Menyambut Kelahiran Cicit Musholla

Penulis bukan ingin bernostalgia ke masa lalu. Kapasitas penulis sendiri tidaklah pantas untuk sekadar bernostalgia atau berbicara tentang; mengutip pesepak bola nasional, Bambang Pamungkas; “Zaman Om dulu” Penulis hanya bermaksud melihat kaca spion sejarah untuk bercermin pada masa lalu agar bisa menjadi awalan dakwah untuk tancap gas dan melaju pesat. Sir Muhammad Iqbal pernah berkata, “Sekali lagi kita mesti memandang masa lalu karena kita mesti berpikir lagi”. Untuk itu mari sejenak menatap sekilas ke belakang untuk kemajuan ke depan.

Karena hari ini adalah hari kelahiran Cicit Musholla. Dia yang masih lugu harus berhadapan dengan dunia yang informasinya begitu banyak dan serba cepat. Dia yang baru bersentuhan dengan dakwah juga harus “bersentuhan” dengan boyband dan girlband yang bertebaran. Tetapi, dia juga adalah harapan ummat. Dia pula yang akan membawa dunia ke perubahan menuju kebaikan. Dialah Cicit Musholla, yang kalau boleh penulis menyebutnya sebagai, generasi kelima dakwah.

Mengapa dia dinamakan Cicit Musholla? Di sini penulis mulai mengajak melihat kaca spion kereta dakwah kita. Dekade 1980-an yang dikatakan sebagai periode dakwah tarbiyah masuk ke Indonesia telah melahirkan para syaikh dakwah atau para Kakek Musholla sesuai dengan arti harafiahnya bahwa syaikh adalah tetua. Di era ini tantangan yang dihadapi mereka adalah represifnya penguasa ketika itu sehingga dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan dari sesamanya atau dari akar rumputnya adalah generasi heavy-metal dan generasi pop electric, yang mana generasi dakwah pertama belum bisa menyentuh mereka karena sasaran dakwah masih sangat-sangat terbatas.

Periode 1990-an awal, yang melahirkan Abi-Ummi Musholla. Tantangan yang dihadapi masih sama bahkan represifnya penguasa semakin menjadi. Mungkin penguasa saat itu sudah meramalkan bahwa kekuasaan mereka sebentar lagi akan runtuh dan penyebabnya adalah dakwah yang mereka anggap sebagai musuh. Tantangan semakin bertambah dengan mulai adanya revolusi informasi di mana televisi swasta mulai ada. Informasi dan hiburan lewat layar kaca ketika itu tidak lagi dimonopoli negara tapi pihak swasta dibukakan keran kebebasan walau masih tetap ada pagar-pagar yang membatasi informasi. Lalu, dari sesamanya adalah generasi grunge, punk, pop, rock yang biasa juga disebut “Generasi MTV” Lagi-lagi dakwah belum juga bisa menyentuh mereka karena kekentalan para Bapak-Ibu Musholla masih kuat dan belum menyasar ke segmen ini. Tetapi, sudah ada alternatif dan solusi yang ditawarkan generasi kedua dakwah yakni nasyid. Ketika generasi MTV saat menonton konser musik mengibarkan bendera lambang grup band yang tampil semisal Guns N’ Roses atau Nirvana, maka, generasi kedua dakwah mengibarkan bendera Palestina dan atau bendera bergambar mujahid Afghan, Cechnya dan Palestina ketika ada konser nasyid.

Kemudian, selepas reformasi tahun 1998 penguasa yang telah memimpin negeri ini selama 32 tahun jatuh. Dakwah tentu saja tidak ingin tinggal diam setelah merasa berhasil menawarkan solusi alternatif di kalangan anak muda, dakwah ingin mencoba memberikan solusi permasalahan negara. Maka, lahirlah generasi ketiga dakwah; yakni Anak Musholla, yang mulai berpartai, mulai mengisi pos di negara. Dengan sendirinya tantangan yang ada adalah kesiapan generasi ini untuk mengisi pos-pos negara yang strategis. Anak Musholla sudah terpatri dalam hati di banyak mahasiswa kampus-kampus negeri, sudah tersimpan di memori setiap kepala siswa sekolah yang merasakan ROHIS di sekolahnya melakukan kebaikan di seantero sekolah.

Pertengahan 2000-an atau tepatnya 2004, partai yang dilahirkan dari rahim tarbiyah mendapatkan prestasi yang membanggakan yakni dipercaya untuk banyak menempati kursi-kursi di dewan serta beberapa menteri. Tak pelak ini berarti Kakek Musholla, Bapak Mushola, Anak-Anak Musholla memang sudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas. Namun, yang perlu diingat adalah with great power also must come great responsibility and great obstacle. Semakin tinggi pohon semakin kencang angin. Tantangan yang ada justru semakin bertambah, bagaimana narasi-narasi solusi Islami ketika belum mengisi pos negara bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Pun alternatif untuk anak muda semakin banyak. Nasyid tidak lagi hanya accapela yang cenderung membosankan tetapi sudah mulai diramu dengan musik bahkan beragam aliran musik dari mulai pop hingga punk. Ini sekaligus juga menandai lahirnya Cucu Musholla, sang generasi keempat dakwah. Penulis sendiri kalau boleh menyimpulkan lahir pada masa ini.

Para Cucu Musholla sudah dihadapkan pada kesejahteraan dan keterbukaan. Mereka tidak lagi harus berdakwah secara sembunyi. Banyak bapak-ibu mereka bilang, “Sekarang sudah enak, sudah bebas maka manfaatkanlah hal tersebut, Nak!” Namun, justru karena keterbukaan dan keenakan itulah bisa jadi para Cucu Musholla terlena dengan keadaan. Mereka, kalau dibandingkan dengan ayah-ibu mereka, bisa jadi kurang militan walau memang bisa dikatakan sekarang sudah bukan zaman perang. Pun Likulli marhalatin rijaluha, pada setiap masa ada pemudanya. Mungkin memang bukan pemuda prajurit perang yang dibutuhkan tetapi pemuda peneliti ilmu yang dibutuhkan kemudian.

Kita mulai masuk ke masa kini, dekade 2010-an, tahun 2012. Dakwah sudah mulai merambah di mana-mana. Dari mulai tukang becak hingga pejabat negara. Ada Kakek Musholla di pusat pemerintahan, ada Bapak Musholla di kantor perusahaan, ada Anak Musholla di televisi dan ada para Cucu Musholla yang tersebar di mana-mana. Lalu di manakah Cicit Musholla? Seperti yang sudah dikatakan di atas dia baru saja terlahir. Lahir di tengah gempuran budaya. Dari kebudayaan Barat, kebudayaan Asia (Jepang dan Korea) sampai kebudayaan bangsa ini sendiri yang bermacam-macam. Bisa jadi dia bingung. Seringkali dia galau. Maka, tugas kitalah generasi sebelumnya untuk membimbing dia. Hanya itu? Tentu tidak, karena Cicit Musholla yang masih hijau boleh jadi masih mengidolakan boyband atau girlband maka bukan kita larang tetapi kita arahkan. Mana tahu dia akan membentuk boyband yang menyiarkan dakwah. Karena dahulu, siapa pula yang menyangka bahwa rap dan punk pun bisa digunakan untuk berdakwah? Pun dahulu ada sebuah grup nasyid yang personilnya merupakan mantan coverboy yang membentuk boyband dan ketika tercelup dakwah mereka beralih menjadi grup nasyid.

Tentu masih banyak yang harus kita persiapkan untuk menyambut kelahiran generasi kelima dakwah ini, para Cicit Musholla tersebut. Belum lagi kalau ada diantara kita yang masih harus memperbaiki dirinya sendiri atau belum selesai dengan dirinya sendiri walau sebenarnya memperbaiki diri adalah pekerjaan seumur hidup. Yang jelas generasi kelima dakwah ini sekali lagi penulis katakan amat rentan karena mereka akan langsung mengenal Facebook, Twitter, Instagram dan berbagai media sosial lain yang kalau mereka belum bisa membuat filter diri, maka bersiaplah dengan generasi dakwah yang semakin menggalau nan labil. Apakah kita mau para Cicit Musholla ini terus menggalau dan labil tidak jelas? Tentu semuanya akan berkata tidak, karena yang kita semua harapkan adalah generasi penerus dakwah atau Cicit Musholla yang punya prinsip, teguh, militan serta cerdas. Wallahu’alam bish showab.

Oleh: Johan Rio Pamungkas, Jakarta
Facebook – TwitterBlog