Menggugat Rasa Futur, Siapa Yang Harusnya Disalahkan?

Remaja yang beranjak dewasa itu tiba-tiba terpuruk. Mereka tersisihkan dari arena pertandinagan. Tak seperti biasanya, karena dalam kesehari- hariannya padahal mereka pemuda-pemuda tangguh yang sipa mewarnai peradaban nusantara ini. Namun apa di kata, ibarat api yang berkobar melahap setiap barang yang di temuinya, maka seperti itulah derap langkah pada awalnya. Namun, sungguh miris karena pada akhirnya melemah seiring berjalannya waktu seperti api yang padam meniggalkan sisa abu yang mudah di terpa angin ke mana saja.

“Sakana ba’da hiddatin wa fattarahu taftiiyan.”

Kata futur dalam konteks kalimat di atas menunjukkan makna diam setelah bersungguh-sungguh dan lemah atau melempem setelah keras.

Begitulah perubahan kondisi yang terjadi pada mereka anak-anak bangsa yang membuat banyak orang berharap akan tibanya angin segar, terutama bagi kalangan pemuda masa kini yang sedang mendekati jurang hedonisme.

Yang dari Semangat menjadi lemah, kencang menjadi lamban, kuat menjadi lembek, panas mejadi dingin, tajam menjadi tumpul. Itu semua adalah kondisi-kondisi perubahan yang akan membawa mereka kepada titik kefuturan. Akan tetapi kalau semenjak awal mula sesuatu itu sudah lemah dan tetap “konsisten” pada sifat tersebut sampai akhir hayat perjalanannya maka itu bukan sebuah sifat kefuturan melainkan “kaslan murakkab” yaitu kondisi dimana sifat kemalasan senantiasa dipelihara oleh si empunya.

Kondisi futur seperti ini sebenarnya memang sangat melekat dengan sifat kepemudaan kita. Seperti halnya sifat penuh semangat, jiwa yang bergelora, dan amarah yang meledak-ledak demikianlah halnya dengan sifat futur senantiasa meliuk-liuk bergelora pada jiwa kepemudaan kita.

“Mutiara yang terbenam di balik kefuturan kita.”

Saya sengaja menganologikan sifat futur dengan mutiara dikarenakan mutiara identik dengan kelangkaannya dalam pandangan kasat mata. Mutiara sebagaimana kita ketahui terletak di dasar samudera luas. Maka, butuh keberaniaan sekaligus kejelian untuk dapat merengkuhnya. Demikain pula dengan mereka yang sedang mengidap “penyakit”  futur. Kalau seandainya kita perhatikan makna futur yang telah saja jelaskan tadi dimana sifat futur datang setalah sifat yang berlawanan dengannya seperti rajin menjadi malas, keras menjadi lembek, kuat menjadi lemah dll. Maka coba kita perhatikan dengan baik, di mana sebelum mengalami gejala kefuturan maka ada sifat positif  atau yang saya istilahkan mutiara yang jarang di perhatikan oleh kebanyakan dari kita. Rajin, semangat, kuat itu semua sifat-sifat yang awalnya menggambarkan tonggak perjalanan setipa hasil-hasil positif.

Maka yang perlu kita tekankan adalah bagaimana mempertahankan sisi positif yang muncul sebelum sifat futur. sehingga mengalami proses yamg lebih panjang, itu sebenarnya bukan sebuah resep untuk menghilangkan sifat futur karena futur itu sendir adalah fase alamiah di mana setiap individu akan mengalaminya. Selain menberikan durasi yang lebih panjang pada sifat positif tersebut kita juga perlu menganalisa motif-motif yang muncul dari sebuah gerakan perubahan yang di dalamnya ada fase kefuturan. Adakalanya motif itu muncul karena hal-hal yang positif namun adakalanya juga semangat itu muncul di awali dengan langkah negative seperti balas dendam dll. Maka jika di awali oleh energi negatif maka letak kunci intinya adalah perlunya pergeseran niatan untuk kembali pada jalur yang positif.

Mungkin diantara kita pernah atau sering mendengar di berbagi media eletronik maupun surat kabar tentang seorang pemuda yang melakukan bom bunuh diri dan acapkali tindakan tersebut di atas namakan agama. Padahal pemuda tersebut belum sampai memahami ajarannya dengan sempurna sehingga dengan pemahamannya yang sepotong-potong tapi dia sudah merasa ‘berhasil’  mendapat pembenaran atau ‘motivasi’ untuk melenyapkan ribuan nyawa yang tak berdosa.

Dari gambaran kejadiaan di atas ada sebait hikmah yang bisa kita masukkan dalam tulisan yang bertema menggugat kefuturan ini. Dimana seorang pemuda yang memiliki semangat yang tinggi namun berakhir dengan penyakit kefuturan yang abadi yaitu mati. Ada gelora semangat pada aksi si pemuda tersebut namun cukup disayangkan pemuda tersebut tidak mempunyai kesabaran untuk mengelola semangat tersebut dengan cara mempelajari ilmunya dengan kaffah. Hal tersebut pada akhirnya mengakibatkan semangat yang dimilikinya tidak berefek pada dirinya apalagi orang di sekitarnya.

Sebenarnya futur bukanlah musuh, melainkan tempat untuk beristirahat sejenak. Futur kadangkala menjadi sebuah teguran akan langkah yang sedikit menyimpang. Futur bisa juga menjadi terminal evaluasi bagi umur kita yang telah kita habiskan. Futur akan menjadi mutiara yang sempurna jika kita bisa menyentuh tepat pada titik kefuturan tersebut. Karena letak kefuturan itu pada diri sendiri maka tulisan ini sebenarnya tak bisa memberi banyak saran atas kefuturan anda. Karena bagi saya adalah futur jenak-jenak kehidupan yang perlu di kelola sebijak mungkin sehingga menghasilkan batu mutiara yang lebih gemilang.

Oleh: Ma’rifatullah, Jakarta Timur
Facebook