Perbankan Syari’ah Tetangga: Pelajaran Berharga

Beberapa waktu lalu kami, Bang Cecep, Mbak Nyimas dan saya, dikunjungi 2 dosen dari University of Malaya, Kuala Lumpur. Sebelumnya saya diberitahu oleh Bang Cecep kalau ada dua alumni IIUM, Malaysian Citizen yang ingin silaturahim, dan ketika berjumpa barulah saya tahu selain memang beliau berdua alumni IIUM (Universiti Islam Antarbangsa, UIA-biasa kami menyebutnya), mereka juga merupakan staf pengajar di UM-KL. Maksud mereka berkunjung adalah untuk melakukan wawancara seperti apa pelaksanaan Islamic Auditing di industri perbankan syariah Indonesia.

Yang menarik perhatian saya bukanlah proses islamic auditing itu, tetapi  informasi yang kami dapatkan. Beberapa style pengaturan perbankan syariah di Malaysia dilakukan oleh bank sentral yaitu Bank Negara Malaysia (BNM). Saya dengan sengaja ikut menggali informasi tersebut karena memang selama ini informasi terkait itu (best practices) sukar didapatkan.

Informasi pertama yang menarik adalah kebingungan para akademisi memahami produk-produk perbankan syariah Malaysia, bahwa produk tersebut berbeda dengan konvensional, khususnya ketika dilihat dari sisi pandang ilmu akuntansi. Prinsip bahwa produk keuangan/perbankan syariah harus memiliki underlying transaction menjadi sukar dipahami untuk produk-produk perbankan syariah Malaysia, karena memang underlying-nya hanya terkesan mem-benchmark saja. Contohnya, produk mutakhir kijang emas (mungkin sama dengan produk murabaha emas di Indonesia), seorang nasabah yang ingin membeli hanya mendapatkan sertifikat kepemilikan sesuai jumlah yang ditransaksikan (ukuran yang digunakan adalah jongkong emas, dimana 1 jongkong sama dengan 100 gram), sementara ada tidaknya emas itu tidak jelas, karena jual-beli selanjutnya cukup menggunakan sertifikat tersebut.

Praktek serupa juga dilakukan pada beberapa produk klasik seperti murabaha atau bahkan produk sukuk di pasar keuangan. Sehingga disimpulkan bahwa kebanyakan produk perbankan syariah Malaysia bersifat paper based product. Hal ini diakui kedua kolega dari Malaysia ini, karena kondisi tersebut menyulitkan mereka dalam mengajarkan keuangan Islam dimana prinsip-prinsipnya secara substansial berbeda sekali dengan praktek yang dilakukan oleh industri. Terlebih lagi akuntansi (syariah) sebagai ilmu terapan (applied sciences) memang harus sampai pada teknis penerapannya, dan akan menjadi tidak lucu kalau pada penerapannya tidak ditemukan perbedaan antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional dalam mengenali praktek keuangan syariah dengan keuangan konvensional.

Informasi kedua yang tidak kalah menarik adalah kontribusi akademisi yang minim dalam memberikan masukan, usulan dan kritik pada pengembangan dan pengaturan perbankan syariah Malaysia. Selain karena media atau forum yang disediakan terbatas, style bank sentral yang begitu dominan membuat peran akademisi bersifat selected bagi mereka yang memang mendukung arah dan orientasi kebijakan pengembangan bank sentral (pemerintah?). Di Indonesia kondisi ini sudah sejak awal dihindari, atau bahkan dapat dikatakan bahwa pengembangan perbankan syariah memiliki pendekatan yang sebaliknya, yaitu membuka sebesar-besarnya peran akademisi dalam berkontribusi.

Pendekatan research based regulation tentu menuntut varian kajian dengan jumlah yang banyak dan kualitas yang tinggi untuk mendapatkan satu set regulasi yang baik, selain mendapat pandangan practicability-nya dari praktisi perbankan. Peran akademisi selama ini diakomodasi dalam setiap hearing draft ketentuan, focus group discussion TOR dan hasil kajian, sebagai konsultan atau co-writter dalam penyusunan kajian dan forum riset perbankan syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pendekatan ini sangat wajar mengingat pula sensitifitas dan tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap kepatuhan syariah dari aplikasi perbankan syariah di tanah air. Atas kondisi itulah, pengembangan menggunakan pendekatan bottom-up ini betul-betul mempengaruhi orientasi dan arah kebijakan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia.

Tetapi perlu diakui, kelemahan pendekatan bottom-up ini sangat bergantung pada antusiasme pasar dalam membesarkan pasar dan derajat keberpihakan pemerintah dalam memperoleh fasilitas-fasilitas untuk akselerasi pengembangannya. Namun positifnya adalah proses pengembangan yang relatif terjaga secara sistem untuk in-line denganprinsip syariah dan teori keilmuan.

Di akhir pertemuan kedua kolega dari Malaysia itu antusias sekali untuk bisa berdiskusi lebih lanjut. Bahkan mereka berharap untuk bisa aktif dalam forum-forum akademisi di Indonesia. Well, semoga Allah SWT selalu beri petunjuk pada semua upaya ini, semoga apa yang salah segera diperbaiki dan yang telah benar dimudahkan pelaksanaannya.