Testimoni Imam Masjid Istiqlal tentang Syiah dan Iran

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub menulis testimoni kepada saya:

Pada bulan Agustus 2005, kami berada di Iran. Selama satu pekan di sana, kami mengunjungi Kota Teheran dan Kota Qum. Suatu malam, ketika kami diundang untuk makan malam oleh Duta Besar Republik Indonesia di Teheran, kami berbincang-bincang dengan beliau tentang Iran. Kami katakan kepada beliau bahwa warga Iran pada masa dahulu adalah penganut Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bermazhab Syafi’i.

Kitab-kitab karya para ulama Iran bahkan sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ulama di Indonesia. Sebut saja misalnya, Kitab al-Muhadzdzab tentang Fikih Syafi’i karya Imam al-Syirazi (w 476 H) dari Syiraz, Iran, yang disyarahi (diperluas) oleh Imam al-Nawawi (w 676 H) dalam Kitab al-Majmu’, kitab Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’ , sebuah kitab Hadis karya Imam Abu Nu’aim al-Ishfahani (w 430 H) seorang ulama dari Ishfahan, dan juga Kitab Ihya’Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali yang lahir di Kota Thus pada tahun 450 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 505 H. Kota Thus berada di kawasan Khurasan, wilayah timur laut Iran, yang sekarang disebut Masyhad.

Ketika dinasti Shafawiyah, nisbah kepada pendirinya, Ismail al-Shafawi (1587-1629 M), yang berhaluan Syi’ah meraih kekuasaan politik di Iran, eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah di Iran redup. Dan setelah revolusi Syi’ah di Iran pada tahun 1979 M, eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah di Iran padam.

Kepada Duta Besar Republik Indonesia di Teheran waktu itu, kami mengatakan bahwa apa yang terjadi di Iran dapat pula terjadi di Indonesia. Ketika itu, pada tahun 2005, jumlah mahasiswa Indonesia di Iran ada 150 orang. Mereka belajar Syiah di Kota Teheran dan Kota Qum. Sementara saat ini, konon mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran sebanyak 7000 orang. Seorang Diplomat Irak pernah mengatakan kepada kami bahwa persentase muslim Sunni di Iran mencapai 35 %. Namun, mereka sudah kehilangan hak politiknya, tidak ada satu pun muslim Sunni yang menjadi anggota parlemen. Di Iran juga tidak ada satu pun masjid milik kaum Sunni. Sementara di negeri Komunis seperti Rusia terdapat ratusan masjid milik muslim Sunni.

Awal Desember 2013 M, ketika diadakan Konferensi Imam Masjid se-dunia di Pekanbaru, Riau, kami bertemu dengan delegasi dari Irak. Ia seorang imam dan anggota Majelis Ulama Irak. Beliau mengatakan kepada kami bahwa ketika Dinasti Shafawiyah meraih kekuasaan politik di Iran, mereka mengatakan, “Hari ini di Iran, besok di Irak, lusa di Suriah, esoknya lagi di Bahrain dan seterusnya di negara-negara muslim yang lain.” Beliau juga mengatakan bahwa saat ini aset-aset wakaf milik Ahlus Sunnah wal Jamaah di Irak telah dirampas oleh Syi’ah.

Apa yang dikatakan oleh orang-orang dari Dinasti Shafawiyah di Iran saat itu, mungkin merupakan sebuah obsesi, bahkan mungkin disebut isapan jempol. Namun kenyataan membuktikan bahwa Irak telah dikuasai oleh Syi’ah, sementara Suriah sedang dalam pergulatan dan perang saudara.

Ketika Irak masih dikuasai oleh rezim partai sosialis Arab, Ba’ats, yang berhaluan komunis dan dikomandoi oleh Presiden Saddam Husein, warga Ahlus Sunnah wal Jamaah dapat hidup berdampingan dengan kelompok lain secara damai dan tenteram. Namun setelah rezim Partai Ba’ats yang komunis itu ditumbangkan, konflik berdarah antar kelompok selalu terjadi di Irak.

Ada orang berkata bahwa perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dari Syi’ah adalah perbedaan dalam penafsiran saja. Menurutnya, perbedaan penafsiran seperti itu juga terdapat di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri. Pendapat ini tampaknya ingin memberikan lampu hijau dan legalitas kepada Syi’ah. Masalahnya apakah semua penafsiran itu dibenarkan menurut ajaran Islam? Apabila hal itu dibenarkan, maka tidak ada satu pun pendapat di dunia yang salah menurut ajaran Islam. Seperti kita ketahui, kelompok Ahmadiyah (Qadianiyah) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata Khatam an-Nabiyyin dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 adalah nabi yang terbaik. Penafsiran Ahmadiyah ini untuk menjustifikasi bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal Hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi pamungkas dan tidak ada nabi setelah beliau. Konsensus (ijma’) ulama juga menetapkan demikian.

Ustadz Fahmi Salim, Lc. MA.