Trauma Persepsi, Belajar dari Bani Israil dan Nabi Musa

Bani Israil adalah bangsa yang istimewa. Berkali-kali kisahnya diceritakan di Al Quran. Bukan hanya dari satu Nabi saja. Namun dari sebagian besar kisah itu mengisahkan tentang kebiasaan buruk bangsa Israil waktu itu. Berikut petikan kisah Nabi Musa ketika memberikan perintah Hijrah kepada kaumnya yang termaktub dalam surat Al Maidah ayat 20 sampai 26.

20.  Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”.

21.  Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.

22.  Mereka berkata: “Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah Perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”.

23.  Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

24.  Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami Hanya duduk menanti disini saja”.

25.  Berkata Musa: “Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.

26.  Allah berfirman: “(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”

Sudah mendapatkan pengertian dari trauma persepsi? Jika belum akan saya perjelas. Trauma persepsi adalah satu perasaan ketika kita memiliki ‘mental block’, merasa tidak mampu sebelum melakukan sesuatu, sudah menyerah sebelum berperang. Seperti yang disebutkan pada ayat 22 hingga 24.

Kaum Nabi Musa tidak mau masuk ke Palestina. Alasannya sangat sederhana. Mereka takut dengan kaum Palestina. Dalam anggapan mereka, orang Palestina itu kuat-kuat, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Parahnya Bani Israel justru malah menyuruh Nabi Musa untuk berperang berdua saja dengan Tuhannya.

Mereka sudah terlanjur takut sebelum berperang. Pikiran negatif mereka tentang kelemahan dirinya sendiri lebih menguasai. Itulah yang disebut dengan trauma persepsi

Lalu, Apa Solusinya?

Al Quran datang bukan hanya berkisah tentang masalah saja. Di dalamnya juga terdapat solusi dari masalah tersebut. Begitu pula dengan kasus Bani Israil. Solusinya telah disebutkan dalam dua ayat sebelumnya.

Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”. (20) Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.(21)

Ya kuncinya adalah kembali mengingat nikmat Allah. Sebagaimana disebut dalam ayat di atas, yaitu bahwa para Nabi dan Rasul kebanyakan berasal dari Bani Israil. Kemudian Bani Israel juga menjadi orang-orang yang bebas merdeka, mendapat hal yang Allah tidak memberikannya kepada kaum lain selain Bani Israel, dan satu hal yang pasti bahwa tidak lama sebelum perintah itu muncul, bani Israel di bawah pimpinan Nabi Musa sudah mendapat kemenangan dalam menghadapi Fir’aun, seorang penguasa yang sangat hegemonik bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Tapi sayang, nampaknya trauma persepsi yang dialami Bani Israel saat itu sudah sedemikian akut sampai berani mengatakan:

Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”

Menurut saya kata-kata ingin sangat lancang kalau tidak mau dibilang kurang ajar. Betapa tidak, sudahlah mereka diberi nikmat yang sangat besar, diangkat Nabi dan Rasul dari kalangan mereka dan diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun yang memiliki ratusan ribu tentara, kemudian ketika Allah memerintahkannya memasuki Palestina, mereka berlepas diri dan ‘menyuruh’ Nabi Musa pergi bersama Tuhan  sendiri. Padahal menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa kekuatan kaum Palestina pada saat itu hanya sepersepuluh dari jumlah penduduk Mesir.

Pada akhirnya, Nabi Musa pun berdo’a dalam ayat ke-25:

“Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”

Yang kemudian dijawab Allah pada ayat 26:

“(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”

Diceritakan bahwa kaum Israel pada saat itu tersesat di Padang Tiih selama 40 tahun. Yang tersisa dan yang dimaksud ‘kami’ dalam do’a Nabi Musa di atas hanyalah 2 orang sholeh yang terdapat di ayat 23, dalam Tafsir Ibnu Katsir mereka bernama Yusya’ bin Nun dan Kalim bin Yaufuna.

Jadi, Bagaimana Menyikapinya?

Menengok apa yang terjadi di negeri ini kisahnya hampir sama. Bedanya kita belum memiliki pemimpin yang berkapasitas seperti Nabi Musa. Namun, mengingat negeri ini juga belum sebandel Bani Israil, cukup lah untuk perbandingan.

Seperti halnya Bani Israil, rakyat Indonesia lebih cenderung memilih untuk menghujat, menuntut, atau bahkan mencaci pemimpin. Padahal gerutuan, cacian, gosip, maupun hujatan itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Memang, kewajiban utama dari pemimpin adalah memenuhi hak yang dipimpinnya. Pun, cacian yang kita berikan pun masih baik selama itu dalam upaya mengingatkan pemimpin kita. Namun cerita berbeda jika kita terlalu larut dalam gerutuan tersebut. Tidak ada aksi nyata yang membuat permasalahan semakin tak berujung.

Sifat kedua juga ada dalam bangsa ini. Kita cenderung takut untuk melakukan perubahan. Takut mengambil resiko. Padahal kita belum tahu keuntungan ataupun kerugian apa yang akan kita dapatkan. Sama halnya dengan Bani Israel yang takut masuk ke Palestina. Terlalu lama berada di zona nyaman dan terlalu pewe dengan keadaan membuat kita sulit berubah.

Solusinya pun sama. Kita harus kembali mengingat dan bersyukur atas nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita. Kita tahu Sumber Daya Alam yang kita miliki ini sangat berlimpah. Bisa dikatakan, secara SDA Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia. Namun kita kufur atas nikmat Allah tersebut. SDA tersebut lebih banyak digunakan untuk kepentingan sendiri bukan untuk mendatangkan manfaat yang lebih luas.

Janganlah menjadi bangsa penakut dan penggerutu seperti Bani Israil. Kita ini bangsa yang besar. Sudah pantasnya kita bergerak untuk memperbaiki bangsa ini. Sebuah pergerakan integral cenderung lebih mendatangkan kemaslahatan yang lebih luas. Oleh karena itu, kita harus bergerak bersama untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Oleh: Pramudya Arif, Yogyakarta