Sekuler

Kebanyakan orang memahami sekulerisme sebatas ideologi yang memisahkan agama dari ruang publik. Penjelasan semacam ini mungkin mudah untuk dipahami dan sesuai untuk ‘perkenalan’, namun ia tidak cukup untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran yang ditawarkan oleh sekulerisme.

Paham sekuler senantiasa membeda-bedakan kehidupan manusia berdasarkan jaman. Prinsipnya, kehidupan manusia selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, aturannya pun harus berubah dari masa ke masa. Hal-hal yang dulu dilarang bisa jadi sekarang dianggap wajar, malah diwajibkan. Konsekuensinya, hal-hal yang kini diperbolehkan pun bisa jadi kelak akan dinyatakan sebagai kejahatan.

Inilah salah satu titik pertentangan yang paling tajam antara sekulerisme dan Islam. Sekulerisme senantiasa memperbarui pendapatnya (setidaknya itulah klaim yang diajukan), sedangkan Islam tak pernah melepaskan diri dari sejarah, atau lebih tepatnya dari tuntunan yang telah diturunkan oleh Allah SWT dan dijelaskan/dicontohkan oleh Rasul-Nya di masa lampau. Bagi umat Muslim kini, referensi utamanya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang disampaikan kepada kita sejak empat belas abad yang lalu.

Dalam pandangan sekuler, inilah ‘kelemahan’ Islam. Sementara yang lain terus memperbarui pendapatnya, Islam terus merujuk pada suatu aturan yang telah diberlakukan belasan abad lamanya. Menurut kaum sekuler, inilah yang disebut tanda kebekuan akal atau kejumudan.

Berulangkali kaum sekuler mengajukan usulan untuk memodifikasi ulang Islam. Nurcholish Madjid sejak tahun tujuh puluhan telah dikenal luas karena usulan kontroversialnya untuk menggagas ‘pembaharuan agama’. Salah satu penerusnya, Ulil Abshar-Abdalla, juga dikenal karena mengusulkan ‘penyegaran kembali’ atas pemahaman keislaman kita. Sudah barang tentu, istilah “pembaharuan” dan “penyegaran” telah menjadi semacam perangkap bahasa yang memberikan konotasi negatif pada pihak tertentu. Dalam hal ini, seolah-olah Nurcholish hendak mengatakan bahwa yang tidak setuju dengan usulannya adalah yang tidak ikut dalam gerbong pembaharuan, dan Ulil mengesankan bahwa mereka yang menentangnya adalah yang pemahaman keislamannya tidak segar lagi, alias busuk.

Bagaimana pun, klaim ‘pembaharuan’ dan ‘penyegaran’ yang seringkali diungkapkan oleh kaum sekuler cenderung hanya slogan semata, bukannya fakta keras sejarah. Kosa kata yang diucapkan Ulil sekarang tidak jauh beda dengan yang diungkapkan Soekarno dalam artikel-artikelnya yang sudah dibantah habis oleh Moh. Natsir, bahkan sebelum Republik Indonesia diproklamasikan. Buya Hamka juga dahulu pernah mencibir Nurcholish Madjid karena merujuk pada tulisan karya seseorang berkebangsaan Mesir yang mempromosikan sekulerisme habis-habisan, karena karya tersebut sudah dikritisi dari sana-sini, bahkan penulisnya sendiri konon sudah bertaubat. Kini, kalau kita pergi ke salah satu cabang toko buku ternama di Indonesia, kita bisa temukan buku karya Joseph Schacht di rak yang berkategori ‘Buku-buku Islam’. Padahal, Schacht dalam buku itu menghina dan memfitnah habis-habisan periwayatan hadits dalam peradaban Islam. Pendapat Schacht pun sudah dilibas tuntas oleh Syaikh M. M. al-A’zhami. Tapi apa dinyana, sampai detik ini kaum sekularis masih saja merujuk pada Schacht, bahkan rela mencari dana agar bisa menerbitkan bukunya kembali. Meskipun slogannya serba ‘pembaharuan’ dan ‘penyegaran’, nyaris tak ada yang baru dan segar dari sekulerisme yang kita jumpai sekarang.

Di sisi lain, konsep ‘pembaharuan dan penyegaran’ ini pun bukannya tidak bisa dikritisi. Sekulerisme lahir di Eropa ketika para agamawan Kristen mulai mengkritisi dan memodifikasi agamanya sendiri. Setelah agamanya diatur sedemikian rupa agar cocok dengan seleranya, mereka jelaskan bahwa generasi masa lampau yang menerima wahyu Tuhan dahulu adalah generasi manusia yang masih ‘kanak-kanak’, sedangkan peradaban manusia masa kini telah mencapai ‘kedewasaannya’. Hal ini dikritik keras oleh M. Naquib al-Attas, cendekiawan Muslim dari Malaysia, karena konsepnya sangat rancu. Semua orang pasti tahu bahwa jika kita ingin menitipkan sebuah pesan yang sangat penting, pastilah pesan itu diberikan pada orang dewasa, bukannya kanak-kanak. Karena itu, sangatlah mengherankan jika Tuhan menyampaikan wahyu-Nya pada manusia yang masih ‘kanak-kanak’ dan ‘belum dewasa’.

Selain itu, konsep ini akan menciptakan sebuah lingkaran ketidakpastian, karena agama pada akhirnya akan ditafsirkan terus-menerus. Sekarang dianggap benar, tahun depan bisa saja diralat. Sekarang dibilang haram, besok bisa jadi haram. Jika sekarang Ulil mengkritisi para sahabat Rasulullah SAW, maka kita bisa meramalkan bahwa di kemudian hari akan ada orang sekuler yang menolak pendapat Ulil. Tentu saja, ini dengan asumsi bahwa ‘pembaharuan’ dalam sekulerisme bukan sekedar slogan. Pada akhirnya, tidak pernah ada kepastian mengenai kebenaran, dan ini adalah hal yang sangat mengherankan dan sulit diterima akal. Apakah sejak lahir hingga wafatnya tidak ada satu pun kebenaran yang bisa dianggap absolut oleh manusia? Apakah semuanya memang perlu ditafsirkan ulang?

Islam, tentu saja, memiliki argumennya sendiri. Menurut al-Attas, Islam adalah agama yang ‘sudah dewasa sejak lahir’. Artinya, sejak berakhirnya masa kenabian Rasulullah saw, Islam sudah menjadi agama yang dewasa, tak perlu lagi dimodifikasi. Sejak jamannya naik unta sampai jamannya naik Transjakarta, aturan Islam tetap berlaku; lebih tepatnya, Islam memiliki aturan yang komprehensif yang bisa mengakomodasi keadaan manusia di seluruh jaman hingga datangnya Hari Kiamat. Dalam segala situasi, kondisi dan pada setiap tingkat pencapaian sains dan teknologi manusia, Islam selalu memiliki jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan manusia.