Prajurit Fikrah dan Aqidah

Organisasi-organisasi Islam, gerakan-gerakan dakwah, dan partai-partai berbasis massa Muslim jatuh dalam perpecahan dan barisannya menjadi kacau dikarenakan mereka mengejar obsesi-obsesi dunia, bersikap pragmatis, dan para kadernya berlomba-lomba menjadi manusia gila hormat.

Fenomena itu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Kita tak boleh selalu mengulang kembali kesalahan-kesalahan yang dilakukan mereka. Umat sudah lelah melihat kegagalan demi kegagalan. Tanpa melakukan perbaikan yang serius maka kita tak bisa meraih masa depan umat yang gemilang.

Sungguh Allah Ta’ala telah memberikan taufik kepada Imam Al-Banna rahimahullah ketika meletakkan Al-Ikhlas [keikhlasan] sebagai rukun baiat kedua setelah sebelumnya beliau menjadikan Al-Fahm [kepahaman] sebagai rukun baiat pertama. Tindakan yang dilakukan Al-Banna tidak menyalahi pembagian agama yang dilakukan para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa ajaran agama dikelompokkan dalam tiga bagian: niat, ilmu, dan amal. Ketiga komponen itu tak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Bila amal harus dengan niat dan ilmu maka kita menjadi tahu bahwa Allah Ta’ala tak akan memberkahi amal-amal kita kecuali ketika kita mengikhlaskan niat-niat kita dan melaksanakan amal-amal tersebut berdasarkan ilmu dan pemahaman.

Sementara dari ketiga bagian agama di atas yang paling sering ditimpa kerusakan adalah bagian pertama. Mungkin orang sudah banyak beramal, tilawah Al-Qur`an siang dan malam, menghabiskan waktu dalam dakwah, serta pernah terlibat di font-front jihad tetapi diakhirat amal-amal mereka itu tidak diterima dan dicampakkan sehingga bagaikan debu-debu berhamburan.

Gerakan Islam yang memulai langkah dengan mentarbiyah individu, selanjutnya mengorganisir [mentanzhim] mereka dalam sebuah barisan dakwah, kemudian memaksimalkan semua potensi kadernya untuk mewujudkan Islam di alam realitas melalui negara yang berkuasa berdasarkan syariah, sangat membutuhkan orang-orang shalih yang bisa memadukan niat, ilmu, dan amal. Bahkan keberadaan orang-orang shalih yang punya tiga komponen tersebut merupakan sebuah tuntutan yang aksiomatik.

Firman Allah Ta’ala dalam Surat Huud ayat 117, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan,” menegaskan kesimpulan tersebut.

Kalimat “al mushlihuun” [orang-orang yang melakukan perbaikan] adalah orang-orang yang shalih secara pribadi dan bekerja memperbaiki manusia. Sedang keshalihan pribadi dan keberhasilan memperbaiki manusia tak bisa diwujudkan kecuali kader-kader dakwah memiliki keikhlasan secara zhahir dan bathin serta sudah mencapai derajat ikhlas seperti yang disebutkan dalam hadits,

“Barangsiapa meninggalkan dunia ikhlas karena Allah semata tak ada sekutu bagi-Nya, dia menegakkan shalat dan membayar zakat, dia meninggalkannya sedang Allah ridha kepadanya.” [HR. Ibnu Majah]

Karena itu, wahai saudaraku, pahamilah bahwa sebagai kader dakwah kalian adalah prajurit-prajurid fikrah dan aqidah [junuudul fikrah wal ‘aqiidah].

Imam Hasan Al-Banna rahimahullah mengatakan,

“Dan yang saya maksudkan dengan keikhlasan [al ikhlaash] adalah seorang saudara muslim [akh muslim] meniatkan seluruh ucapan, perbuatan, dan jihadnya karena mengharap [melihat] wajah Allah, mengharapkan ridha-Nya, dan [mengidamkan] palasan pahala yang baik tanpa melihat kepada bendera atau penampilan atau kemuliaan atau gelar atau posisi atas atau posisi bawah. Dengan begitu, ia menjadi prajurit fikrah dan aqidah, bukan prajurit pemburu dunia dan pengejar manfaat.

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah].” [QS. Al-An’aam: 162-163]”

Kalau kita tak mampu menjadi orang shalih yang punya tiga komponen: niat, ilmu, dan amal, maka urungkanlah pikiran memperbaiki manusia melalui dakwah. Kubur dalam-dalam pikiran tersebut. Karena tak terpenuhi syarat itu besar potensinya dalam menciptakan fitnah dibarisan pada aktifis dakwah dan menciptakan malapetaka baru bagi umat yang berdampak membuat mereka tambah apatis.