Menyulam Langit

“Satu-persatu, mulai kusulam langit demi langit dengan benang harapan”

21 November 2011

“Memang kamu bisa menulis? Lulusan D3 yang tidak ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis memang bisa?!” tanya ‘ragu’ yang tiba-tiba menyelinap dalam hati.

Mendapat pertanyaan begitu, aku hanya mampu tersenyum pahit. Perlahan, kujatuhkan kedua mata sipitku pada hamparan awan di atas sana. Pada awan-awan yang menggantung, pada sinar mentari yang kian tertutupi kelabu, juga pada rinai hujan yang mulai menggelayut mesra di antara dedaunan.

Seolah tak merestui aku untuk menjawab, ‘ragu’ terus menghujani aku dengan pertanyaan serupa,

“Memang kamu bisa? Memang kamu bisa?!”

Dengan gamang aku sedikit membenarkan pertanyaan itu: “Apakah aku bisa meraih langitku?” Yang menjawab hanya bunyi rintik hujan yang dengan lembut mengusapi tanah sedari tadi.

Impianmu itu cuma khayalan, jauh dari kenyataan!”, ujar ‘ragu’ merendahkan.

 

Impian? Khayalan?

”Perbedaan antara impian dan khayalan adalah bahwa mengkhayal melibatkan kemalasan, dimana seseorang tidak berusaha ataupun berjuang (untuk yang dia inginkan). Impian, akan mengharuskan seseorang berjuang, usaha dan tawakal. Yang pertama ibarat berharap tanah akan membajak dan menanam sendiri untuknya. Sedang yang kedua benar-benar membajak, menanam dan berharap tanaman tumbuh.” (Ibnu Al Qayyim)

Ya, bagaimana dulu orang-orang berharap agar bisa terbang melayang di udara, dan nyatanya Wright bersaudara berhasil mewujudkannya itulah karya dari sebuah impian. Bagaimana seorang Alexander Graham Bell mampu menembus tembok “ketidakmungkinan” dengan melahirkan telepon sehingga kita bisa bercengkrama dengan orang yang kita cintai meski terpisah oleh samudera dan benua itulah hasil dari impian.

Aku bertekad untuk mengapai langit-langitku. Menggapai mimpi-mimpi yang telah aku sematkan dalam dunia bernama jiwa. Aku akan bungkam semua keraguan. Lalu, melalui sayap-sayap “percaya” yang terbentang lebar, aku akan terbang meretas langit menggapai gemintang di angkasa. Pasti bisa!

Dan jika sekali waktu ‘ragu’ berkata padaku, “Bermimpi besar hanya akan membuat kekecewaan besar, sudah menyerah saja!”. Maka dengan semangat menggelegak aku akan menjawab, “Mimpi besar perlu persiapan besar dan orang besar untuk meraihnya, aku akan menjadi sebesar mimpiku

“Kita tidak boleh meremehkan mimpi seseorang apalagi meremehkan mimpi kita sendiri, seberapapun besar mimpi itu, sungguh Allah Maha Mendengar.” (Kutipan)

Aku pun tak perlu cemas dengan masa depan, karena ada Allah yang menggenggam erat diriku. Kalaupun nafasku terhenti ketika aku berjuang menggapai mimpiku, maka aku ikhlas. Memang ‘kehidupanku’ terbatas, tetapi mimpiku tidak terbatas. Aku percaya, bahwa kehidupanku terhenti, ketika aku sudah tidak lagi bermimpi. Dan harapanku berakhir, ketika aku berhenti untuk percaya.

“Kuberi satu rahasia padamu kawan., buah paling manis dari bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya.” (Andrea Hirata)

Ah, satu-persatu, mulai kusulam langit demi langit dengan benang harapan. Mulai kurajut mimpi demi mimpi. Meski dalam menggapainya membutuhkan waktu yang panjang, maka aku akan berjuang. ”Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”, begitu pungkas Imam Syafi’i.

Tangis langit pun reda. Begitu pula dengan tanya ‘ragu’ yang sedari tadi bergema di relung hati. Menjadi penulis hebat adalah salah satu mimpiku, dan mimpi-mimpiku adalah langit-langitku. Aku akan membuat langit-langitku bertaburan dengan bintang. Membuatnya menjadi langit terindah yang pernah ada.

 

Oleh: Mas Mochammad Ramdhani, Bandung