dari jalan ini! Banyak saudara-saudara kita yang menjadi kendur dakwahnya setelah menikah, dan saya sama sekali tak menginginkan itu terjadi jika nantinya kita benar-benar menikah!”

Suasana seketika menjadi hening, kata-kata yang tegas dari seorang gadis mencekat ketiga lelaki di ruang tamu itu. Kata-katanya seolah menyerang, aku, Ali dan si Bapak pun seakan petarung yang terjengkang tanpa sempat berkuda-kuda. Sedetik, sepululuh detik, kami tak tahu harus menanggapi ketegasan Eva dengan kata-kata macam apa lagi.

“Ya, betul itu, jangan sampai amanah dakwah tertinggal setelah menikah, malah harusnya semakin meningkat kualitasnya,” aku pun membenarkan perkataan Eva dengan jawaban yang normatif, tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.

* * * * *

Bis melaju membelah malam, meninggalkan Jember menuju Denpasar. Kami memburu pesawat terbang yang dijadwalkan esok siang, menuju Flores, tempat Ali bertugas sebagai PNS.

“Waktu kuliah dulu dia ndak gitu kok anaknya, Mas.” Ali membuka pembicaraan tanpa menyebutkan siapa yang dibicarakannya. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin sedikit trauma dengan sikap yang diterimanya dari calonnya.

“Ya, kaget juga sih, kok bisa dia berbicara selantang dan setegas itu, berbicara dakwah di depan bapaknya yang tampak kebingungan,” aku menangkap apa yang maksud pembicaraannya. “Tapi, dia hanya menjaga izzahnya, insyaAllah ntar setelah nikah nggak gitu kok. Justru harusnya seperti itu, kamu masih bukan siapa-siapanya sekarang.”

Bus melaju membelah malam, dengan penumpang yang sudah terkantuk-kantuk, bahkan tertidur. Dan hari itu aku mendapat pelajaran baru, perempuan yang menjaga kehormatan dan harga dirinya akan melakukan segala cara untuk melindungi harta berharganya.

Ketika banyak perempuan luluh di hadapan pria yang tak menghargainya melainkan sebagai bagian dari permainan zaman. Perempuan perkasa justru menentang goda hatinya dengan ketegasan.

Seorang lelaki yang datang melintasi beberapa pulau untuk menemuinya, justru dihadapi dengan muka yang tak terlalu ramah. Mungkin ia tahu apa yang dirasakan sang lelaki yang lelah usai menempuh perjalanan sejauh itu, kelelahannya, harapannya untuk diterima dengan ramah, pengorbanan meninggalkan hari-hari kerjanya, demi menemuinya. Namun bukan saatnya berlunak hati, belum saatnya. Tak ia biarkan nafsu membonceng hatinya yang lemah, sebab sang lelaki masih selangkah lagi, sebab perasaan itu masih selangkah lagi. Dan tak akan ia biarkan langkah yang masih tersisa itu gagal, ia ingin izzahnya sempurna hingga langkah terakhir, hingga perasaan itu dihalalkan baginya.

Dan sungguh beruntung lelaki itu.